Memilih Optimistis di Balik Tantangan

Tahun ini, target pendapatan dalam APBD Pemprov Jabar 2015 menembus angka Rp22 triliun. Sebuah numerik fantastis bila mengingat angka ini naik 11,17% dibandingkan target pendapatan dalam APBD 2014.

Pendapatan riil berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang banyak ditopang oleh pajak daerah yang dihimpun Dispenda Prov. Jabar, yang diproyeksikan mencapai Rp 15,38 triliun atau meningkat 18,01% dari tahun sebelumnya.

Kemudian Dana Perimbangan diperkirakan mencapai Rp 2,7 Triliun lebih atau turun sebesar Rp 118,28 Milyar lebih. Serta Pendapatan Daerah lainnya yang sah mengalami penurunan sebesar Rp 4,8 Milyar lebih atau turun 0,12%.

Lantas, ciutkah kita dengan angka sebesar itu? Bagaimanapun, bilangan diatas hanyalah kumpulan angka, tak perlu cemas, apalagi menyerah. Apa bedanya 22, 32, atau 42? Ini hanyalah tentang bagaimana kita hadapi ini semua dengan kesadaran jiwa serta kekuatan keyakinan.

Kita tahu, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Kita tahu di balik pelbagai targetan dahsyat ini, maka kita harus bekerja keras dan cerdas, bukan hanya sebesar satu/dua kali, melainkan harus 4 kali lipat dari biasanya.

Mengapa? Kita melihat dulu makronya. Di tingkat nasional, pertumbuhan penerimaan nasional dari tahun 2012-2014 hanya berkisar 9,6% namun Dirjen Pajak tahun ini dipatok target pendapatan Rp1.296 triliun atau naik 31,55%.

Maka itu, jika Jabar pun harus menggenjot tinggi, ini sesuatu yang tak berlebihan. Bahkan, boleh jadi dalam kurun waktu 3 hingga 5 tahun ke depan, potensi penerimaan pajak di Jabar sudah dipatok minimal Rp100 triliun dan Indonesia lebih dari Rp 2000 triliun per tahun. Namun yakinlah, angka tersebut bukan merupakan sesuatu yang ajaib, apalagi jadi-jadian.

Ini wajar karena masih banyak segudang potensi perpajakan yang masih belum bisa dioptimalkan. Sebagai negara besar, dibandingkan dengan negara lain, penerimaan pajak di Indonesia masih tergolong sangat luas peluangnya.

Memang banyak sekali faktor yang mempengaruhi proporsionalitas penerimaan ini, namun mengapa kita tidak bisa disaat negara lain bisa? Itulah pekerjaan rumah kita bersama sekarang. Di negara maju, potensi penerimaan pajak dari orang pribadi lebih besar dibandingkan potensi penerimaan pajak dari Badan.

Hal ini tentunya bertolak belakang dengan apa yang terjadi di Jabar khususnya dan Indonesia pada umumnya. Dengan jumlah wajib pajak orang pribadi yang begitu besar, namun justru potensi yang bisa digali malah justru sedikit. Untuk beberapa tahun mendatang, mungkin inilah saatnya kita mulai beralih domain utama di bidang perpajakan.

Mulai kejarlah aset-aset para pengemplang pajak. Selanjutnya, terkait dengan peraturan perpajakan, di negara tetangga menganut asas flexibilitas. Jadi tarif pengenaan terhadap segala aspek perpajakan itu masih dimungkinkan berubah. Besarnya tarif perpajakan di tahun berjalan masih bisa naik atau malah turun. Hal ini tentunya disesuaikan keadaan perekonomian di dalam negeri dan faktor lain yang mempengaruhi.

Memang pemberlakuan peraturan semacam ini akan sedikit banyak menguras energi kita. Tapi jika itu baik untuk negeri ini, mengapa tidak kita lakukan?

Terakhir, strategi pemasaran yang gencar perlu ditanamkan ke dalam benak masyarakat Indonesia. Meskipun manfaat yang diberikan tidak secara langsung, namun Pajak lah yang membuat negara tetap hidup. Masyarakat perlu mencintai Pajak layaknya mereka mencintai KPK. Pajak harus mendapatkan pengakuan terbesar dari masyarakat sendiri.

