Tahun Cukup Berat Namun Tetap Optimistis

Tak bisa dipungkiri, sudah beberapa tahun terakhir ini, bahwa pendapatan utama pajak daerah di Jawa Barat khususnya dan provinsi lainnya, ditopang oleh sektor pajak kendaraan bermotor (PKB) serta bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB).
Fakta itu tersorong jelas, misal pada data terakhir per triwulan I 2015. Yakni pemasukan dari PKB mencapai Rp1,711 triliun atau 31,84% dari target total 2015 sebesar Rp5,376 triliun.
Sementara BBNKB pada triwulan I meraih Rp1,581 triliun, sehingga gabungan keduanya sudah hampir Rp4 triliun hanya dalam tiga bulan saja!
Sisanya baru dari sektor semacam pajak bahan bakar kendaraan (PBBKB) sebesar RpRp761,5 juta, pajak air permukaan Rp21,23 juta.
Akan tetapi, sebagaimana kehidupan selalu naik-turun, hujan pun ada redanya, tampaknya tekanan terjadi tahun ini seiring dengan menurunnya penjualan kendaraan bermotor di Indonesia.
Pada 22 Juni lalu, Gabungan  Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Sudirman M. Rusdi mengungkapkan, penjualan mobil secara whole sale dari Januari sampai Mei 2015 mencapai 433.000 unit. Jumlah tersebut turun 16,6 persen dari tahun sebelumnya, sebanyak 531.000 unit.
Sementara penjualan mobil secara ritel periode yang sama juga turun 13,7 persen, dari 501.000 unit menjadi 432.000 unit.
Karenanya, Gaikindo bahkan merevisi target penjualan mobil pada triwulan I 2015 lalu dari 1,2 juta unit menjadi 1,1 juta unit. Situasi pelik dan sulit yang harus disikapi dengan dingin dan baik.
Situasi ini memang tak bisa dipungkiri, jika kita melihat tren nasional bahkan global yang mengalami perlambatan ekonomi. Khusus Indonesia, penurunan penjualan terjadi karena menurunnya daya beli masyarakat dan ekspor komoditi menurun. Jadi di beberapa daerah, ekonomi melambat, sehingga daya beli jadi menyusut banyak.
Maka itu, Dispenda Jabar sebagai salah satu penopang utama pendapatan bagi provinsi ini, juga takkan bisa mengelak dari situasi yang relatif sulit namun bukan berarti tidak menyisakan peluang.
Bahkan, dalam sejumlah kesempatan, Kepala Dispenda Jabar Dadang Suharto mengaku bahwa dampak situasi tersebut sudah dirasakan. Pun demikian, sekali lagi, target tahun ini tetap akan tercapai sekalipun tipis.
Itu pula sebabnya, koreksi di APBD Perubahan 2015 hanya akan menghitung ulang soal kendaraan baru, sehingga proyeksi pendapatan dari kendaraan lama tidak akan diubah.
“Yang jelas, pendapatan keseluruhan tidak ada masalah, kami masih punya 8 bulan untuk mencapai target 100%,” ujar Dadang, penuh optimistis.
Dalam kesempatan lain, Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar mengungkapkan, transaksi pembelian kendaraan baru di wilayahnya besar kemungkinan turun akibat perekonomian lesu.
Secara kumulatif tahunan, penjualan biasanya 1,6 juta kendaraan bermotor per tahun, namun tahun ini akan turun jadi 1,3 juta kendaraan. Bagaimanapun, kondisi perekonomian yang lesu serta masih rendahnya realisasi anggaran pemerintah mempengaruhi daya beli masyarakat.
Menurut Deddy, penurunan transaksi pembelian kendaraan baru itu mempengaruhi target pendapatan daerah dari pajak kendaraan bermotor.
“Saya berharap kalau anggaran pemerintah sudah ngucur, masuk ke masyarakat, daya beli meningkat,” kata Naga Bonar, julukan tenar sang wakil gubernur.
Jadi, sesulit apapun, belajar dari nukilan kisah di atas, akan selalu ada terang setelah gelap. Sekiranya kita menjadi generasi optimistis, yakinlah bahwa penurunan penjualan kendaraan tetap bisa disambut senyuman di akhir selama kita bekerja keras dan cerdas! ***

Awas, Jangan Tertipu Materai Palsu!

Sebagai pemangku kepentingan terkait pelayanan Dinas Pendapatan Provinsi Jabar selama ini, satu hal yang sulit lepas terkait pajak adalah penggunaan materai.
Dan, sebagaimana kita ketahui bersama, sudah hampir empat bulan ini aturan tentang meterai tempel desain baru diterapkan. Aturan tersebut tertuang dalam PMK nomor 65/PMK.03/2014 tentang Bentuk, Ukuran dan Warna Benda Meterai per 1 April 2015 harus sudah memakai meterai desain baru.
Perubahan meterai tempel desain baru untuk meningkatkan pengawasan peredaran meterai tempel, juga untuk mengurangi upaya pemalsuan meterai yang beredar di masyarakat.

