Pajak dan Janji Politik

Sudah menjadi hal biasa, di tataran pemerintah manapun, sekalipun itu desa, garansi dan janji kesejahteraan menjadi tekad awal yang dilontarkan sang calon pemimpin. Bahkan, itu seolah mantra utama.

Kita melihat dalam kampanye pemilihan, mulai dari kepala desa, kepala pemerintah kabupaten/kota, kepala pemerintah provinsi, hingga kepala negara, janji kesejahteraan tercetus sejak awal.

Sebagai bentuk menarik simpati, menjanjikan berbagai keringan hidup seolah menjadi langgam oase yang diyakini banyak calon pemimpin. Sekalipun banyak yang kemudian terasa kurang realistis.

Kita jamak melihat janji calon bupati, walikota, bahkan presiden, yang menawarkan subsidi kesejahteraan bagi RW/desa/kota dan kabupaten dengan angka fantastis. Misal subsidi satu desa Rp1 miliar per tahun!

Selain yang sifatnya benefit fantastis, janji perbaikan aneka hal juga jadi garansi. Mulai dari jalan akan dimuluskan, trotoar diperbaiki, irigasi sawah benar-benar diurus, dan banyak lagi janji lainnya.

Singkat kata, rata-rata menawarkan peningkatan anggaran pemerintah (desa hingga pemerintah pusat) guna meringankan beban hidup masyarakat kebanyakan yang memang banyak yang sudah tidak mudah.

Peningkatan alokasi bujet yang bersifat subsidi bagi masyarakat umum seolah menjadi ciri khas kampanye ataupun yang sudah mentas memimpin di tataran pemerintan manapun di negeri ini.

Kita masih hangat dalam ingatan, betapa kedua capres yang berkampanye Juni lalu, dua-duanya menjanjikan terus hadirnya subsidi bahan bakar minyak (BBM) dari APBN agar rakyat tak kesulitan hidup.

Di tingkat mikro, misalnya pemkab, sudah sering terdengar pula janji memberikan anggaran ke tingkat desa yang lebih baik. Mulai dari gaji RW, gaji guru ngaji, bahkan subsidi desa bermiliaran rupiah saat kampanye berlangsung.

Padahal, di sisi lain, kita ketahui bersama bahwa pos pendapatan pemerintah di level apapun di negeri ini relatif tidak tumbuh signifikan. Artinya, pos bujet penerimaan sebenarnya bisa dibilang itu-itu saja.

Kalaupun ada pengembangan, sifatnya masih penunjang alias belum menjadi pos baru yang belum bisa menopang apalagi menggantikan pos pendapatan pemerintah yang konvensional.

Di sinilah ketimpangan politik terjadi, manakala pos penerimaan dan pendapatan tidak sepenuhnya seimbang. Kesenjangan antara mimpi politis yang akan diberikan dengan realitas anggaran yang dimiliki.

Maka sesungguhnya, guna menjembatani kesenjangan tersebut, sudah selayaknya pajak berada di urutan pertama solusi. Baik pajak pusat, pemerintah provinsi, kota/kabupaten, dan seterusnya.

Kita masih ingat, sebelum era pilkada langsung yang kian menguatkan pola kesenjangan tadi, pajak sebenarnya sudah menjadi opsi solusi pertama setelah krisis berkurangnya penerimaan sektor migas sekitar tahun 1983.

Apalagi setelah periode tersebut, dimana pajak jelas semakin penting dalam mengatasi disparitas kesejahteraan publik dengan alokasi anggaran yang sebenarnya kita miliki.

 

Pajak memungkinkan terciptanya peran penting dalam mengumpulkan sekaligus mendistribusikan kekayaan negara dan masyarakat, sehingga kesejahteraan tidak berkumpul maupun berputar di situ-situ juga.

Istilahnya, manakala terjadi kemampetan antara harapan dengan kenyataan, maka salah satu yang bisa diandalkan untuk meningkatkan harapan tersebut tentu saja pajak.

Pertanyaannya kemudian, pajak seperti apa? Apa benar kewajiban ini bisa mengatasi kesenjangan politis tadi? Jawabannya sederhana, yakni pajak yang berbasis gotong royong masyarakat.

Artinya, guna mewujudkan program para pemimpin saat berkampanye, maka sebenarnya masyarakat itu sendiri yang bisa membantu mewujudukan. Mendorong terciptanya penerimaan pendapatan pemerintah lebih besar.

Dengan kata lain, konsep dari kita oleh kita dan untuk kita sepenuhnya direalisasikan. Sekiranya kita ingin semua dari kita sejahtera, maka yang bisa membantu tentu saja diri kita sendiri. Pemimpin hanyalah memfasilitasi!

Untuk itulah, gotong royong memberikan pajak tak boleh terdengar klise. Namun percayalah, dengan realitas pajak masih sebagai kontributor utama APBD/APBN, maka di tangan kita sendiri seluruh kesejahteraan bersama ditentukan! (**)

 

 

 

 

Menuju Layanan Pajak di Era Digital

Inilah era teknologi informasi. Zaman dimana seluruh interaksi diawali, dijalankan, bahkan diakhiri dengan pemrosesan data digital yang dijalankan oleh berbagai perangkat elektronik modern yang cerdas.

Inilah tahun-tahun dimana masyarakat yang mobilitasnya terus meninggi, membuat mereka pun bertumpu kepada perangkat berbasis teknologi informasi dan internet, sehingga bisa berlaku “Any Time, Any Where, dan Any Device”.

Termasuk tuntutan ini mulai berkembang kepada interaksi pemerintah dengan masyarakat. Layanan sektor pajak, tentu saja termasuk salah satu layanan yang diharapkan bisa mengakomodir peningkatan mobilitas masyarakat ini.  

Secara prinsip, sebagaimana digambarkan United Nation For Public Adminstration Network (UNPAN), interaksi kepentingan masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah memiliki irisan lebih tajam. 

Jika sebelumnya hanya pemerintah, bisnis, dan masyarakat secara mandiri, maka selanjutnya beririsan menjadi e-government, e-business,dan e-society. Alias seluruhnya telah terhubung secara digital.  

Menariknya, jika berkaca di negara maju, irisan hubungan ini selanjutnya menunjukkan, terdapat hubungan sosial antara moralitas pajak-persepsi warga terhadap isu-isu pajak dan persepsi kualitas belanja sosial. 

Artinya, sebagaiman ditegaskan dalam riset OECD/CEPAL,2011), pelayanan perpajakan yang lebih baik dan mampu mengakomodir mobilitas masyarakat tadi, membuat masyarakat pun lebih bersedia membayar pajak mereka. 

Otomatis, di sisi lain, instansi terkait perpajakan semacam Dinas Pendapatan Provinsi Jabar pun harus bekerja dan memberikan layanan paling mutahir bagi seluruh pemangku kepetingan di dalamnya. 

Terutama adalah bagaimana bisa menciptakan empat layanan primer dari e-government sektor perpajakanyakni eksistensi digital (e-presence), pendaftaran online (e-registration), pembayaran (e-billing) dan pelaporan (e-filling).