Ciptakanlah cara-cara persuasif yang mengena di hati. Kegagalan demi kegagalan dimasa lalu bukan merupakan penghalang, belajar dan bakarlah ketakutanmu akan kegagalan.

Jadi, apakah tugas mulia ini merupakan sebuah misi yang mustahil? Kita optimis, setidaknya jalan terbuka. Jika pesimistis, jangankan target, melangkah pun sulit benar. Kita pastinya memilih yang optimistis. Semangat! (***)

Ketika Pajak Makin Digital

Heboh debat kusir Gubernur Jakarta Ahok (Basuki Tjahja Purnama) yang bersikukuh ajukan anggaran pendapatan belanja negara berbasis e-budgeting, dengan kelompok anggota dewan, menyiratkan makin pentingnya digitalisasi pemerintahan.
Ketika motif kekuasaan masih diselumuti niat memperkaya diri sendiri, maka saat itu pula urusan anggaran menjadi kian sensitif. Kecurigaan akan terus mencuat dari berbagai pihak, sehingga kenyamanan pun sirna.
Dengan demikian, menjadi penting bagi kita untuk terus memutakhirkan layanan pemerintah. Dan, sebagaimana geloranya terasa beberapa saat belakangan, digitalisasi perpajakan pun terus terjadi. Terutama di Indonesia serta khususnya di Jawa Barat.
Dispenda (Dinas Pendapatan Daerah), secara obyektif adalah salah satu dinas yang getol memutakhirkan layanan digitalnya. Bahkan, dijadikan rujukan pemerintah pusat (terutama Kementerian Aparatur Negara) untuk provinsi lainnya dalam layanan E-Samsat,misalnya.
Spirit ini terasa makin menggebu jika kita melihat berbagai terobosan digital mutakhir yang diberikan Dirjen Pajak Departemen Keuangan. Misalnya adalah pada akhir Februari lalu, ada inovasi yang mempermudah Wajib Pajak melaporkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) Orang Pribadi yang menggunakan smartphone berbasis Android.
Ini menggenapi layanan sebelumnya penggunaan aplikasi pengisian SPT secara elektronik (e-Filing) melalui https://djponline.pajak.go.id atau melalui Application Service Provider (ASP) yang ditunjuk.
Jadi, untuk Wajib Pajak yang akan melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi formulir 1770 SS (wajib Pajak dengan Penghasilan di bawah Rp 60.000.000,00), saat ini telah tersedia aplikasi mobile e-Filing untuk SPT 1770 SS pada Google Play Store. Ini dapat dicari dengan  dengan kata kunci “efiling 1770 SS” atau melalui peramban pada tautanhttps://play.google.com/store/apps/details?id=id.go.pajak.efiling. Aplikasi tersebut juga dapat diunduh dengan melakukan scanning QR Code.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Wahju K. Tumakaka menegaskan, aplikasi pengisian SPT secara elektronik yang resmi dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah aplikasi e-Filing melalui https://djponline.pajak.go.id atau melalui Application Service Provider (ASP) yang ditunjuk oleh DJP.
Hal ini tentu menggembirakan semua pihak manakala berbagai kebuntuan layanan (seperti heboh soal Ahok), sedikit banyak memunculkan aneka solusi dari berbagai pihak. Setidaknya mereka yang menjungjung transparansi dan kepraktisan hidup, maka bisa memilih digitalisasi layanan tersebut.
Atau masyarakat Indonesia yang ingin berkontribusi kepada bangsa namun sulit membagi waktu di tengah kesibukannya, maka bisa memilih aplikasi tadi dalam genggaman. Tak ada lagi keribetan.
Akan tetapi, patut juga diperhatikan, bahwa sebagai sebuah layanan baru, sudah selayaknya apabila ada beberapa kendala merintang. Yang baru pastinya akan terus mencari-cari bentuk terbaik.
Misalnya aplikasi Android SPPT tadi, Dirjen Pajak sedari awal memungkinkan kemungkinan terjadinya kemungkinan penyalahgunaan data atau informasi milik Wajib Pajak sebagai akibat penggunaan aplikasi di luar aplikasi tersebut di atas.
Sebagai negara dengan tingkat serangan siber termasuk tertinggi di dunia, maka resiko ini sangat mungkin terjadi dan menimpa siapapun masyarakat di negara ini. Untuk itulah, kewaspadaan dan hati-hati harus selalu tercurah.
Demikian pula, jika belum lama ini muncul akun Facebook dan Twitter atas nama Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito. Sebab, Direktur Jenderal Pajak tidak pernah membuat akun di media sosial, termasuk Facebook dan Twitter.
Akun-akun media sosial yang mengatasnamakan Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito dibuat oleh pihak yang tidak bertanggungjawab yang dapat mengelabui masyarakat umum dan berpotensi merugikan masyarakat.
Masyarakat diminta berhati-hati atas berbagai bentuk akun-akun media sosial palsu yang mengatasnamakan Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito.
Akhir kata, terlepas dari segala kemudahan digitalisasi pajak yang bisa membawa kita kepada berbagai kemaslahatan, maka pada saat yang sama, kita pun harus mewaspadai berbagai resiko yang akan menerjang kita pada akhirnya. (**)