Namun masih saja ada oknum yang tidak bertanggung jawab menjual meterai palsu dengan iming-iming harga murah, sehingga masyarakat tertarik untuk membelinya. Namun pada akhirnya, mereka jadi rugi sendiri!
Penjualan materai palsu ini bisa melalui media internet, SMS maupun selebaran dengan iming-iming harga murah. Hal ini dmembuat masyarakat mengalami kerugian baik rugi atas pembelian meterai palsu, juga surat yang menggunakan meterai palsu tersebut.
Oleh karena itu marilah kita mengenali ciri-ciri meterai desain baru yang asli (lihat gambar di atas). Berdasarkan PMK nomor 65/PMK.03/2014, beberapa ciri meterai desain baru antara lain sebagai berikut :
1. Meterai tempel desain baru dengan nominal Rp 3.000,00 memiliki warna biru, sedangkan nominal Rp 6.000,00 memiliki warna hijau;
2. Gambar garuda lambang Negara Republik Indonesia berada di pojok kanan atas dengan warna ungu;
3. Teks “METERAI”, “TEMPEL” disebelah kiri gambar Garuda dengan warna ungu;
4. Mikroteks “DITJEN PAJAK”, dibawah teks “TEMPEL”;
5. Teks “TGL” dan angka “20” dibawah mikroteks “DITJEN PAJAK”;
6. Teks nominal “3000” dan “6000” di pojok kiri bawah berwarna ungu;
7. Teks “TIGA RIBU RUPIAH” DIBAWAH TEKS NOMINAL “3000” dengan warna ungu, teks “ENAM RIBU RUPIAH” DIBAWAH TEKS NOMINAL “6000” dengan warna ungu;
8. Motif Roset blok berupa bunga berada di sebelah kanan bawah. Motif tersebut dapat berubah warna bila dimiringkan. Untuk nominal Rp. 3000,00 perubahan dari hijau ke biru, dan untuk nominal Rp. 6000,00 perubahannya dari magenta ke hijau;
9. Memiliki 17 digit nomor seri berwarna hitam;
10. Terhadap hologram di bagian kiri meterai tempel;
11. Memiliki perforasi bentuk bintang pada bagian tengah di sisi kiri;
 bentuk oval di sisi kanan dan kiri, dan bentuk bulat di semua sisi meterai.
Setelah mengetahui ciri-ciri meterai tempel desain baru tersebut, apabila kita akan membeli meterai tempel, harap diperhatikan ciri-cirinya. Jangan tergiur dengan tawaran harga murah yang menjual dibawah nilai nominalnya karena terindikasi meterai tempel yang dijual adalah meterai palsu.
Materai yang asli dijual sesuai dengan nilai nominalnya dan disebarluaskan oleh pemerintah melalui PT. Pos Indonesia. Jadi, pastikanlah selalu, jika Anda butuh materai saat berurusan dengan Dinas Pendapatan misalnya, kenali tanda yang asli dan hanya membeli di tempat yang terpercaya! ***
Ciri Materai Asli bisa di lihat di link berikut : Ciri Materai Asli

Mengingatkan Sekaligus Mengajak

Betapa pentingnya menumbuhkan kesadaran, ini perkara yang tak mudah sejak dulu hingga sekarang.
Sekalipun bagi orang terdidik, menumbuhkan kesadaran ini terkadang sulit dan pelik. Contohnya kesadaran berlalu lintas, bahkan banyak pelanggaranya justru masyarakat berpendidikan baik dan mengerti.
Untuk itulah, menjadi patut diapresiasi adalah apa yang sudah dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Misalnya program DJP jemput bola ke pusat-pusat pembelajaan untuk mengingatkan dan mengajak para pengusaha UKM untuk taat bayar dan lapor pajak.
Para petugas KPP akan mendatangi tiap pedagang atau pengusaha dan menanyakan kepada mereka apakah sudah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau belum mengingat tindakan menyembunyikan diri dari kewajiban perpajakan adalah melawan hukum.
Hal ini ditegaskan dalam pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP): “Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; … sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.”
Bagi pengusaha UKM yang sudah memiliki NPWP tapi belum menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) maka wajib menyampaikan SPT dengan benar.
 Hal itu sesuai pula dengan amanat Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang KUP yang juga mengatur bahwa: “Setiap orang yang dengan sengaja menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;… sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar”.
Selain itu pada pasal 3 ayat (1) Undang-Undang KUP diatur bahwa: “Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.”
Di samping mengingatkan akan kewajiban pengusaha UKM sebagai warga negara untuk bayar dan lapor pajak dengan benar demi kelanjutan pembangunan dan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), DJP bahkan menggandeng Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri juga akan menertibkan para pedagang warga negara asing yang kian banyak menggelar dagangan di pusat perbelanjaan meski berdasarkan data imigrasi, mereka berdagang tanpa izin yang sah.
Untuk itu diharapkan kepada para pengusaha UKM agar menyiapkan data lengkap atas perusahaannya mulai dari NPWP, jumlah aset, omset hingga data penjualannya.
Jika para pengusaha UKM telah menjadi warga negara yang baik dengan patuh melaksanakan kewajiban perpajakannya selama ini, tentunya tidak akan kuatir tapi senang karena DJP turun langsung menyapa pengusaha UKM di tempat usaha dan membantu menjelaskan jika ada hal-hal yang belum mengerti terkait hak dan kewajiban perpajakan.
Hal senada sudah dilakukan Dinas Pendapatan Provinsi Jabar. Yang sudah sejak lama dilakukan adalah menyediakan Samsat Keliling yang membuat masyarakat tak perlu bersusah payah saat membayar pajak.
Siapapun tak perlu bersusah payah, hanya menyediakan dana yang diperlukan saat akan membayar pajak. Dan, selebihnya adalah berbagai kemudahan yang bisa dirasakan tanpa ganggu kenyamanan aktivitas Anda.
Bahkan bukan hanya itu. Dispenda juga menerapkan Samsat Gendong (Samdong) untuk tembus wilayah yang jauh dan sulit dijangkau Samsat Keliling (Samkel).
Samdong yang akan dibagikan pada seluruh unit cabang Dinas Pendapatan Provinsi Jawa Barat ini diharapkan mempercepat layanan pada masyarakat.
Kepala Dinas Pendapatan (Dispenda) Provinsi Jawa Barat Dadang Suharto mengatakan, diberi nama Samsat Gendong lantaran perangkat untuk melayani pembayaran pajak kendaraan masyarakat bisa dibawa ke dalam tas ransel.
Selain Samdong, Dispenda juga telah menerapkan e-Samsat. Dimana pembayaran pajak bisa dilakukan di Automatic Teller Machine (ATM). Sehingga masyarakat juga bisa dengan mudah melakukan pembayaran tanpa harus mengantre di loket.
“Kita coba terus untuk melakukan kemudahan-kemudahan pembayaran pajak bagi masyarakat. Samdong mudah-mudahan secepatnya dapat berjalan, sehingga kami harap masyarakat tidak lagi ragu untuk membayar pajak, karena pembayaran bisa dilakukan dengan mudah,” tegas Dadang Suharto, Kepada Dinas Pendapatan Provinsi Jabar. ***