Jika empat yang utama di atas ini sudah terpenuhi, selanjutnya adalah menghadirkan tahap lima yaitu layanan perpajakan online dengan data terintegrasi yang dapat dilakukan Any Where, Any Time, dan Any Device tadi atau istilah lainnya adalah Seamless Integration and Linkage.

Secara simultan, lima tahap ini tercakup dalam tiga fase perkembangan. Yakni 

C-government, e-government, dan terakhir u-government. C-government hanya bertumpu proses birokrasi, waktunya pun jam kerja biasa alias 5 hari/minggu.

E-goverment, sebagaimana kita bahas sekarang, lebih luas dengan alokasi waktu kerja bisa sampai 24 jam dalam tujuh hari. Fase paling paripurna, yakni u-government/ubiquitos goverment adalah yang sudah mampu menyediakan layanan Seamless Integration and Linkagetersebut.

Ubiquitous arti umumnya adalah bisa hadir dimana saja. “Existing or being everywhere, especially at the same time; omnipresent”. Jadi, prinsip operasional, jam layanan, tempat, dan metodenya sudah terintegrasi dan lebih memudahkan masyarakat. 

Jika tahap kelima dan fase ketiga ini sudah dilakukan, maka bukan hanya wajib pajak diuntungkan. Aparat pun akan bisa menangkis sorotan publik akan isu inefisiensi sekaligus transparansi dan akuntabilitas perpajakan. 

Maka itu, adalah tugas kita bersama bagaimana terus meningkatkan raihan tahap dan fase penerapan pemerintahan digital ini. Bagaimana penerapkan digitalisasi ini bisa benar-benar menyatukan irisan e-government, e-business, dan e-society tadi.

Beban dan kewajiban kita bersama dalam menciptakan satu sistem administrasi perpajakan yang mudah, praktis, dan efektif berbasis IT, sehingga masyarakat bisa mengaksesnya secara any where, any time, any device. Bagi mereka yang berharap layanan pajak mumpuni, mari kita sama-sama wujudkan! *** 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pajak Usaha Toko Online

Situasi ini tak bisa dihindari jika kita melihat betapa pengguna dan penduduk internet (internet citizen/netizen) di Indonesia telah sedemikian besar dan massif.   

Simak data berikut. Menurut Kementrian Kominfo, pada tahun 2011 pengguna internet di Indonesia mencapai 55 juta dan menjadi 82 juta per Juni 2014 alias hanyabutuh waktu kurang dari 3 tahun. 

Dengan total penduduk sekira 260 juta-an, maka secara persentase saat ini ada sekitar 32 persen penduduk Indonesia yang melek internet. Otomatis, 1/3 masyarakat kita sudah juga menjadi penduduk dunia maya. 

Hal ini akan terus bertambah. Menurut proyeksi Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia, pada akhir tahun 2014 nanti pengguna internet menjadi 107 juta dan tahun 2015 akan menjadi 139 juta.

Selanjutnya, kita lihat data berikutnta yakni data pengguna telepon genggam di Indonesia. Pada tahun 2014, pengguna telepon genggam di Indonesia sebesar 282 juta padahal jumlah populasinya baru berkisar 251 jutaan penduduk.

Jadi, memang kalau dilihat dari data tersebut sebagian dari kita mempunyai lebih dari satu telepon genggam. Dan perlu menjadi catatan juga, bahwa terdapat 53 juta pengguna telepon genggam jenis smartphone (versi Nielsen).

Dari kedua data diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan internet di Indonesia sudah sedemikian dahsyatnya, sehingga fenomena toko online jadi sebuah keniscayaan yang tak bisa dihindari.

Toko daring menjadi pilihan pengguna dan netizen disebabkan berbagai benefit utama miliknya, terutama dari sisi kenyamanan, efisiensi, praktis, dan terbebas dari berbagai persoalan infrastruktur kota.

Fenomena ini ternyata tak lepas dari pengamatan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai otoritas pajak.

Untuk memberikan kepastian hukum kepada para pemilik toko daring atas perlakuan perpajakannya, DJP telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Direktorat Jenderal Pajak tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan atas transaksi E-Commerce, Nomor SE-62/PJ/2013 tertanggal 27 Desember 2013.

SE E-Commerce tersebut menjelaskan, prinsipnya tidak ada jenis pajak baru didalam toko daring tetapi hanya menerapkan aturan yang sudah ada.

Dengan kata lain, pengelolaan usaha melalui toko digital mendapatkan perlakuan perpajakan yang sama selayaknya perdagangan biasa. Sehingga secara umum, pelaku e-commerce mempunyai kewajiban perpajakan, baik itu mulai dari pendaftaran, penghitungan, pembayaran dan pelaporan yang telah diatur dalam peraturan dan ketentuan dari DJP.

Aturan ini telah mengikuti tren global, dimana otoritas perpajakan di negara lain menerapkan regulasi yang tak jauh berbeda. Karenanya, iklim bisnis yang diciptakan bersifat modern dan global.

Bahkan, sebenarnya ini masih tahap awal. Sebab, di negara maju, bukan sekedar diatur, tapi sudah sampai tahap penegakan hukum ketat. Misalnya National Tax Agency (NTA), otoritas pajak Jepang, sampai membentuk satuan khusus bernama PROTECT (Professional Team for E-commerce Taxation) guna mengejar pemilik toko daring yang tidak menjalankan kewajiban pajaknya.

Kita di Indonesia tidak sampai seketat dan sejauh itu, terlebih toko digital juga baru tumbuh baik dalam beberapa tahun belakangan. Untuk itulah, mari kita taat perpajakan di dunia nyata maupun maya. Toh, pajak keduanya sama saja. ***

 

Mungkin Sudah Saatnya Perusahaan Ojek Modern Dikenai Pajak

Dengan melemahnya pertumbuhan ekonomi pada saat ini akan berpengaruh negatif terhadap performa penerimaan negara. Ditambah dengan terdepresiasinya nilai rupiah berakibat meningkatnya inflasi yang berdampak pada melemahnya daya beli masyarakat. Juga tidak bisa dipungkiri turut andil dalam turunnya penerimaan pajak.

Tetapi disisi lain, tidak semua fokus media pada keterpurukan ekonomi, kita juga masih dapat menemukan optimisme dari sektor ekonomi kreatif. Yang paling fenomenal adalah menjamurnya bisnis start-up perusahaan ojek modern yang memanfaatkan teknologi informasi dan sudah menguasai pasar yang ada.

Lalu apa kaitannnya dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Selaku institusi yang diberi amanah untuk mengamankan penerimaan negara, DJP dalam kondisi yang dilematis, disatu sisi faktor makro ekonomi yang notabene merupakan faktor yang tidak bisa dikontrol oleh DJP sedang dalam kondisi terpuruk, yang berdampak pada potensi penurunan penerimaan dari sektor pajak.

Di sisi lain target penerimaan DJP pada tahun 2015 ini sungguh sangat fantastis. Hal tersebut yang mendorong pentingnya DJP melakukan berbagai langkah yang strategis untuk menjawab tantangan tersebut.

Sehingga fenomena Perusahaan Ojek Modern, menurut hemat penulis perlu serius digarap oleh DJP.  Dus, dalam artikel ini penulis akan mencoba memberikan aspek perpajakan yang melekat pada Perusahaan Ojek Modern.