Tentang Change Management di Dispenda Jabar

Awal Februari lalu, melalui mekanisme lelang jabatan, telah terpilih Dirjen Pajak ke-15 sepanjang sejarah Republik Indonesia yakni  Bapak Sigit Priadi Pramudito yang sebelumnya menjadi Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Wajib Pajak Besar.
Sebagai nahkoda baru DJP, tentu menjadi tantangan besar karena pada tahun 2015 ini prosentasi kenaikan target penerimaan pajak merupakan yang tertinggi dalam sejarah yakni sebesar kurang lebih 1300 triliyun.
Untuk mengamankan penerimaan pajak tersebut, jajaran internal DJP telah melakukan berbagai strategi pengamanan penerimaan negara, baik berupa penyempurnaan administrasi perpajakan/TAX administration yang bertujuan untuk mengurangi compliance cost dan administration cost maupun perubahan  kebijakan perpajakan /tax policy yang bisa berupa perubahan tax rate maupun tax base.
Selain perubahan kebijakan perpajakan tersebut, dimungkinkan juga suatu perubahan gaya kepemimpinan/  leadership  yang akan dibawa oleh Dirjen Pajak baru. Mengingat waktu yang hanya 11 bulan untuk mengamankan target penerimaan negara yang sangat fantastis di tahun 2015, seluruh jajaran internal DJP harus segera menjadi suatu kesatuan yang solid untuk bekerja bersama dibawah kepemimpinan Bapak Sigit, demi mewujudkan tercapainya target penerimaan negara tersebut.
Jika kita berkaca pada Dispenda Jabar yang menjadi sumber utama pendapatan Pemprov Jabar, kondisi di atas sedikit banyak ada kemiripan. Kepala Dispenda Bapak Dadang Suharto juga belum lama menjabat atau sejak triwulan ke-4 tahun lalu.
Demikian pula dengan target pendapatan, yang meski secara nominal jauh dari DJP, namun dari sisi proporsi dan pertumbuhan tetap besar. Pendapatan yang ditargetkan mencapai Rp 22,132 triliun lebih atau naik 11,17% dibanding pendapatan pada APBD 2014.
Pendapatan riil berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang banyak ditopang oleh pajak daerah yang dihimpun Dispenda Prov. Jabar, yang diproyeksikan mencapai Rp 15,38 triliun atau meningkat 18,01% dari tahun sebelumnya.
Kemudian Dana Perimbangan diperkirakan mencapai Rp 2,7 Triliun lebih atau turun sebesar Rp 118,28 Milyar lebih. Serta Pendapatan Daerah lainnya yang sah mengalami penurunan sebesar Rp 4,8 Milyar lebih atau turun 0,12%.
Lantas, bagaimanakah gaya kepemimpinan baru (baik di DJP dan terutama Dispenda Jabar) dalam menghadapi tantangan yang demikian besar ini?
Maka yang justru bisa dibahas, belajar dari berbagai pengalaman perubahan, adalah reaksi pertama dari adanya perubahan adalah kemuningkinan adanya resistensi dari pemangku kepentingan (stakeholder).
Dengan berbagai macam alasan klasik, misalnya saja stakeholder yang kepentingannya terganggu akan sangat resisten terhadap perubahan, sifat pesimis yang disebabkan oleh tidak yakin akan pentingnya perubahan juga dapat menghambat perubahan yang akan dilaksanakan.
Ini sesuai teori Kotter (1996), bhawa perubahan tidak akan berjalan dengan sukses sebagai akibat dari kesalahan-kesalahan umum. Misalnya suatu institusi terlalu mudah merasa puas dengan kinerjanya, ketidakmampuan membuat suatu tim yang kuat untuk mengelola perubahan, terlalu meremehkan kekuatan visi, mengijinkan hambatan menghalangi visi baru perubahan, gagal menciptakan kemenangan-kemenangan kecil ,maupun terlalu dininya institusi menyatakan kemenangan.
Belajar dari hal tersebut, alangkah baiknya jika sebuah institusi dapat membantu pimpinan baru untuk mengelola perubahan.
Dari teori Kotter (1996) pula ditawarkan solusi untuk mengelola perubahan yang lebih dikenal dengan siklus delapan tahap perubahan.
Yakni pertama menciptakan suatu iklim pentingnya suatu perubahan, kedua membangun koalisi solid yang mendukung perubahan, ketiga  mengembangkan visi dan inisiatif-inisiatif yang dapat berdampak langsung pada usaha perubahan, keempat adalah membentuk agen-agen perubahan, kelima adalah menghilangkan hambatan yang mengganggu perubahan, keenam adalah menghasilkan kemenangan-kemenangan kecil, ketujuh adalah mempertahankan akselerasi perubahan, dan kedelapan adalah melembagakan perubahan.
Dengan mengadopsi prinsip-prinsip yang disebut Change Management ini, maka diharapkan Dispenda Jabar dapat berhasil mengelola perubahan yang sedang dialami dan akan dialami pada tahun-tahun mendatang.
Sehingga setinggi apapun target, Dispenda Jabar dapat menjadi pemenang dari perubahan tersebut, sekaligus dapat memenuhi harapan publik untuk mencapai target penerimaan Pemprov Jabar tahun ini dan tahun-tahun mendatang. Semoga. **