Membina UKM Membayar Kewajibannya

Usaha kecil menengah (UKM) di Jawa Barat tentu saja memiliki peran vital bagi pendapatan daerah pada provinsi ini. Sekilas memang tidak signifikan dengan adanya kata kecil, namun tidak kenyataannya.
UKM di Jabar hingga tahun 2014 lalu diperkirakan berjumlah sekitar 9 juta usaha, dengan serapan pegawai hampir 14 ribu pekerja. Sebuah jumlah yang mampu menumbuhkan pembangunan di Tatar Sunda ini.
Apalagi ditambah, di sisi lain, ada berbagai program menarik di Pemprov Jabar terkait usaha kecil mikro ini. Misalnya program penciptaan 100.000 wirausahawan baru dalam kurun 2013-2018 ini.
Pada 2014 lalu misalnya, wirausaha baru yang sudah dilatih dan bina bahkan sudah mendapatkan modal awal dari anggaran APBN untuk Jabar yang nilai totalnya sebesar Rp1,4 miliar.
Modal awal (start capital) dengan status hibah dari pemerintah itu berkisar Rp 5 juta – 7 juta. Bantuan itu ditujukan bagi mereka yang benar-benar baru memulai usahanya, namun memiliki minat dan potensi besar untuk mengembangkannya.
Tak hanya itu. Pemprov juga telah menggulirkan Kredit Cinta Rakyat (KCR) yang berasal dari APBD Jabar yang disalurkan melalui Bank Jabar Banten (Bank BJB). Hingga saat ini total KCR yang digulirkan Bank BJB telah mencapai Rp 430 miliar.
Pemprov Jabar menambah dana Kredit Cinta Rakyat atau KCR 2014 sebesar Rp 100 miliar. Sebelumnya, Pemprov Jabar telah mengalokasikan KCR senilai Rp 335 miliar dalam dua tahun, dan penyerapannya cukup tinggi.
KCR digulirkan dengan bunga rendah sehingga menjadi solusi bagi pelaku UKM di Jabar dalam memperoleh modal kerja maupun usahanya. Bunga Kredit Cinta Rakyat (KCR) sangat rendah yakni 8,3 persen dan terjangkau oleh pelaku UKM.
Akan tetapi, sebagaimana sering terjadi, kesadaran perpajakan UKM ini masih rendah. Maka itu,kembali ke awal tulisan ini, signifikansi mereka akan terasa sekira mereka pun aktif membayar pajak, terutama pajak daerah.
Sejumlah usaha pembinaan sudah dilakukan, baik oleh Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Jabar maupun Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sebut misalnya kehadiran e-Samsat.
UKM tak perlu lagi jauh-jauh membayar seluruh kewajiban personal dan atau institusional terkait kewajiban pajaknya. Cukup ke ATM BJB terdekat, sehingga operasional bisnis tak begitu terganggu.
Bahkan, yang terbaru, Dispenda Jabar jemput bola dengan menghadirkan Samsat Gendong (Samdong) untuk tembus wilayah yang jauh dan sulit dijangkau oleh Samsat Keliling (Samkel).
Samdong yang akan dibagikan pada seluruh unit cabang Dinas Pendapatan Provinsi Jawa Barat ini diharapkan mempercepat layanan pada masyarakat, termasuk di dalamnya pengusaha kecil dan mikro.
Kepala Dinas Pendapatan (Dispenda) Provinsi Jawa Barat Dadang Suharto mengatakan, Samsat Gendong membuat Samsat melakukan jemput bola dan mendatangi desa-desa. Sehingga, masyarakat bisa dengan mudah melakukan pembayaran pajak.
“Karena bisa digendong kemana-mana, nanti tim kami juga akan menggunakan sepeda motor, sehingga bisa masuk ke gang-gang dan door to door. Kita coba jemput bola sehingga pelayanan pajak pada masyarakat ini optimal,” kata Dadang, belum lama ini.
Pemerintah pusat, melalui DJP, memberikan pelayanan semisal membuka kelas gratis terkait perpajakan untuk umum dan mengadakan seminar wirausaha untuk kelompok UKM.
Selain itu, DJP tengah mengembangkan pola pembinaan kepada UKM melalui program Business Development Service (BDS). Program ini berupa kegiatan penyuluhan yang dilakukan terhadap para pelaku UKM dengan memberikan materi yang berisi kita-kiat bagaimana mendorong perkembangan usaha para pelaku UKM.
Pihak-pihak yang terkait dengan pengembangan usaha, seperti lembaga pengembangan UKM, pihak perbankan, serta instansi pemerintah di bidang perdagangan dan industri turut dilibatkan dalam program ini.
Materi yang diberikan antara lain berupa kiat-kiat untuk memperoleh ijin usaha, memperoleh modal usaha, melakukan pemasaran online, memperoleh akses pasar, memperoleh akses perijinan dan permodalan, mengelola usaha dan membuat pembukuan sederhana, serta cara pendaftaran, pembayaran, dan pelaporan untuk Wajib Pajak UKM.
Jadi, dengan melihat upaya yang sudah dilakukan, baik oleh Dispenda Jabar maupun DJB, seyogyanya pertumbuhan UKM juga melahirkan kesadaran tumbuhnya membayar pajak. Jika ini sudah terjadi, yang untung seluruh masyarakat Jabar. Insya Allah. ***