Perusahaan Ojek Modern tersebut dapat digolongkan sebagai subjek pajak badan dalam negeri apabila berupa badan yang didirikan di Indonesia atau badan yang bertempat kedudukan di Indonesia. sesuai dengan definisi yang terdapat didalam pasal 2 ayat (3) huruf b UU PPh.

Berdasarkan ketentuan tersebut tampaknya perusahaan ojek modern semuanya didirikan di Indonesia atau bertempat kedudukan di Indonesia. Namun didalam definisi tersebut ada kata badan.

Apakah perusahaan ojek modern merupakan badan? Definisi Badan menurut Pasal 1 angka 3 UU KUP yaitu : “Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi persereoan terbatas, persereoan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.”

Jadi apabila Perusahaan Ojek Modern tersebut sudah berupa Perseroan Terbatas dan didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia maka dapat kita simpulkan bahwa Perusahaan Ojek Modern tersebut merupakan subjek pajak badan dalam negeri.

Sebagai subjek pajak badan dalam negeri, maka implikasi selanjutnya Perusahaan Ojek Modern tersebut mempunyai kewajiban perpajakan yang melekat yakni kewajiban untuk mendaftarkan diri ke DJP dilanjutkan dengan kewajiban pembayaran, pemotongan pemungutan, dan pelaporan pajak. Kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh seperti PPh pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, dan withholding tax lainnya.

Karena Perusahaan Ojek Modern dikategorikan perusahaan start up, maka yang menjadi pertanyaan mendasar, sudahkan perusahaan tersebut mendaftarkan diri ke DJP dan memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Jikalaupun  belum, maka DJP dapat menerbitkan NPWP secara jabatan.

Dilihat dari aspek Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Perusahaan Ojek Modern dikategorikan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Apabila melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN) dan bukan merupakan pengusaha kecil.

Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan omzet  tidak lebih dari Rp4,8 Milyar (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013).

Nah sekarang mari kita cek gambaran kasar dari penerimaan bruto Perusahaan Ojek Modern dengan kalkulasi sederhana saja. Dari situs berita online diketahui bahwa jumlah pengemudi salah satu perusahaan ojek modern terkemuka berjumlah 10.000 orang, dengan penghasilan perhari rata-rata Rp 500.000,00, kita asumsikan perbulan pengemudi bekerja selama dua puluh hari saja.

Maka omset bruto yang diterima oleh perusahaan perbulan adalah Rp 500.000 dikalikan 20 hari dikalikan 10.000 pengemudi yakni Seratus Milyar perbulan, apabila kita setahunkan maka menjadi 1,2 T pertahun. Apabila hitung-hitungannya 20 % untuk perusahaan dan 80 % untuk pengemudi, maka penghasilan bruto yang diterima perusahaan adalah Rp 200 miliar per tahun.

Apabila hitungan kasar tersebut ternyata benar, dengan omzet hasil hitungan ternyata jauh lebih besar dari Rp 4,8 miliar setahun, maka Perusahaan Ojek Modern termasuk dalam kategori Pengusaha Kena Pajak sehingga wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang. Namun bila ternyata perusahaan tersebut belum melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP, maka DJP mempunyai kewenangan khusus untuk pengukuhan PKP secara jabatan.

Dari segi Objek PPN, kita dapat ketahui bisnis utama dari Perusahaan Ojek Modern adalah memberikan jasa pengantaran baik itu manusia maupun barang. Jasa tersebut merupakan Objek PPN didalam bahasa UU PPN diklasifikasikan sebagai penyerahan jasa kena pajak yang didalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha (Pasal 4 angka 1 huruf c UU PPN).

Tetapi bukankah ojek modern merupakan jasa angkutan umum yang tidak dikenai PPN seperti yang termaktub didalam  dalam Pasal 4A ayat 3  huruf j UU PPN, hal tersebut mungkin yang menjadi kegamangan dari sebagian fiskus untuk mengenakan PPN atas jasa dari ojek modern.

Namun bila kita tilik lebih dalam lagi didalam Pasal 1 ayat 1  PMK-80/PMK.03/2012 diketahui bahwa  definisi kendaraan angkutan umum adalah kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan orang dan/atau barang yang disediakan untuk umum dengan dipungut bayaran baik dalam trayek atau tidak dalam trayek, dengan menggunakan tanda nomor kendaraan dengan dasar kuning dan tulisan hitam.

Berdasarkan definisi tersebut tentunya secara kasat mata kita dapat menentukan apakah kendaraan pengojek tersebut merupakan jenis kendaraan angkutan umum yang jasanya tidak dikenai PPN, hanya dengan melihat pelat nomor nya saja. Karena dari definsi PMK 80 tersebut sudah sangat gamblang, jika pelat nomor kendaraan tidak dengan dasar kuning dan tulisan hitam maka bukan merupakan kendaraan angkutan umum, sehingga jasa transportasinya dikenai PPN.

Selain jasa angkutan orang, Perusahaan Ojek Modern juga mempunyai usaha pengantaran paket, atas jasa tersebut juga dikenakan PPN. Sesuai dengan Pasal 2 huruf j  KMK nomor 38/PMK.011/2013.

Sekarang mari kita lihat dari sisi pengemudi ojek modern, apabila penghasilan mereka diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak  Rp 36 juta setahun untuk Wajib Pajak Orang Pribadi,   tambahan untuk WP Kawin sebesar Rp 3 juta setahun, tambahan untuk tanggungan Rp 3 Juta setahun, tambahan apabila penghasilan istri digabung dengan suami Rp 36 Juta setahun  (PMK No:122/PMK.010/2015),  maka pengemudi ojek modern juga terkena PPh pasal 21 dan wajib juga mempunyai NPWP.

(Dari pajak.go.id)

Mungkin Sudah Saatnya Perusahaan Ojek Modern Dikenai Pajak

Dengan melemahnya pertumbuhan ekonomi pada saat ini akan berpengaruh negatif terhadap performa penerimaan negara. Ditambah dengan terdepresiasinya nilai rupiah berakibat meningkatnya inflasi yang berdampak pada melemahnya daya beli masyarakat. Juga tidak bisa dipungkiri turut andil dalam turunnya penerimaan pajak.

Tetapi disisi lain, tidak semua fokus media pada keterpurukan ekonomi, kita juga masih dapat menemukan optimisme dari sektor ekonomi kreatif. Yang paling fenomenal adalah menjamurnya bisnis start-up perusahaan ojek modern yang memanfaatkan teknologi informasi dan sudah menguasai pasar yang ada.

Lalu apa kaitannnya dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Selaku institusi yang diberi amanah untuk mengamankan penerimaan negara, DJP dalam kondisi yang dilematis, disatu sisi faktor makro ekonomi yang notabene merupakan faktor yang tidak bisa dikontrol oleh DJP sedang dalam kondisi terpuruk, yang berdampak pada potensi penurunan penerimaan dari sektor pajak.

Di sisi lain target penerimaan DJP pada tahun 2015 ini sungguh sangat fantastis. Hal tersebut yang mendorong pentingnya DJP melakukan berbagai langkah yang strategis untuk menjawab tantangan tersebut. 