Harus Duduk Bersama Dulu

Riuh rendah ruang publik, terutama pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, niscaya terjadi ketika Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) menargetkan pemberlakuan bebas pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi rumah huni, tempat ibadah, dan bangunan sosial mulai 2016 mendatang.

Awal Februari lalu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Ferry Mursyidan Baldan di Jakarta mengajukan rencana pembayaran PBB setiap tahun hanya dikenakan terhadap bangunan komersial seperti rumah toko, pusat perbelanjaan, gedung perkantoran dan restoran.

Selain itu, yang tambah bikin polemik, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN juga akan menghapus pencantuman komponen Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) pada lembaran pembayaran PBB.

Seperti kebakaran jenggot, resistensi sontak muncul. Seperti diwartakan berbagai media, Bupati Bandung, Dadang M Naser menolak wacana ini karena menyebabkan kerugian bagi pemerintah daerah.

Kerugian tersebut, menurut Dadang, karena pemerintah daerah sudah menyiapkan perangkat sistem maupun sarana dan prasarana pelayanan PBB. Ketika PBB diserahkan pada daerah dari pemerintah pusat, juga pemerintah daerah akan kehilangan PAD.

“Dulu PBB diserahkan ke daerah, hingga kita siapkan perangkat dan sarana. Sekarang PBB malah akan dihapuskan. Kalau PBB dihapuskan, jelas pemerintah daerah rugi, karena sudah menyiapkan sarana dan prasarana pelayanan PBB,” tegasnya.

Jika PBB dihapuskan di Kabupaten Bandung saja, maka akan mengurangi PAD. Sebagai bukti, PAD Kab. Bandung dari PBB mencapai Rp 65 milyar.

Sementara Pemkot Bandung, melalui Walikota Ridwan Kamil, Sabtu (7/2) seperti diberitakan Tribun Jabar menyebutkan, rencana kementerian agraria dan tata ruang untuk dikaji terlebih dahulu pemerintahan setempat.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang RI diharapkan berdiskusi terlebih dahulu dengan pemerintah daerah baik Kota ataupun Kabupaten terkait rencana penghapusan jenis pajak PBB dan BPHTB.

Pasalnya, menurut Emil, sapaan akrabnya, kedua pajak yang akan dihapus merupakan penyumbang terbesar dalam pendapatan asli daerah (PAD).