Target PKB 2015 yang Sudah Sesuai Jalur

Pada tahun ini, target pajak kendaraan bermotor (PKB) Dinas Pendapatan Provinsi Jawa Barat sudah dipatok mencapai Rp5,376 triliun atau naik 8,1% dari realisasi tahun lalu sebesar Rp4,938 triliun.
Tampaknya, sekilas lalu, angka ini seperti sulit diraih. Akan tetapi, faktanya di tahun 2014, target terlampaui karena di awal tahun pendapatan dari PKB ini “hanya” Rp4,57 triliun.
Demikian pula dari kelompok serupa, yakni Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) yang tahun lalu pun melewati angka target yakni mencapai Rp5,182 triliun dari patokan Rp5,087 triliun.
Pencapaian ini memang tak terhidari ketika kita melihat saat ini demikian tinggi serapan masyarakat kepada kendaraan bermotor. Baik baru maupun seken, kepemilikan kendaraan pribadi tidaklah bisa dibendung.
Situasi ini tergambarkan jelas dalam realisasi pendapatan Pemerintah Provinsi Jawa Barat hingga triwulan I 2015 yang mencapai sebesar Rp 8,75 triliun, dengan PAD terbesar masih disumbang PKB dan BBNKB.
PKB mencapai Rp 1,711 triliun atau 31,84 persen dari target total 2015 Rp 5,376 triliun sementara BBNKB meraih Rp 1,581 triliun. Sisa raihan PAD dari sektor pajak berasal dari pajak bahan bakar kendaraan (PBBKB) sebesar Rp 761,5 juta, dan pajak air permukaan Rp 21,23 juta.
Kepala Dispenda Jabar Dadang Suharto mengatakan, raihan pendapatan daerah triwulan I ini sudah mencapai 36,63 persen dari total pendapatan daerah Jabar 2015 yang mencapai sebesar Rp 23,9 triliun.
Menurut Dadang, dari sisi pendapatan asli daerah (PAD) telah melampaui target triwulan I 31,43 persen dari target total PAD 2015 yang mencapai Rp 15,851 triliun.
Sekalipun demikian, sebagaimana jadi prinsip banyak kesuksesan yang tak lekas puas, Dispenda Jabar berusaha tetap menjaga performa ini sehingga pencapaian akan selalu berada di jalur yang benar.
Hal ini tercermin dari intensitas Dispenda (bekerjasama dengan pihak terkait, yakni Polda Jawa Barat dan Jasa Raharja) menggelar razia gabungan untuk menindak kendaraan yang belum bayar pajak.
Operasi ini serentak dilaksanakan pertama pada 9 Juni 2015 lalu, dengan tujuan utama adalah menjaring kendaraan bermotor yang belum melakukan daftar ulang (KTMDU) atau tidak membayar pajak kendaraan.
Wajib pajak KTMDU yang terjaring razia diarahkan untuk melakukan pembayaran pajak kendaraannya di tempat. Namun bagi WP yang belum siap membayar hari ini diwajibkan mengisi surat pernyataaan kapan kesanggupan mereka untuk membayar pajak kendaraannya.
Salah satu lokasi yang melaksanakan razia adalah Samsat Bandung Timur. Ratusan kendaraan pun terjaring pada kesempatan itu. Mereka yang belum bayar pajak diminta membayar langsung baik yang pajak tahunan maupun yang masa STNK-nya habis.
Kegiatan ini akan terus dilakukan guna menekan dan menjaring wajib pajak yang telat melaksanakan kewajibannya. Sanksi bagi belum bayar pajak yakni diberikan surat himbauan agar mau menunaikan kewajibannya.
Jadi, sekalipun sudah unggul dan sesuai dengan jalur, memang tak boleh pantang berpuas diri di sisa tahun 2015 ini. Pajak kendaraan bermotor seyogyanya tetap dikelola serius dan profesional, agar manfaatnya bagi Jabar selalu besar. ***