Sehingga fenomena Perusahaan Ojek Modern, menurut hemat penulis perlu serius digarap oleh DJP.  Dus, dalam artikel ini penulis akan mencoba memberikan aspek perpajakan yang melekat pada Perusahaan Ojek Modern.  

Perusahaan Ojek Modern tersebut dapat digolongkan sebagai subjek pajak badan dalam negeri apabila berupa badan yang didirikan di Indonesia atau badan yang bertempat kedudukan di Indonesia. sesuai dengan definisi yang terdapat didalam pasal 2 ayat (3) huruf b UU PPh.  

Berdasarkan ketentuan tersebut tampaknya perusahaan ojek modern semuanya didirikan di Indonesia atau bertempat kedudukan di Indonesia. Namun didalam definisi tersebut ada kata badan.

Apakah perusahaan ojek modern merupakan badan? Definisi Badan menurut Pasal 1 angka 3 UU KUP yaitu : “Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi persereoan terbatas, persereoan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.”

Jadi apabila Perusahaan Ojek Modern tersebut sudah berupa Perseroan Terbatas dan didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia maka dapat kita simpulkan bahwa Perusahaan Ojek Modern tersebut merupakan subjek pajak badan dalam negeri.

Sebagai subjek pajak badan dalam negeri, maka implikasi selanjutnya Perusahaan Ojek Modern tersebut mempunyai kewajiban perpajakan yang melekat yakni kewajiban untuk mendaftarkan diri ke DJP dilanjutkan dengan kewajiban pembayaran, pemotongan pemungutan, dan pelaporan pajak. Kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh seperti PPh pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, dan withholding tax lainnya.

Karena Perusahaan Ojek Modern dikategorikan perusahaan start up, maka yang menjadi pertanyaan mendasar, sudahkan perusahaan tersebut mendaftarkan diri ke DJP dan memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Jikalaupun  belum, maka DJP dapat menerbitkan NPWP secara jabatan.

Dilihat dari aspek Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Perusahaan Ojek Modern dikategorikan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Apabila melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN) dan bukan merupakan pengusaha kecil.

Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan omzet  tidak lebih dari Rp4,8 Milyar (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013).

Nah sekarang mari kita cek gambaran kasar dari penerimaan bruto Perusahaan Ojek Modern dengan kalkulasi sederhana saja. Dari situs berita online diketahui bahwa jumlah pengemudi salah satu perusahaan ojek modern terkemuka berjumlah 10.000 orang, dengan penghasilan perhari rata-rata Rp 500.000,00, kita asumsikan perbulan pengemudi bekerja selama dua puluh hari saja.

Maka omset bruto yang diterima oleh perusahaan perbulan adalah Rp 500.000 dikalikan 20 hari dikalikan 10.000 pengemudi yakni Seratus Milyar perbulan, apabila kita setahunkan maka menjadi 1,2 T pertahun. Apabila hitung-hitungannya 20 % untuk perusahaan dan 80 % untuk pengemudi, maka penghasilan bruto yang diterima perusahaan adalah Rp 200 miliar per tahun.

Apabila hitungan kasar tersebut ternyata benar, dengan omzet hasil hitungan ternyata jauh lebih besar dari Rp 4,8 miliar setahun, maka Perusahaan Ojek Modern termasuk dalam kategori Pengusaha Kena Pajak sehingga wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang. Namun bila ternyata perusahaan tersebut belum melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP, maka DJP mempunyai kewenangan khusus untuk pengukuhan PKP secara jabatan.

Dari segi Objek PPN, kita dapat ketahui bisnis utama dari Perusahaan Ojek Modern adalah memberikan jasa pengantaran baik itu manusia maupun barang. Jasa tersebut merupakan Objek PPN didalam bahasa UU PPN diklasifikasikan sebagai penyerahan jasa kena pajak yang didalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha (Pasal 4 angka 1 huruf c UU PPN).

Tetapi bukankah ojek modern merupakan jasa angkutan umum yang tidak dikenai PPN seperti yang termaktub didalam  dalam Pasal 4A ayat 3  huruf j UU PPN, hal tersebut mungkin yang menjadi kegamangan dari sebagian fiskus untuk mengenakan PPN atas jasa dari ojek modern.

Namun bila kita tilik lebih dalam lagi didalam Pasal 1 ayat 1  PMK-80/PMK.03/2012 diketahui bahwa  definisi kendaraan angkutan umum adalah kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan orang dan/atau barang yang disediakan untuk umum dengan dipungut bayaran baik dalam trayek atau tidak dalam trayek, dengan menggunakan tanda nomor kendaraan dengan dasar kuning dan tulisan hitam.

Berdasarkan definisi tersebut tentunya secara kasat mata kita dapat menentukan apakah kendaraan pengojek tersebut merupakan jenis kendaraan angkutan umum yang jasanya tidak dikenai PPN, hanya dengan melihat pelat nomor nya saja. Karena dari definsi PMK 80 tersebut sudah sangat gamblang, jika pelat nomor kendaraan tidak dengan dasar kuning dan tulisan hitam maka bukan merupakan kendaraan angkutan umum, sehingga jasa transportasinya dikenai PPN.

Selain jasa angkutan orang, Perusahaan Ojek Modern juga mempunyai usaha pengantaran paket, atas jasa tersebut juga dikenakan PPN. Sesuai dengan Pasal 2 huruf j  KMK nomor 38/PMK.011/2013.

Sekarang mari kita lihat dari sisi pengemudi ojek modern, apabila penghasilan mereka diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak  Rp 36 juta setahun untuk Wajib Pajak Orang Pribadi,   tambahan untuk WP Kawin sebesar Rp 3 juta setahun, tambahan untuk tanggungan Rp 3 Juta setahun, tambahan apabila penghasilan istri digabung dengan suami Rp 36 Juta setahun  (PMK No:122/PMK.010/2015),  maka pengemudi ojek modern juga terkena PPh pasal 21 dan wajib juga mempunyai NPWP.  

Mengenali Malpraktik yang di Dalam Pelayanan Publik (Bagian II-Habis)

Pemberian pelayanan umum oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat adalah merupakan perwujudan dari fungsi aparat negara, agar terciptanya suatu keseragaman pola dan langkah pelayanan umum oleh aparatur pemerintah perlu adanya suatu landasan yang bersifat dalam bentuk pedoman tata laksana pelayanan umum. Pedoman ini merupakan penjabaran dari hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam prosedur operasionalisasi pelayanan umum yang diberikan oleh instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah secara terbuka dan transparan.

Bentuk-bentuk Malpraktik yang lebih mencerminkan sebagai bentuk pelanggaran terhadap hukum dan peraturan perundangan. Kelompok ini terdiri dari tindakan-tindakan sebagai berikut:

1. Pemalsuan

Perbuatan meniru sesuatu secara tidak sah atau melawan hukum untuk kepentingan menguntungkan diri sendiri, orang lain dan/atau kelompok sehingga menyebabkan masyarakat tidak memperoleh pelayanan secara baik.

2. Pelanggaran Undang-Undang.

Dalam proses pemberian pelayanan, seorang pejabat publik secara sengaja melakukan tindakan menyalahi atau tidak mematuhi ketentuan perundangan yang berlaku sehingga masyarakat tidak memperoleh pelayanan secara baik.