Dengan dihapuskannya PBB, kota yang tengah berkembang seperti Kota Bandung akan terhambat pembangunannya.

Bahkan jika rencana tersebut digulirkan, beberapa proyek besar di Kota Bandung akan mandek. Jika rencana penghapusan tetap dijalankan diharapkan ada proses transisi agar pemerintah daerah tidak kaget dan membuat rencana pembangunan infrastruktur terhambat.

Demikian pula dengan Pemkab Sumedang, yang sebenarnya sudah membentuk bidang khusus yang mengurus PBB dan PBHTB di Dinas Pendapatan.

Tahun 2015 ini target pendapatan dari PBB mencapai Rp 22 miliar sedangkan dari PBHTB Rp 5 miliar. Pendapatan dari sektor pajak akan berkurang dan ini mempengaruhi neraca keuangan. Maka, jalan keluarnya paling melakukan optimalisasi dari sektor pendapatan lainnya. Bisa juga rasionalisasi belanja.

Secara makro, misalnya kita melihat dari APBD Pemprov Jabar 2013, penerimaan pajak daerah tercapai sebesar 115,66 persen, penerimaan retribusi daerah 111,42 persen, penerimaan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan terealisasi 99,73 persen, dan lain-lain PAD yang sah sebesar 184,37 persen.

Imbasnya, seperti disampaikan Gubernur Jabar dalam laporan keterangan pertanggungjawaban (LKPJ) 2013, pendapatan daerah Pemprov Jabar tahun 2013 lalu melebihi target. Sebelumnya, Pemprov Jabar menargetkan Rp17,38 triliun namun ternyata Pemprov dapat merealisasikan sebesar Rp19,32 triliun.

Dalam rinciannya, Heryawan menyebutkan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari target sebesar Rp10,51 triliun terealisasi Rp12,44 triliun atau 118,37 persen. Untuk dana perimbangan juga mengalami kenaikan, dari target sebesar Rp2,74 triliun, bisa terealisasi Rp2,95 triliun lebih.

Dengan kata lain, PBB adalah menjadi salah satu tumpuan pendapatan mayoritas pemerintah daerah di Tatar Pasundan ini.

Ditambah skema alokasi penerimaan pajak daerah seperti PKB dan BBNKB akan diserahkan ke kab/kota sebesar 30 persen, PAP 50 persen, PBBKB 70 persen, dan pajak rokok 70 persen, maka alokasi PBB yang sudah 100 persen daerah, sangatlah diharapkan.

Untuk itulah, benar seperti diucapkan Walikota Bandung Ridwan Kamil, mari duduk bersama dulu agar semuanya satu persepsi. Jangan sampai niat baik ditafsirkan lain karena kebuntuan komunikasi.

Asas musyawarah untuk mufakat sejatinya adalah ajakan Bapak Bangsa Indonesia agar membiasakan diri duduk dan ngobrol bersama, sehingga tercapai pemahaman bersama. ***

Titik Keseimbangan dari Wacana Penghapusan PBB

Dan benar saja. Polemik langsung terjadi, manakala Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) menargetkan pemberlakuan bebas pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi rumah huni, tempat ibadah, dan bangunan sosial mulai 2016 mendatang.
Sambil menunggu kajian, yang namanya rencana pasti menuai pro kontra. Banyak yang setuju karena merasa tidak terlalu dibebani secara rutin (terutama masyarakat umum), akan tetapi pemerintah daerah umumnya merasa dirugikan karena akan menggerus pendapatan asli daerah.
Awal Februari lalu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Ferry Mursyidan Baldan di Jakarta mengatakan, rencana pembayaran PBB setiap tahun hanya dikenakan terhadap bangunan komersial seperti rumah toko, pusat perbelanjaan, gedung perkantoran dan restoran.
Sebab, PBB hunian setiap tahun membebani masyarakat penghuni rumah nonkomersial. Jadi, pemerintah hanya akan memungut biaya PBB terhadap masyarakat saat awal pembelian lahan tanah atau rumah huni.
Selain itu, yang tambah bikin polemik, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN juga akan menghapus pencantuman komponen Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) pada lembaran pembayaran PBB.
Alasannya, pengembang properti telah mendapatkan keuntungan berlipat dari sertifikat rumah yang dijaminkan kepada bank selama pembeli rumah melakukan angsuran.
 