Bukan Sekedar Razia, Agar Ada Kepastian Hukum

Ancaman pencabutan badan hukum angkutan umum berbadan hukum pada 2010, ataupun tindak penertiban lainnya, sebenarnya sesuatu yang setidaknya tidak bertentangan keinginan masyarakat sebagai konsumen.
Kita bisa melihat pada sikap Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Seperti dilansir Tempo, beberapa waktu lalu, banyak manfaat akan diperoleh masyarakat jika pengusaha angkutan umum berbadan hukum.
Pembenahan transportasi massal ini diperlukan guna mengikis manajemen personal sektor tersebut yang umumnya terjadi sekarang, sehingga pengelolaannya relatif susah dilakukan. Semestinya perombakan dilakukan dari hulu, dan ini tercakup dalam aturan wajib berbadan hukum.
Dengan badan hukum, manajemen pemilik angkot akan menerapkan standar layanan tertentu, misalnya jaminan kondisi kendaraan sebelum jalan serta larangan bagi pengemudi untuk menaikkan atau menurunkan penumpang sembarangan.
Badan hukum untuk angkutan umum juga dianggap mendesak, mengingat pelanggaran lalu lintas oleh armada tersebut sudah dianggap biasa, termasuk oleh masyarakat. Misal pengemudi angkutan kerap melanggar aturan lalu lintas sebab masyarakat enggan naik-turun di tempat yang telah ditentukan karena malas.
Di sisi lain, penumpang dan pengemudi angkutan ogah naik atau turun di halte atau terminal karena lingkungan yang tidak kondusif, misalnya padat oleh pedagang kaki lima.
Akhirnya, mereka lebih senang menunggu di terminal bayangan. Jika semua armada angkutan sudah memiliki badan hukum, pelanggaran semacam ini lebih mudah ditindak karena dasar hukumnya lebih kuat.
Maka itu, sejumlah razia besar-besar kerjasama Dispenda Jabar dengan Direktorat Lalu Lintas Polda Jabar harus dimaknai sangat positif karena bisa mendukung upaya antara menuju badan hukum seluruhnya.
Minimal dari kegiatan tersebut, akan diperoleh temuan atas pengusaha angkutan umum bandel yang kerap menunggak pajak dan atau tidak memiliki sama sekali surat terkait alias bodong!
Hal ini menjadi kian efektif, karena Dispenda Jabar dan Polda Jabar sepakat akan dilakukan kewajiban bayar pajak di tempat dalam operasi tersebut. Jadi, ini tidak semata-mata meminimalisir pelanggaran lalu lintas.
Bahkan, seperti terjadi di Dispenda Bekasi, selain razia di jalanan, juga dilakukan metode menjemput bola guna mendorong target peningkatan setoran ke kas daerah. Hal ini memang kian penting dilakukan.
Data dari Seksi Penerimaan dan Penagihan Dispenda Wilayah Kabupaten Bekasi, mencatat, di Kabupaten Bekasi ada total 441.552 kendaraan menunggak pajak mencakup 413.840 kendaraan roda 2 dan 27.682 kendaraan roda 4.
Jadi, jangan (selalu) pesimis apalagi skeptis jika terjadi razia. Kita sebagai konsumen angkutan umum, tentu menghendaki agar layanan yang diterima terus meningkat. Bukan malah nyawa dan kenyamanan selalu jadi terancam ketika kita naik angkutan umum! ***