3. Perbuatan Melawan Hukum

Dalam proses pemberian pelayanan, seorang pejabat publik melakukan perbuatan bertentangan dengan ketentuan ber laku dan kepatutan sehing ga merugikan masyarakat yang semsetinya memperoleh pelayanan publik.

d. Bentuk-bentuk Malpraktik  yang terkait dengan kewenangan kompetensi atau ketentuan yang berdampak pada kualitas pelayanan yang diberikan pejabat publik kepada masyarakat. Kelompok ini terdiri dari tindakan-tindakan sebagai berikut:

1. Diluar Kompetensi

Dalam proses pemberian pelayanan publik, seorang pejabat publik memutuskan sesuatu yang bukan menjadi kewenangannya sehingga masyarakat tidak memperoleh pelayanan secara baik.

2. Tidak Kompeten

Dalam proses pemberian pelayanan, seorang pejabat publik tidak mampu atau tidak cakap dalam memutuskan sesuatu sehingga pelayanan yang diberikan kepada masyarakat menjadi tidak memadai (tidak cukup baik).

3. Intervensi

Seorang pejabat publik melakukan campur tangan terhadap kegiatan yang bukan menjadi tugas dan kewenangannya mempengaruhi proses pemberian pelayanan kepada masyarakat.

4. Penyimpangan Prosedur

Dalam proses pemberian pelayanan publik, seorang pejabat publik tidak mematuhi tahapan kegiatan yang telah ditentukan dan secara patut sehingga masyarakat tidak memperoleh pelayanan secara baik.

e. Bentuk-bentuk Malpraktik  yang mencerminkan sikap arogansi seorang pejabat publik dalam proses pemberian pelayanan publik kepada masyarakat.

Kelompok ini terdiri dari beberapa tindakan sebagai berikut:

1. Bertindak Sewenang-wenang

Seorang pejabat publik menggunakan wewenangnya (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, menjadikan pelayanan publik tidak dapat diterima secara baik oleh masyarakat.

2. Penyalahgunaan Wewenang

Seorang pejabat publik menggunakan wewenangnya (hak dan kekuasaan untuk bertindak) untuk keperluan yang tidak sepatutnya sehingga menjadikan pelayanan publik yang diberikan tidak sebagaimana mestinya.

3. Bertindak Tidak Layak/ Tidak Patut

Dalam proses pemberian pelayanan publik, seorang pejabat publik melakukan sesuatu yang tidak wajar, tidak patut, dan tidak pantas sehingga masyarakat tidak mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya.

f. Bentuk-bentuk Malpraktik  yang mencerminkan sebagai bentuk-bentuk korupsi secara aktif. Kelompok ini terdiri dari tindakan-tindakan sebagai berikut:

1. Permintaan Imbalan Uang/Korupsi,

Dalam proses pemberian pelayanan publik kepada masyarakat, seorang pejabat publik meminta imbalan uang dan sebagainya atas pekerjaan yang sudah semestinya dia lakukan (secara cuma-cuma) karena merupakan tanggung jawabnya, dan telah digaji oleh pemerintah dari uang rakyat yang dibayarkan melalui pajak mereka. Seorang pejabat publik menggelapkan uang negara, perusahaan (negara), dan sebagainya untuk kepentingan pribadi atau orang lain sehingga menyebabkan pelayanan umum tidak dapat diberikan kepada masyarakat secara baik.

2. Penguasaan Tanpa Hak

Seorang pejabat publik menguasai sesuatu yang bukan milik atau kepunyaannya secara melawan hak, padahal semestinya sesuatu tersebut menjadi bagian dari kewajiban pelayanan publik yang harus diberikan kepada masyarakat.

3. Penggelapan Barang Bukti

Seorang pejabat publik terkait dengan proses penegakan hukum telah menggunakan barang, uang dan sebagainya secara tidak sah, yang merupakan alat bukti suatu perkara. Akibatnya, ketika fihak yang berperkara meminta barang bukti tersebut (misalkan setelah tuduhan tidak terbukti) pejabat publik terkait tidak dapat memenuhi kewajibannya.

Demikian beberapa praktek-praktek Malpraktik  yang dapat terjadi dari kegiatan pelayanan publik yang diberikan para pejabat publik kepada warga masyarakat. Praktek Malpraktik  sebagaimana disebutkan di atas kecenderungannya besar terjadi pada pelayanan publik yang disediakan dengan cara kontak langsung antara penyedia layanan dengan pengguna jasa layanan terutama yang berkaitan dengan sikap arogansi pelayan publik.

(Dari berbagai sumber)

Mengenali Malpraktik di Dalam Pelayanan Publik (Bagian I)

Pada dasarnya pembangunan nasional suatu bangsa dilaksanakan oleh masyarakat bersama pemerintah, masyarakat adalah pelaku utama pembangunan, sedangkan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membina serta menciptakan suasana kondusif yang menunjang kegiatan rakyatnya. Kegiatan masyarakat dan pemerintah tersebut harus saling mengisi, saling menunjang, dan saling melengkapi dalam suatu kesatuan langkah menuju tercapainya suatu tujuan pembangunan nasional suatu bangsa.

Pengertian Malpraktik atau mal administrasi yang dimaksud di dalam tulisan ini adalah ketidak-pedulian, ketidak jujuran, dan segala tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur pelayanan. Dikutip dari Wikipedia mendefenisikan Malpraktik  sebagai sesuatu yang memiliki makna yang luas dan mencakup antara lain:

  • Delay (menunda-nunda pekerjaan)
  • Incorrect action or failure to take any action (kesalahan dalam bertindak atau melayani)
  • Failure to follow procedures or the law (mengabaikan prosedur atau hukum yang berlaku)
  • Failure to provide information (kesalahan dalam memberi kan informasi)
  • Inadequate record-keeping (pencatatan yang tidak memadai)
  • Failure to investigate (kesalahan dalam penyelidikan)
  • Failure to reply (kesalahan dalam menjawab)
  • Misleading or inaccurate statements (pernyataan yang menyesatkan atau tidak akurat)
  • Inadequate liaison ( kurangnya penghubung)
  • Inadequate consultation (kurangnya konsultasi)
  • Broken promises (Ingkar janji)

Sementara itu Hartono, dkk (2003) dalam Buku Panduan Investigasi untuk Ombudsman Indonesia memberikan pengertian maladminsitrasi secara umum adalah perilaku yang tidak wajar (termasuk penundaan pemberian pelayanan), tidak sopan dan kurang peduli terhadap masalah yang menimpa seseorang disebabkan oleh perbuatan penyalahgunaan kekuasaan termasuk penggunaan kekuasaan secara semena-mena atau kekuasaan yang digunakan untuk perbuatan yang tidak wajar, tidak adil, intimidatif atau diskriminatif, dan tidak patut didasarkan seluruhnya atau sebagian atas ketentuan undang-undang atau fakta, tidak masuk akal, atau tidak berdasarkan tindakan unreasonable, unjust, oppressive, improper, dan diskriminatif.3

Lebih lanjut Hartono, dkk menyebutkan bahwa Malpraktik  dapat merupakan perbuatan, sikap maupun prosedur dan tidak terbatas pada hal-hal administrasi atau tata usaha saja. Hal-hal Malpraktik  tersebut menjadi salah satu penyebab bagi timbulnya pemerintahan yang tidak efisien, buruk dan tidak memadai. Dengan kata lain, bahwa tindakan atau perilaku Malpraktik  bukan sekedar merupakan penyimpangan dari prosedur atau tata cara pelaksanaan tugas pejabat atau aparat negara atau aparat penegak huku, akan tetapi juga dapat merupakan perbuatan melawan hukum.