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN juga telah memberitahukan kepada pengusaha properti terkait rencana penghapusan komponen NJOP pada komponen harga jual rumah.
Soal potensi kehilangan pendapatan pajak dari PBB, Ferry menyatakan akan berkoordinasi dengan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro.
Menurut dia, Menteri Keuangan siap berkonsultasi mengenai bebas pungutan PBB bagi rumah huni setiap tahun itu namun menunggu waktu yang tepat karena sibuk mempersiapkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).
Jika menilik historis, PBB semula dikelola pemerintah pusat untuk sekian lama untuk dibagi hasil ke pemda se-Indonesia. Akan tetapi keluhan muncul karena dinilai tidak proporsional.
Lalu, sejak awal tahun 2014 lalu, PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan (P2) tidak lagi dikelola Direktorat Jenderal Pajak (DJP) namun sudah diserahkan ke daerah.
Selain karena aspirasi, juga karena amanat Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) bahwa selambat-lambatnya tahun 2014, pengelolaan pajak PBB sektor P2 dilaksanakan pemerintah kabupaten/kota.
Kewenangan yang diberikan ini tercantum dalam Pasal 80 UU PDRD dimana masing-masing Kabupaten/Kota dapat menentukan tarif PBB-P2 nya sendiri dengan ketentuan paling tinggi sebesar 0,3% dari sebelumnya hanya dipatok pada tarif efektif (tunggal) sebesar 0,1% atau 0,2%.
Artinya, seperti diwartakan pajak.go.id, secara legal, ada ruang bagi kabupaten/kota untuk menaikkan tarif PBB-P2 di wilayahnya. Namun, kebijakan tarif yang diambil oleh suatu kabupaten/kota juga hendaknya mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat di wilayahnya agar tidak menimbulkan gejolak di kemudian hari.
Dengan adanya pengalihan ini maka kegiatan pendataan, penilaian, penetapan, pengadministrasian, pemungutan/penagihan dan pelayanan PBB-P2 akan diselenggarakan kabupaten/kota.
Adapun tujuan pengalihan pengelolaan PBB-P2 ke kabupaten/kota adalah untuk memberikan kewenangan lebih besar dalam perpajakan dengan memperluas basis pajak daerah dan penetapan tarif pajak.
Dengan pengalihan ini, penerimaan PBB-P2 akan sepenuhnya masuk ke Pemerintah kabupaten/kota sehingga diharapkan mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya.
Pada saat dikelola oleh Pemerintah Pusat, kabupaten/kota hanya mendapatkan bagian sebesar 64,8% dari jumlah penerimaan PBB-P2 di wilayahnya. Tentunya, dengan dikelolanya PBB-P2 oleh kabupaten/kota dengan menjadi Pajak Daerah, maka penerimaan PBB-P2 akan 100% masuk ke kas kabupaten/kota tersebut.
Sebelumnya, pada Tahun 2011 hanya Kota Surabaya yang telah mengelola PBB-P2. Kemudian, untuk Tahun 2012 ada 17 Kabupaten dan Kota yang telah mengelola PBB-P2 dan untuk Tahun 2013 ada 105 Kabupaten dan Kota yang menyatakan kesiapannya mengelola PBB-P2.
Nah, situasi polemik ini tentu saja tak mudah diurai. Perlu kehati-hatian, pertimbangan matang, juga komunikasi intensif semua pihak agar apapun keputusannya, tidak ada pihak merasa dirugikan.
Juga, jangan sampai semangat perbaikan ini kontraproduktif; Pemerintah daerah jadi patah arah karena tak dapat bagian signifikan (padahal “bulan madu” baru setahun), sehingga terjadi penuruan kualitas pelayanan ke masyarakat.
Kita semua sepakat, apapun aspirasi masyarakat Indonesia memang harus sebisa mungkin tercapai. Namun di sisi lain, pemda juga perlu tetap bekerja optimal. Di sinilah, titik keseimbangan ini perlu dirumuskan. ***

Apa dan Bagaimana Penyanderaan Pajak (Gijzeling) di Indonesia?