Angkot Badan Hukum Demi Kebaikan Bersama

Di negara ini, yang kerap disebut-sebut hukum sebagai panglima tertingginya, keberadaan formal legal demikian pentingnya. Termasuk hal ini terjadi dalam sektor bisnis transportasi.
Karenanya, tidak berlebihan sebetulnya jika Pemprov Jabar melalui Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) dan Dinas Perhubungan Provinsi Jabar akan mencabut izin operasional kendaraan umum tak berbadan hukum pada tahun 2016 nanti.
Pemerintah Provinsi (pemprov) Jabar akan mencabut izin operasional ribuan angkutan umum di Kabupaten Bogor yang tidak memiliki status badan hukum selambatnya tahun 2016 mendatang.
Hal ini sejalan temuan di lapangan yang cukup memprihatinkan, sebab jutaan kendaraan bermotor di Jawa Barat tercatat belum membayar pajak. Bahkan banyak yang termasuk kendaraan bodong/tidak ada surat-suratnya. Hal ini mengganggu upaya provinsi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Jabar, Dadang Suharto, dalam sebuah kesempatan, mencontohkan sebanyak 441.552 kendaraan belum bayar pajak di Kabupaten Bekasi. Sedangkan di Kota Bandung, terbagi pada Bandung I sebanyak 94.105 kendaraan dan Bandung III sebanyak 51.348 kendaraan.
Padahal, pemilik kendaraan bermotor yang tidak melakukan registrasi akan menghambat kegiatan pembangunan Jabar. Pendapatan pemerintah dipastikan berkurang, sehingga menghambat sejumlah proyek infrastruktur.
Di sisi lain, Dadang melanjutkan, hilangnya pendapatan dari pajak kendaraan akan membuat pelayanan kepada masyarakat menjadi kurang optimal. Pemerintah provinsi akan kesulitan memperluas pelayanan terutama bagi warga di daerah pelosok.
Bagaimanapun, sekali lagi, sebagai negara hukum, angkutan umum berbadan hukum akan lebih menguntungkan.  Sebab, pengusaha akan mendapat subsidi biaya pajak kendaraan. Untuk angkutan penumpang subsidi sebesar 50 persen dari biaya Pungutan Kendaraan Bermotor (PKB).
Dari sisi penumpang, dengan status badan hukum, masyarakat akan lebih merasa aman dari segi tidak kejahatan di dalam angkutan, maupun dari kecelakaan selama perjalanan.
Bahkan, asosiasi profesi pengusaha angkutan umum, Organda Jabar, juga mendukung kewajiban ini karena pembentukan badan hukum diyakini makin memudahkan pendataan, pembinaan, serta memberikan konsekuensi administratif dan keselamatan bagi pelaku usaha sesuai PP No17/2014 tentang Angkutan Jalan.
Di sisi lain, upaya tersebut perlu dilakukan untuk mempermudah pemerintah menyalurkan bantuan subsidi BBM.
Organda juga telah meminta para pemilik angkutan di Kota Bandung agar membuat surat pernyataan apabila mereka telah bergabung dalam koperasi yang ada, baik Kobutri, Kobanter, maupun Kopamas.
Dari data yang dihimpun, jumlah armada saat ini mencapai 4.818 angkutan, sedangkan Kobutri memiliki delapan trayek dengan jumlah 1.000 angkutan dan Kopamas memiliki tiga trayek dengan anggota 400 unit.
Organda sendiri telah menyosialisasikan hal ini kepada seluruh pemilik angkutan umum agar segera bergabung atau membentuk badan usaha. Adapun untuk pemilik bus pada umumnya sudah lebih mudah di bawah Perusahaan Otobus (PO).
Jadi, bukan sekedar mengatur apalagi memaksa tanpa alasan jelas, seluruh regulasi pemerintah pasti memiliki konsideran baik dan matang. Bukan hanya buat pemerintah, kebaikan bersama lebih besar tentunya buat pengusaha angkutan umum itu sendiri, dan terutama pemerintah. ***

Agar Menetes di Jawa Barat

Meratakan keadilan sosial, yang terwujud karena ada kesadaran saling berkontribusi ke sesama (melalui pajak salah satunya) adalah misi yang sejak lama digaungkan di Indonesia melalui sejumlah manifesto.

Termasuk di Tatar Parahyangan, Jawa Barat, kita sudah sejak lama sepakat dan berusaha merealisasikan hal ihwal terkait keadilan sosial tersebut. Siapa lagi tujuannya kalau bukan kesejahteraan masyarakat kita sendiri.

Maka itu, kita terhenyak mendengar potensi larinya pendapatan negara (termasuk pajak daerah) ke luar negeri. Alih-alih menyejahterakan bangsa sendiri, yang terjadi adalah terbangnya kesejahteraan.

Sudah jadi rahasia umum, sekaligus berlangsung sejak lama, bahwa wajib pajak utama di Indonesia cenderung menghindari bayar pajak untuk kemudian membuka usahanya di negara ramah pajak semacam Singapura.

Maka itu, diperlukan sejumlah aturan agar hal ini tak terus terjadi. Ada beberapa cara yang bisa digunakan yaitu antara lain Tax Amnesty (amnesti pajak) serta Tax Treaty (konvensi pembagian pajak dua negara).

Wacana Tax Amnesty bagi orang dan perusahaan Indonsia yang bersedia membawa pulang uangnya dari luar negeri bisa menjadi pilihan yang patut dipertimbangkan.

Sepanjang tidak menjadi program tahunan, Tax Amnesty bukanlah hal yang tabu diterapkan, apalagi jika mampu menghadirkan penerimaan pajak lebih besar. Program ini merupakan tawaran menarik karena adanya kepastian hukum atas penghasilan dan aset yang belum dilaporkan.

Kebijakan ini pernah diterapkan di era Soeharto tahun 1984 ataupun tahun 2008 pada zaman SBY dengan Sunset Policy.