Masthuri dalam bukunya yang berjudul “Mengenal Ombudsman Indonesia” mengklasifikasikan bentuk dan jenis Malpraktik  menjadi enam kelompok berdasarkan kedekatan karakteristik sebagai berikut:

a. Bentuk-bentuk Malpraktik  yang terkait dengan ketepatan waktu dalam proses pemberian pelayanan umum, dapat berupa tindakan-tindakan seperti berikut ini:

1. Penundaan Berlarut

Dalam proses pemberian pelayanan publik kepada masyarakat, seorang pejabat publik secara berkalikali menunda atau mengulur-ulur waktu tanpa alasan yang jelas sehingga proses administrasi yang sedang dikerjakan menjadi tidak tepat waktu sebagaimana ditentukan (secara patut). Tindakan seperti ini dapat mengakibatkan pelayanan publik yang diberikan memiliki tingkat ketidakpastian yang tinggi.

2. Tidak Menangani

Seorang pejabat publik sama sekali tidak melakukan tindakan yang semestinya wajib dilakukan dalam rangka memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.

3. Melalaikan Kewajiban

Dalam proses pemberian pelayanan publik, seorang pejabat publik bertindak kurang hati-hati dan tidak mengindahkan apa yang semestinya menjadi tanggung jawabnya.

b. Bentuk-bentuk Maladministrasi  yang mencerminkan keberpihakan sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan dan diskriminasi. Kelompok ini terdiri dari tindakan-tindakan:

1. Persekongkolan

Beberapa pejabat publik yang bersekutu dan turut serta melakukan kejahatan, kecurangan, melawan hukum sehingga masyarakat merasa tidak memperoleh pelayanan secara baik dan berkeadilan. Tindakan seperti ini dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pelayan publik.

2. Kolusi dan Nepotisme

Dalam proses pemberian pelayanan kepada masyarakat, seorang pejabat publik melakukan tindakan tertentu untuk mengutama kan keluarga/sanak famili, teman dan kolega sendiri tanpa kriteria objektif dan tidak dipertanggungjawabkan (tidak akuntabel), baik dalam hal pemberian pelayanan maupun untuk dapat duduk dijabatan atau posisi dalam lingkungan pemerintahan.

3. Bertindak Tidak Adil

Dalam proses pemberian pelayanan, seorang pejabat publik melakukan tindakan memihak, melebihi atau mengurangi dari yang sewajarnya sehingga masyarakat memperoleh pelayanan umum tidak sebagaimana mestinya.

4. Nyata-nyata Berpihak

Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik bertindak berat sebelah dan lebih mementingkan salah satu pihak tanpa memperhatikan ketentuan yang berlaku sehingga keputusan yang diambil merugikan pihak lainnya.

(dari berbagai sumber)

Kesadaran yang Selaras Dengan Peningkatan Kendaraan Bermotor

Kemajuan dalam bidang teknologi telah mengubah cara orang dalam melaksanakan semua pekerjaan yang dahulu dilakukan secara manual atau dengan pemikiran dan pekerjaan manusia dan membutuhkan waktu yang sangat lama, telah dirubah dengan digunakannya teknologi komputer yang dapat mengolah data dengan lebih cepat dan hasil yang lebih baik serta lebih efisien dalam penggunaan waktu, sehingga pekerjaan yang lain dapat dikerjakan. Setiap orang membutuhkan fasilitas untuk menjalani aktifitas hidup agar efesien dan efektif, seperti halnya transportasi dalam bentuk kendaraan beroda dua ataupun lebih yang akan mempermudah mobilitas dari satu tempat ke tempat lain. Adapun hal yang perlu diwaspadai pula bagi para pemilik kendaraan bermotor adalah rawannya kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh manusia itu sendiri “human being” dan akibat bencana alam “force majeure”, juga adanya tindakan kejahatan pencurian kendaraan bermotor (curanmor) yang marak beriring pula dengan banyak beredarnya kendaraan baik dalam kota maupun dari luar kota.

Demikian masyarakat yang memiliki kendaraan bermotor seharusnya sadar akan hak dan kewajiban begitupun syarat-syarat atau kelengkapan surat-surat yang wajib dipenuhi dalam kepemilikan kendaraan bermotor. Hal ini setiap kepemilikan atau penguasaan kendaraan bermotor wajib membayar Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB). Agar penerimaan pendapatan Daerah dapat terealisasikan dengan optimal dan tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan, maka dibutuhkan pengelolaan sumbersumber pendapatan yang sesuai dengan tata cara dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Prosedur penghitungan pajaknya merupakan salah satu aspek pengelolaan pendapatan yang sangat mendukung bagi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab memberikan keleluasaan kepada daerah kota/kabupaten dalam mengurus kepentingan masyarakat sesuaidengan kondisi, potensi dan keanekaragaman wilayahnya. Dalam melaksanakan kegiatan pembangunan daerah, dibutuhkan dana pembiayaan yang cukup besar.

Sumber-sumber pendapatan daerah diantaranya berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pada dasarnya sumber utama pembiayaan pembangunan diharapkan berasal dari PAD seperti Pajak Daerah. Diantara jenis pajak daerah adalah Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) adalah pajak yang dipungut atas kepemilikan dan/ atau penguasaan kendaraan bermotor. PKB merupakan pajak daerah yang paling potensial maka perlu dilakukannya peningkatan pelaksanaan pemungutan.  Semakin banyaknya kendaraan bermotor di Propinsi Jawa Barat yang seharusnya akan berdampak terhadap pendapatan Pajak Kendaraan Bermotor.

Untuk menumbuhkan kesadaran membayarkan pajak kendaraan bermotor, maka pemerintah harus cerdas dalam melakukan pendekatan, inovasi pelayanan dan memberikan apresiasi kepada masyarakat.

Pelayanan Publik Yang Efektif Dan Komunikatif

Hampir setiap warga negara akan berurusan dengan instansi pemerintahan untuk keperluan administrasi publik. Beraneka dokumen kependudukan dan dokumen usaha, mengharuskan warga negara harus berinteraksi dengan para aparat pemerintah di berbagai lembaga. Sayangnya pelayanan yang diberikan hingga kini dinilai belum memuaskan. Keberadaan Unit Pelayanan Satu Atap (UPTSA) di tingkat pemerintah kota atau kabupaten, belum memberikan layanan yang efektif bahkan masih jauh untuk dapat dikatakan komunikatif.

Pelayanan Negara terhadap warga negaranya merupakan amanat yang tercantum dalam UUD 1945 dan diperjelas kembali dalam UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. UU Pelayanan Publik mengatur prinsip-prinsip pemerintahan yang baik agar fungsi-fungsi pemerintahan berjalan efektif. Pelayanan publik dilakukan oleh instansi pemerintahan atau koporasi untuk dapat memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia, mempromosikan kemakmuran ekonomi, kohesi sosial, mengurangi kemiskinan, meningkatkan perlindungan lingkungan, bijak dalam pemanfaatan sumber daya alam, memperdalam kepercayaan pada pemerintahan dan administrasi publik.

