Agar Menetes di Jawa Barat
Meratakan keadilan sosial, yang terwujud karena ada kesadaran saling berkontribusi ke sesama (melalui pajak salah satunya) adalah misi yang sejak lama digaungkan di Indonesia melalui sejumlah manifesto.
Termasuk di Tatar Parahyangan, Jawa Barat, kita sudah sejak lama sepakat dan berusaha merealisasikan hal ihwal terkait keadilan sosial tersebut. Siapa lagi tujuannya kalau bukan kesejahteraan masyarakat kita sendiri.
Maka itu, kita terhenyak mendengar potensi larinya pendapatan negara (termasuk pajak daerah) ke luar negeri. Alih-alih menyejahterakan bangsa sendiri, yang terjadi adalah terbangnya kesejahteraan.
Sudah jadi rahasia umum, sekaligus berlangsung sejak lama, bahwa wajib pajak utama di Indonesia cenderung menghindari bayar pajak untuk kemudian membuka usahanya di negara ramah pajak semacam Singapura.
Maka itu, diperlukan sejumlah aturan agar hal ini tak terus terjadi. Ada beberapa cara yang bisa digunakan yaitu antara lain Tax Amnesty (amnesti pajak) serta Tax Treaty (konvensi pembagian pajak dua negara).
Wacana Tax Amnesty bagi orang dan perusahaan Indonsia yang bersedia membawa pulang uangnya dari luar negeri bisa menjadi pilihan yang patut dipertimbangkan.
Sepanjang tidak menjadi program tahunan, Tax Amnesty bukanlah hal yang tabu diterapkan, apalagi jika mampu menghadirkan penerimaan pajak lebih besar. Program ini merupakan tawaran menarik karena adanya kepastian hukum atas penghasilan dan aset yang belum dilaporkan.
Kebijakan ini pernah diterapkan di era Soeharto tahun 1984 ataupun tahun 2008 pada zaman SBY dengan Sunset Policy.
Kita bisa ambil contoh dalam kasus penggelapan pajak HSBC Swiss. Regulator pajak Australia, ATO, bahkan mampu menambah penerimaan pajak sebesar USD 30 juta dengan proyek DO IT (Disclose Offshore Income Today) yakni penawaran amnesti atas pengungkapan penghasilan dan asset yang belum dilaporkan sejak tanggal 27 Maret 2014 s.d 19 Desember 2014.
Sementara Tax Treaty dibuat dalam rangka mencari kesapakatan bersama pembagian pengenaan pajak atas penghasilan yang menjadi obyek pajak 2 (dua) negara.
Saat ini, kebijakan tersebut banyak mengacu model OECD yang cenderung menguntungkan negara pemilik modal (besar).
Tax Treaty Indonesia-Belanda misalnya, manakala PPh Pasal 26 tidak dikenakan atas pembayaran bunga untuk obligasi dengan jangka waktu diatas 2 tahun. Selain itu, perlu juga untuk melakukan dialog yang intensif dengan negara surga pajak (Tax Haven Countries) dalam membuat kesepakatan Tax Treaty atau minimal kesepahaman kerjasama pertukaran data.
Singkat kata, sebenarnya adalah hak dan otoritas wajib pajak menempatkan duit dan manajemen usahanya dimanapun, termasuk di negara ramah, bahkan surga pajak. Akan tetapi, jangan pernah dilupakan, siapapun yang berusaha di Indonesia (termasuk di Jawa Barat), otomatis memiliki tanggungjawab sosial perusahaan untuk berbagi ke sesama melalui distribusi hasil pajak. Jangan pernah memijak bumi, namun lupa menjunjung langit! ***