Awas, Jangan Tertipu Materai Palsu!
/dalam Artikel oleh TimdataMengingatkan Sekaligus Mengajak
/dalam Artikel oleh TimdataMembina UKM Membayar Kewajibannya
/dalam Artikel oleh TimdataTarget PKB 2015 yang Sudah Sesuai Jalur
/dalam Artikel oleh TimdataBukan Sekedar Razia, Agar Ada Kepastian Hukum
/dalam Artikel oleh TimdataAngkot Badan Hukum Demi Kebaikan Bersama
/dalam Artikel oleh TimdataAgar Menetes di Jawa Barat
/dalam Artikel oleh TimdataMeratakan keadilan sosial, yang terwujud karena ada kesadaran saling berkontribusi ke sesama (melalui pajak salah satunya) adalah misi yang sejak lama digaungkan di Indonesia melalui sejumlah manifesto.
Termasuk di Tatar Parahyangan, Jawa Barat, kita sudah sejak lama sepakat dan berusaha merealisasikan hal ihwal terkait keadilan sosial tersebut. Siapa lagi tujuannya kalau bukan kesejahteraan masyarakat kita sendiri.
Maka itu, kita terhenyak mendengar potensi larinya pendapatan negara (termasuk pajak daerah) ke luar negeri. Alih-alih menyejahterakan bangsa sendiri, yang terjadi adalah terbangnya kesejahteraan.
Sudah jadi rahasia umum, sekaligus berlangsung sejak lama, bahwa wajib pajak utama di Indonesia cenderung menghindari bayar pajak untuk kemudian membuka usahanya di negara ramah pajak semacam Singapura.
Maka itu, diperlukan sejumlah aturan agar hal ini tak terus terjadi. Ada beberapa cara yang bisa digunakan yaitu antara lain Tax Amnesty (amnesti pajak) serta Tax Treaty (konvensi pembagian pajak dua negara).
Wacana Tax Amnesty bagi orang dan perusahaan Indonsia yang bersedia membawa pulang uangnya dari luar negeri bisa menjadi pilihan yang patut dipertimbangkan.
Sepanjang tidak menjadi program tahunan, Tax Amnesty bukanlah hal yang tabu diterapkan, apalagi jika mampu menghadirkan penerimaan pajak lebih besar. Program ini merupakan tawaran menarik karena adanya kepastian hukum atas penghasilan dan aset yang belum dilaporkan.
Kebijakan ini pernah diterapkan di era Soeharto tahun 1984 ataupun tahun 2008 pada zaman SBY dengan Sunset Policy.
Kita bisa ambil contoh dalam kasus penggelapan pajak HSBC Swiss. Regulator pajak Australia, ATO, bahkan mampu menambah penerimaan pajak sebesar USD 30 juta dengan proyek DO IT (Disclose Offshore Income Today) yakni penawaran amnesti atas pengungkapan penghasilan dan asset yang belum dilaporkan sejak tanggal 27 Maret 2014 s.d 19 Desember 2014.
Sementara Tax Treaty dibuat dalam rangka mencari kesapakatan bersama pembagian pengenaan pajak atas penghasilan yang menjadi obyek pajak 2 (dua) negara.
Saat ini, kebijakan tersebut banyak mengacu model OECD yang cenderung menguntungkan negara pemilik modal (besar).
Tax Treaty Indonesia-Belanda misalnya, manakala PPh Pasal 26 tidak dikenakan atas pembayaran bunga untuk obligasi dengan jangka waktu diatas 2 tahun. Selain itu, perlu juga untuk melakukan dialog yang intensif dengan negara surga pajak (Tax Haven Countries) dalam membuat kesepakatan Tax Treaty atau minimal kesepahaman kerjasama pertukaran data.
Singkat kata, sebenarnya adalah hak dan otoritas wajib pajak menempatkan duit dan manajemen usahanya dimanapun, termasuk di negara ramah, bahkan surga pajak. Akan tetapi, jangan pernah dilupakan, siapapun yang berusaha di Indonesia (termasuk di Jawa Barat), otomatis memiliki tanggungjawab sosial perusahaan untuk berbagi ke sesama melalui distribusi hasil pajak. Jangan pernah memijak bumi, namun lupa menjunjung langit! ***
Prihatin! Menghindari Pajak di Tanah Air
/dalam Artikel oleh TimdataKita tentu prihatin, manakala orang-orang berada, yang serial duitnya tidak ada habisnya, malah cenderung menghindari membayar pajak di tanah air untuk kemudian membayar pajak di negara lain.
Situasi ini tentu mengherankan. Ketika masih banyak orang sekitar kita yang serba kekurangan, termasuk di Jawa Barat ini, malah sebagian orang kita justru “menerbangkan” pendapatannya ke negeri orang.