Beragam lembaga penyedia layanan publik milik pemerintah hendaknya berkaca dari pengalaman masa lalu, saat banyak kritikan diarahkan untuk perbaikan kualitas pelayanan publik.  Lembaga-lembaga pemerintah selalu kedodoran dalam menyediakan pelayanan publik. Pengurusan KTP, Surat Izin Mengemudi (SIM), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), sulitnya memperoleh layanan pendidikan yang mudah dan bermutu, layanan kesehatan yang tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat, dan sebagainya, merupakan sebagian kecil dari contoh kesemrawutan pelayanan publik oleh pemerintah. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan semangat reformasi yang sudah berjalan selama lebih dari satu dekade.

Faktor utama yang menjadi penghambat dalam pelayanan publik yang baik dapat dilihat dari dua sisi, yakni birokrasi dan standar pelayanan publik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam tubuh pemerintahan negara Indonesia pada semua jenjang dan jenisnya memiliki sturuktur birokrasi yang panjang, gemuk, dan berbelit. Akibatnya, urusan di lembaga penyedia layanan publik menjadi  berbelit-belitnya dan membutuhkan waktu yang lebih lama serta biaya tinggi. Selain itu, ketiadaan standarisasi pelayanan publik yang dapat menjadi pedoman bagi setiap aparat pemerintah adalah sisi lain yang menjadi kelemahan pemerintah dalam memberikan pelayanan publik yang baik. Indonesia sebagai sebuah negara besar yang sedang membangun, harus menyadari jika kebutuhan pelayanan publik yang baik dan berkualitas adalah mutlak.

Di era informasi, pelayanan publik mengahadapi tantangan yang sangat besar. Hal ini berkaitan dengan relasi antara negara dengan pasar, negara dengan warganya, dan pasar dengan warga.  Dahulu, negara memposisikan dirinya sebagai pihak yang paling dominan dalam pelayanan publik. Pasar dan warga negara mau tidak mau harus menerima kondisi pelayanan publik yang tersedia. Tidak sedikit warga negara yang merasa kecewa dengan pelayanan publik yang berpihak pada golongan tertentu, komunikasi yang dibangun oleh aparat penyedia layanan tidak ramah dan cenderung berbelit-belit (tidak efektif).  Seiring dengan perkembangan zaman dan logika, kondisi pelayanan publik yang disediakan mendapat kritikan dari berbagai pihak untuk memperbaiki kualitas komunikasi dan pengelolaan pelayanannya, mengingat tidak semua warga negara dapat menikmati aksesibilitas pelayanan publik yang efektif. Padahal sebagai amanat perundangan, pelayanan publik seharusnya menyentuh semua lapisan tanpa terkecuali dan tetap menjaga etika pelayanan.***

 

Inovasi Pelayanan Publik Pasca Reformasi

Runtuhnya Rezim Orde Baru tidak serta merta membawa perubahan yang esensial dalam hal pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah melaui dinas ataupun instansi terkait. Kebiasaan-kebiasaan warisan Orba masih tersisa dan pengaruhnya cukup sulit untuk dihilangkan dari kinerja para pelayan publik, mulai dari birokrasi berberlit-belit hingga budaya pamrih. Padahal pasca reformasi yang bergulir sejak tahun1999 –setelah runtuh Rezim Orde Baru, masayarakat Indonesia semakin kritis khususnya dalam hal pelayanan publik. Masyarakat menginginkan ada transparansi, efektifitas, efesiensi dan kecepatan dalam pengurusan administrasi kependudukan, perizinan, perpajakan dan sebagainya.

Namun seiring perkembangan serta dinamika politik dan ketata-negaraan di Indonesia, kebijakan tidak lagi semuanya terpusat pada  pemerintah pusat.  Setelah sistem pemerintahan terpusat (ego-sentral) berjalan selama 32 tahun, roda pembangun menjadi lebih kondusif bagi pembangunan regional, meski di berbagai sektor penyakit pelayanan publik masih menyisakan ‘kebiasan lama’. Kini  kebijakan untuk membangun sebuah daerah dan melayani publik tidak lagi bergantung pada pola yang diciptakan oleh Pemerintah Pusat.  Pemerintah Daerah kini memiliki kapasitas untuk merumuskan, menciptakan dan mengaplikasikan kebijakan untuk merespon kebutuhan masyarakatnya (regional/lokal).

Di awal bergulirnya otonomi daerah (otda) tahun 1999, masih banyak persepsi negatif terhadap perubahan birokrasi pelayanan publik. Fenomena lamban, berbelit-belit, pungutan liar dan praktik percaloan (hingga sekarang) masih terjadi. Akan tetapi, sisi negatif selama berlangsungnya otonomi di tahap awal, semestinya harus dipahami sebagai fenomena transisi dan sebagai gejala yang wajar terjadi di negara manapun. Membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk melalui masa transisi, ketika meja birokrasi sudah diurai, diperpendek bahkan langsung pada meja yang dituju, namun fenomena calo dan pungutan liar merupakan pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah.

Namun dengan adanya otda pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk melakukan banyak terobosan khususnya dalam pelayanan publik. Terlebih dengan direkrutnya tenaga-tenaga muda, profesional dan inovatif, yang saat ini dimiliki oleh instansi-instansi, menjadikan jalannya pelayanan publik semakin inovatif, kreatif dan kekinian. Bahkan terobosan yang diciptakan oleh para generasi muda di berbagai instansi pemerintah daerah, menyumbangkan banyak perubahan terhadap pelayanan publik, pun terhadapan raihan pendapatan sebuah daerah.  Bahkan seakan terjadi kompetisi dalam hal pelayanan publik di berbagai instansi, sehingga kualitas pelayanan publik semakin meningkat seiring dengan indeks kepuasan dan kepercayaan masayarakatnya.

OptimalkanTeknologi Iinformasi dan Komunikasi  (TIK)

Saat ini hampir setiap pemerintahan daerah di berbagai provinsi di Indonesia yang melakukan berbagai terobosan pelayanan publik. Tidak hanya ditingkat kepala daerah, bahkan untuk ditingkat kepala cabang, fenomena menciptakan terobosan inovatif dan kreatif pun berlangsung. Semua instansi yang bergerak dalam layanan publik, berlomba untuk melayani masyarakatnya dengan memberikan yang terbaik.

Setiap Pemerintah Daerah mulai menyadari bahwa pelaksanaan otonomi daerah tidak semata-mata bagaimana meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), melainkan bagaimana mereka menarik investor agar mau menanamkan modalnya ke daerah mereka, serta penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Inilah Cakrawala baru yang terjadi di dalam pemerintahan daerah, mereka tidak hanya menggunakan cara-cara pendekatan publik yang tradisional, namun juga melek teknologi informasi dan komunikasi.