Kita bisa ambil contoh dalam kasus penggelapan pajak HSBC Swiss. Regulator pajak Australia, ATO, bahkan mampu menambah penerimaan pajak sebesar USD 30 juta dengan proyek DO IT (Disclose Offshore Income Today) yakni penawaran amnesti atas pengungkapan penghasilan dan asset yang belum dilaporkan sejak tanggal 27 Maret 2014 s.d 19 Desember 2014.

Sementara Tax Treaty dibuat dalam rangka mencari kesapakatan bersama pembagian pengenaan pajak atas penghasilan yang menjadi obyek pajak 2 (dua) negara.

Saat ini, kebijakan tersebut banyak mengacu model OECD yang cenderung menguntungkan negara pemilik modal (besar).

Tax Treaty Indonesia-Belanda misalnya, manakala PPh Pasal 26 tidak dikenakan atas pembayaran bunga untuk obligasi dengan jangka waktu diatas 2 tahun. Selain itu, perlu juga untuk melakukan dialog yang intensif dengan negara surga pajak (Tax Haven Countries) dalam membuat kesepakatan Tax Treaty atau minimal kesepahaman kerjasama pertukaran data.

Singkat kata, sebenarnya adalah hak dan otoritas wajib pajak menempatkan duit dan manajemen usahanya dimanapun, termasuk di negara ramah, bahkan surga pajak. Akan tetapi, jangan pernah dilupakan, siapapun yang berusaha di Indonesia (termasuk di Jawa Barat), otomatis memiliki tanggungjawab sosial perusahaan untuk berbagi ke sesama melalui distribusi hasil pajak. Jangan pernah memijak bumi, namun lupa menjunjung langit! ***

Prihatin! Menghindari Pajak di Tanah Air

Kita tentu prihatin, manakala orang-orang berada, yang serial duitnya tidak ada habisnya, malah cenderung menghindari membayar pajak di tanah air untuk kemudian membayar pajak di negara lain.

Situasi ini tentu mengherankan. Ketika masih banyak orang sekitar kita yang serba kekurangan, termasuk di Jawa Barat ini, malah sebagian orang kita justru “menerbangkan” pendapatannya ke negeri orang.

Yang terbaru, seperti dirilis salah satu koran nasional terungkap bahwa salah satu orang kaya Indonesia versi Majalah Forbes tersangkut dengan kasus HSBC Swiss yang menghebohkan dunia terkait penggelapan pajak.

Selain Swiss, sudah jadi rahasia umum dan berlangsung lama bahwa banyak perusahaan besar Indonesia memilih kantor pusat di Singapura padahal sumber penghasilan berada di Indonesia.

Melalui varian pembayaran jasa, royalti ke kantor pusat. Labuan FSA, dengan fasilitas seperti negara Tax Haven Countries, menjadi lokasi menarik untuk pendirian entitas anak usaha.

Padahal, tarif pajak perusahaan di Indonesia sudah diturunkan menjadi 25% pada tahun 2010. Akan tetapi, sebagai sebuah evaluasi, tarif ini relatif masih tinggi apabila dibandingkan negara tetangga di Asean.

Hanya Malaysia yang sama 25%. Thailand 20%, Vietnam 22%, dan Singapura berani dengan hanya mematok tarif 17%! Di luar Asia Tenggara, Hongkong 16,5%. Apalagi untuk negara yang kerap disebut surga pajak (Tax Haven Countries), seperti Bermuda, Bahamas, Cayman Islands dengan tarif corporate Tax 0%.

Tapi tentu saja yang terdekat yang dilihat. Pajak perusahaan di Singapura patut menjadi perhatian. Sebagai negara kecil, Singapura memainkan peran seperti negara kecil di Eropa yang menyedot penerimaan pajak negara tetangga dengan fasilitas tarif pajak atau skema rumit untuk menurunkan pajak di negara sumber.

Singapura memang agresif memberikan insentif pajak. Bagi investor asing yang menempatkan kantor pusat/regional usaha dan syarat memperkerjakan orang Singapura, malah mendapatkan penurunan tarif sebesar 10-15%.

Ada juga penurunan tarif untuk perusahaan yang bergerak di bidang pelayaran dan maritim. Ditambah tidak adanya withholding tax untuk pembayaran bunga dan dividen, makin mantap sudah! Jadi tidaklah mengherankan, jika banyak pengusaha Indonesa yang memarkir uang mereka ke Singapura.

Direktur Utama Bank Mandiri dalam sebuah kesempatan mengatakan, terdapat dana simpanan orang kaya Indonesia dan uang perusahaan yang tersimpan di Singapura masing-masing bernilai USD 150 Milyar

Malah mungkin bisa lebih karena ini fenomena gunung es, yang bukan hanya terjadi di tanah air, namun juga secara global. Pada Februari 2015 lalu, Eropa dikejutkan kasus perpajakan yang dilakukan HSBC Swiss.

Fenomena gunung es sebagaimana terlihat dalam kasus International Consortium of Investigative Journalist (The Guardian dan BBC Inggris, Le Monde Perancis, dan 50 media lainnya) yang mengungkap HSBC Swiss soal penggelapan pajak tadi.

Dalam laporannya, HSBC Swiss diduga telah membantu nasabah kaya menghindari pajak dengan menawarkan skema agresif untuk mengurangi pajak di negara asal, khususnya Eropa.