Yang terbaru, seperti dirilis salah satu koran nasional terungkap bahwa salah satu orang kaya Indonesia versi Majalah Forbes tersangkut dengan kasus HSBC Swiss yang menghebohkan dunia terkait penggelapan pajak.
Selain Swiss, sudah jadi rahasia umum dan berlangsung lama bahwa banyak perusahaan besar Indonesia memilih kantor pusat di Singapura padahal sumber penghasilan berada di Indonesia.
Melalui varian pembayaran jasa, royalti ke kantor pusat. Labuan FSA, dengan fasilitas seperti negara Tax Haven Countries, menjadi lokasi menarik untuk pendirian entitas anak usaha.
Padahal, tarif pajak perusahaan di Indonesia sudah diturunkan menjadi 25% pada tahun 2010. Akan tetapi, sebagai sebuah evaluasi, tarif ini relatif masih tinggi apabila dibandingkan negara tetangga di Asean.
Hanya Malaysia yang sama 25%. Thailand 20%, Vietnam 22%, dan Singapura berani dengan hanya mematok tarif 17%! Di luar Asia Tenggara, Hongkong 16,5%. Apalagi untuk negara yang kerap disebut surga pajak (Tax Haven Countries), seperti Bermuda, Bahamas, Cayman Islands dengan tarif corporate Tax 0%.
Tapi tentu saja yang terdekat yang dilihat. Pajak perusahaan di Singapura patut menjadi perhatian. Sebagai negara kecil, Singapura memainkan peran seperti negara kecil di Eropa yang menyedot penerimaan pajak negara tetangga dengan fasilitas tarif pajak atau skema rumit untuk menurunkan pajak di negara sumber.
Singapura memang agresif memberikan insentif pajak. Bagi investor asing yang menempatkan kantor pusat/regional usaha dan syarat memperkerjakan orang Singapura, malah mendapatkan penurunan tarif sebesar 10-15%.
Ada juga penurunan tarif untuk perusahaan yang bergerak di bidang pelayaran dan maritim. Ditambah tidak adanya withholding tax untuk pembayaran bunga dan dividen, makin mantap sudah! Jadi tidaklah mengherankan, jika banyak pengusaha Indonesa yang memarkir uang mereka ke Singapura.
Direktur Utama Bank Mandiri dalam sebuah kesempatan mengatakan, terdapat dana simpanan orang kaya Indonesia dan uang perusahaan yang tersimpan di Singapura masing-masing bernilai USD 150 Milyar
Malah mungkin bisa lebih karena ini fenomena gunung es, yang bukan hanya terjadi di tanah air, namun juga secara global. Pada Februari 2015 lalu, Eropa dikejutkan kasus perpajakan yang dilakukan HSBC Swiss.
Fenomena gunung es sebagaimana terlihat dalam kasus International Consortium of Investigative Journalist (The Guardian dan BBC Inggris, Le Monde Perancis, dan 50 media lainnya) yang mengungkap HSBC Swiss soal penggelapan pajak tadi.
Dalam laporannya, HSBC Swiss diduga telah membantu nasabah kaya menghindari pajak dengan menawarkan skema agresif untuk mengurangi pajak di negara asal, khususnya Eropa.
Secara serentak, otoritas pajak negara di Eropa (HMRC Inggris, CFE Perancis) dan negara belahan dunia lain seperti ATO Australia segera melakukan penyelidikan guna menemukan keterlibatan warganya yang menyembunyikan pundi-pundi kekayaannya.
Kasus HSBC Swiss semakin menambah deretan kasus penghindaran pajak di benua biru. Di akhir 2014, terungkap kasus penghindaran pajak yang menyangkut banyak perusahaan multinasional yang melibatkan negara Luxembourg sebagai negara yang memberikan fasilitas pajak dengan skema pajak yang rumit dengan dibantu kantor akuntan handal internasional.
Dalam pertengahan 2014, Eropa juga diguncangkan dengan polemik fasilitas perpajakan Irlandia yang menyebabkan banyak perusahaan multi nasional besar seperti : Amazon, Apple, Facebook, Paypal, Twitter memilih markas di Irlandia guna membayar pajak yang lebih rendah dibandingkan kalau membuka markas di negara eropa lainnya.
Hal ini tentunya menimbulkan kemarahan negara sumber penghasilan seperti Prancis, Inggris, Amerika Serikat yang merasa kontribusi pajak yang dibayarkan tidak sebanding dengan penghasilan yang diperoleh dari negara tersebut.
Jadi, sebenarnya ini tren global, tak hanya melanda negara kita. Akan tetapi, situasinya menjadi lebih rumit dan berat manakala terjadi di Indonesia yang kesenjangan ekonominya tak sekecil negara lainnya. ***