Beberapa daerah telah mengadopsi kebijakan untuk memberikan pelayanan perijinan dengan bentuk yang bervariasi. Pemerintah daerah berusaha memberikan pelayanan perijinan bisa semudah, semurah dan secepat mungkin. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Centre for Development Studies Institut Pertanian Bogor (IPB), beberapa daerah sudah memulai membentuk pelayanan terpadu sejak awal pelaksanaan otonomi daerah. Berikut contoh diambil dari studi IPB:

  1. 1.       Tahun 2001:

a)      Kota Malang

b)      Kota Pare-Pare

c)       Kabupaten Sidoarjo

  1. 2.       Tahun 2002

a)      Kota Sragen

b)      Kota Pontianak

  1. 3.       Tahun 2005

a)      Kabupaten Lebak

Jika dilihat dari rentang waktu, sepertinya setiap daerah saling mengadopsi inovasi dan kreatifitas pelayanan publiknya. Bahkan yang terjadi adalah saling mempelajari dan melengkapi, sehingga inovasi tersebut tepat sasaran dan benar-benar diperlukan oleh masyarakat yang dinamis. Untuk itu di zaman komputerisasi dan digital ini, setiap pemerintah daerah harus bisa memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seoptimal mungkin. Pelayanan yang efisien dan efektif, harus sudah ada digenggaman masyarakat.

Berkaitan dengan kemajuan teknologi komunikasi misalnya, kemampuan masyarakat untuk memiliki telepon cerdas (smartphone) semakin meningkat, bahkan ditunjang dengan serbuan produk murah dari ‘Negeri Tirai Bambu’. Jika masyarakat dulu menggunakan telepon genggamnya untuk menelepon, menuliskan SMS, sekarang melalui fasilitas yang terdapat di smartphone, masyarakat bahkan mampu melakukan transaksi perbankan, ataupun jual-beli lebih efisien dan efektif. Maka sudah tepat dan saatnya jika instansi pemerintah yang bergerak  melayani publik, memanfaatkan fasilitas yang terdapat di dalam smartphone untuk mengoptimalkan pelayanannya.

Meski demikian mutkahirnya TIK namun tanpa pengakuan dan legitimasi masyarakat, inovasi pelayanan publik tidak berarti. Untuk itu diperlukan partisipasi masayarakat dalam menguji tingkat keefektifan dan keefektifitasan inovasi yang akan diaplikasikan. Inovasi yang dimiliki oleh pemerintah harus sesuai dengan kebutuhan dan atau sesuatu yang sering dikeluhkan oleh masyarakat.

Partisipasi masyarakat untuk setiap kebijakan publik adalah proses mengekspresikan gagasan sekaligus menyalurkan keluhan terhadap pelayanan pemerintah yang dianggap kurang memuaskan. Sarana partisipasi dimaksudkan agar masyarakat: bisa didengar (to be heard), bisa dipahami (to be understood), bisa dihormati (to be respected), bisa mendapatkan penjelasan (an explanation), bisa mendengarkan permintaan maaf (an apology) dari pemerintah dan bisa mendapatkan informasi mengenai perbaikan (remedial actions) atas kesalahan yang sudah dilakukan oleh pemerintah.***

Mempersiapkan Masyarakat untuk Era E-government

Secara umum masyarakat Indonesia masih belum paham dan tanggap dengan perkembangan teknologi informasi (TIK), kebanyakan masyarakat memfungsikan kecanggihan teknologi hanya untuk mendapatkan hiburan, informasi dan komunikasi. Dan bukan masyarakat biasa saja yang demikian, mereka yang bekerja sebagai abdi masyarakat pun belum semuanya mampu memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menjadi media yang dapat melayani kepentingan masyarakat juga pemerintah.

Dalam Information Seeking Theory yang diungkapkan Donohew dan Tipton (dalam Badri, 2008), penerimaan seseorang atau sekelompok masyarakat pada teknologi terjadi secara bertahap, yaitu tahap pencarian, penginderaan, dan pemrosesan informasi. Ketiga tahap ini berakar dari pemikiran psikologi sosial tentang sikap manusia. Secara tidak sadar, orang cenderung untuk menghindari informasi yang tidak sesuai dengan gambaran nyata suatu informasi atau teknologi, karena kedua hal itu bisa saja membahayakan.

Sebagai negara berkembang (The Third World), pemanfaatan aplikasi e-government system di Indonesia sebenarnya tidak termasuk menggembirakan. Padahal pemerintah sudah berusaha untuk merumuskan beberapa peraturan perundangan terkait dengan teknologi informasi, seperti Inpres No. 6 tahun 2001 tentang Pengembangan dan Pendayagunaan Telematika di Indonesia dan Inpres No. 3 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government.

Dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, tampak sekali bahwa aplikasi dan implementasi e-government system di Indonesia masih tertinggal. Saat ini sebenarnya perangkat perundangan mengenai e-government system di Indonesia sudah cukup lengkap (Kumorotomo, 2008). Melalui Inpres No. 3 tahun 2003 tentang Strategi Pengembangan E-Government telah memandatkan :

 

  • Pengembangan sistem pelayanan yang andal dan terpercaya serta terjangkau oleh masyarakat luas.
  • Penataan sistem manajemen dan proses kerja pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara holistik.
  • Pemanfaatan teknologi informasi secara optimal.
  • Peningkatan peran-serta dunia usaha dan pengembangan industri telekomunikasi dan teknologi informasi.
  • Pengembangan sumberdaya manusia di pemerintahan dan peningkatan e-literacy masyarakat.
  • Pelaksanaan pengembangan secara sistematis melalui tahapan yang realistis dan terukur.

Tidak hanya dari sisi pemerintah saja, seperti telah disinggung di atas masyarakat pun tidak semuanya dapat langsung menerima kemajuan layanan berbasis TIK.  Ada beberapa permasalahan yang cukup kompleks dalam hal ini, mulai dari ketidak pedulian hingga penolakan terhadap kemajuan akibat belum paham. Masalah utamanya adalah resistensi dan kebimbangan saat menyikapi adanya inovasi baru untuk mendobrak kebiasaan lama.

Aspek Budaya yakni esistensi dan penolakan dari masyarakat  yang diakibatkan oleh kurangnya kesadaran pada manfaat dan penghargaan terhadap teknologi yang dipergunakan dalam e-government system. Kemudian keengganan berbagi data dan informasi, agar terintegrasi secara nasional di seluruh lembaga penyedia layanan publik.

Aspek Infrastruktur, yakni adanya ketimpangan digital yang mengakibatkan belum meratanya ketersediaan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi, mengingat secara geografis wilayah Indonesia tersebar di berbagai kepulauan. Ketersediaan infrastruktur untuk pengadaan teknologi informasi dan komunikasi masih terpusat di kota-kota besar. Tenaga ahli di daerah terpencil pun masih sangat jarang, jika tidak mau dikatakan tidak ada. Sistem layanan publik di Indonesia tidak memiliki standar yang baku. Hal ini menghambat pengintegrasian data kependudukan dan dokumen warga negara lainnya secara nasional.

untuk mengefektifkan dan mengefesienkan e-Government, maka pihak pemerintah sudah seharusnya secara berkesinambungan menyosialisasikan sekaligus mendidik masyakarat di berbagai pelosok. Dengan demikian layanan publik berbasis teknologi informasi dan komunikasi akan berjalan lancar, dan masyarakat pun semakin semangat untuk berkontribusi terhadap pembangunan masyarakat.