Secara serentak, otoritas pajak negara di Eropa (HMRC Inggris, CFE Perancis) dan negara belahan dunia lain seperti ATO Australia segera melakukan penyelidikan guna menemukan keterlibatan warganya yang menyembunyikan pundi-pundi kekayaannya.

Kasus HSBC Swiss semakin menambah deretan kasus penghindaran pajak di benua biru. Di akhir 2014, terungkap kasus penghindaran pajak yang menyangkut banyak perusahaan multinasional yang melibatkan negara Luxembourg sebagai negara yang memberikan fasilitas pajak dengan skema pajak yang rumit dengan dibantu kantor akuntan handal internasional.

Dalam pertengahan 2014, Eropa juga diguncangkan dengan polemik fasilitas perpajakan Irlandia yang menyebabkan banyak perusahaan multi nasional besar seperti : Amazon, Apple, Facebook, Paypal, Twitter memilih markas di Irlandia guna membayar pajak yang lebih rendah dibandingkan kalau membuka markas di negara eropa lainnya.

Hal ini tentunya menimbulkan kemarahan negara sumber penghasilan seperti Prancis, Inggris, Amerika Serikat yang merasa kontribusi pajak yang dibayarkan tidak sebanding dengan penghasilan yang diperoleh dari negara tersebut.

Jadi, sebenarnya ini tren global, tak hanya melanda negara kita. Akan tetapi, situasinya menjadi lebih rumit dan berat manakala terjadi di Indonesia yang kesenjangan ekonominya tak sekecil negara lainnya. ***

Agar Menetes di Jawa Barat

Meratakan keadilan sosial, yang terwujud karena ada kesadaran saling berkontribusi ke sesama (melalui pajak salah satunya) adalah misi yang sejak lama digaungkan di Indonesia melalui sejumlah manifesto.
Termasuk di Tatar Parahyangan, Jawa Barat, kita sudah sejak lama sepakat dan berusaha merealisasikan hal ihwal terkait keadilan sosial tersebut. Siapa lagi tujuannya kalau bukan kesejahteraan masyarakat kita sendiri.
Maka itu, kita terhenyak mendengar potensi larinya pendapatan negara (termasuk pajak daerah) ke luar negeri. Alih-alih menyejahterakan bangsa sendiri, yang terjadi adalah terbangnya kesejahteraan.
Sudah jadi rahasia umum, sekaligus berlangsung sejak lama, bahwa wajib pajak utama di Indonesia cenderung menghindari bayar pajak untuk kemudian membuka usahanya di negara ramah pajak semacam Singapura.
Maka itu, diperlukan sejumlah aturan agar hal ini tak terus terjadi. Ada beberapa cara yang bisa digunakan yaitu antara lain Tax Amnesty (amnesti pajak) serta Tax Treaty (konvensi pembagian pajak dua negara).
Wacana Tax Amnesty bagi orang dan perusahaan Indonesia yang bersedia membawa pulang uangnya dari luar negeri bisa menjadi pilihan yang patut dipertimbangkan.
Sepanjang tidak menjadi program tahunan, Tax Amnesty bukanlah hal yang tabu diterapkan, apalagi jika mampu menghadirkan penerimaan pajak lebih besar. Program ini merupakan tawaran menarik karena adanya kepastian hukum atas penghasilan dan aset yang belum dilaporkan.
Kebijakan ini pernah diterapkan di era Soeharto tahun 1984 ataupun tahun 2008 pada zaman SBY dengan Sunset Policy.
Kita bisa ambil contoh dalam kasus penggelapan pajak HSBC Swiss. Regulator pajak Australia, ATO, bahkan mampu menambah penerimaan pajak sebesar USD 30 juta dengan proyek DO IT (Disclose Offshore Income Today) yakni penawaran amnesti atas pengungkapan penghasilan dan asset yang belum dilaporkan sejak tanggal 27 Maret 2014 s.d 19 Desember 2014.
Sementara Tax Treaty  dibuat dalam rangka mencari kesapakatan bersama pembagian pengenaan pajak atas penghasilan yang menjadi obyek pajak 2 (dua) negara.
Saat ini,  kebijakan tersebut banyak mengacu model OECD yang cenderung menguntungkan negara pemilik modal (besar).
Tax Treaty Indonesia-Belanda misalnya, manakala PPh Pasal 26 tidak dikenakan atas pembayaran bunga untuk obligasi dengan jangka waktu diatas 2 tahun. Selain itu, perlu juga untuk melakukan dialog yang intensif dengan negara surga pajak (Tax Haven Countries) dalam membuat kesepakatan Tax Treaty atau minimal kesepahaman kerjasama pertukaran data.
Singkat kata, sebenarnya adalah hak dan otoritas wajib pajak menempatkan duit dan manajemen usahanya dimanapun, termasuk di negara ramah, bahkan surga pajak. Akan tetapi, jangan pernah dilupakan, siapapun yang berusaha di Indonesia (termasuk di Jawa Barat), otomatis memiliki tanggungjawab sosial perusahaan untuk berbagi ke sesama melalui distribusi hasil pajak. Jangan pernah memijak bumi, namun lupa menjunjung langit! ***