Sejenis dengan  gebrakan Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti tenggelamkan kapal ilegal, gebrakan terkait perpajakan akhirnya dilakukan juga. Akhir Januari 2015, gebrakan dilakukan Kementerian Keuangan dengan menyandera (gijzeling) wajib pajak yang membandel.
Situasi ini cukup menggemparkan, sebab gijzeling dilakukan intensif dan meluas ke sejumlah wajib pajak di berbagai kota di Indonesia. Terlebih, sudah sekian tahun tidak ada tindakan penyanderaan ini.
Bahkan, seperti dilansir berbagai media massa, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat per Februari 2015, terdapat 49 wajib pajak yang terancam dijebloskan ke penjara karena menunggak pajak nilai total Rp 1,38 triliun.
Sebanyak 49 wajib pajak tersebut berjumlah 56 orang penanggung pajak. Sekitar 90% dari penunggak pajak tersebut adalah wajib pajak badan/perusahaan. Sementara sisanya adalah wajib pajak orang pribadi.
Mengacu regulasi perpajakan di negeri ini, para wajib pajak yang disandera ini akan dijebloskan ke lembaga pemasyarakatan hingga 6 bulan ke depan. Apabila wajib pajak bersangkutan sudah bisa melunasi tagihan pajak, akan dilepaskan dari tahanan pada hari itu juga. Namun apabila tidak bisa melunasi wajib pajak akan diperpanjang penahanannya selama 6 bulan lagi.
Apabila sudah 12 bulan tak mampu juga membayar pajak, yang bersangkutan akan dilepaskan. Namun kewajiban melunasi pajak tidak hilang.
Secara makro legal, penyanderaan wajib pajak dilakukan sesuai Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Pemblokiran, pencekalan, penyanderaan, penyitaan, dan pelelangan itu semua adalah tindakan penagihan yang diatur di UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Namun hal ini tidak serta merta. Baru bisa dilakukan jika tindakan penagihan yang dilakukan untuk mencarikan piutang pajak yang sudah diselesaikan dan dihitung oleh pemeriksa tidak kunjung berhasil.
Kalau wajib pajak sampai dengan jatuh tempo ketetapannya tidak melunasi utang pajaknya, maka wajib pajak tersebut akan diberi tindakan penagihan berupa pemblokiran atau penyitaan asetnya.
Kemudian akan dilakukan pencekalan atau mencegah wajib pajak pergi ke luar negeri. Dan, itu tadi, tindakan terakhir yaitu penyanderaan dimana menempatkan penanggung pajak ke dalam rumah tahanan negara. Di sini baik pencekalan maupun penyanderaan dilakukan dalam waktu tertentu yaitu 6 bulan.
Tindakan penyanderaan ini adalah salah satu upaya terakhir terhadap wajib pajak. Meski begitu, hal ini memang jarang dilakukan. Namun selama beberapa tahun terakhir, sebelum ramai tahun ini, penyanderaan dilakukan sebelumnya di tahun 2009 dan 2011.
Tindakan penyanderaan ini pun dinilai efektif. Karena biasanya wajib pajak tidak ingin berlama-lama di dalam rumah tahanan, ia langsung melunasi piutangnya. Yah, mana ada orang betah disel, bukan?
Karenanya, tindakan penyanderaan adalah alternatif sepanjang wajib pajak memenuhi syarat tertentu untuk diajukan penyanderaan. Efek jera ini yang kemudian akan memunculkan kepatuhan lebih baik.
Sandera ini biasanya dititipkan di Lapas. Biasanya Ditjen Pajak menitipkan sandera di Lapas Cipinang dan di Lapas Salemba jika berlokasi di Jakarta. Penyanderaan kasus wajib pajak ini adalah perdata bukan pidana.
“Sebetulnya seakan-akan pidana tapi harus dibedakan hukuman penjara dengan sandera penjara. Kalau penyanderaan ini sebetulnya adalah pelaksanaan undang-undang hukum perdata,” tandasnya.
Lalu, siapa saja yang bisa kena gizjeling? Laman Direktorat Pajak menyebut semua wajib pajak bisa kena, terutama bagi yang mempunyai utang minimal Rp 100 juta dan tidak mempunyai itikad baik dalam melunasi utangnya.
Jika wajib pajak tersebut punya itikad baik tapi belum ada uang untuk melunasinya, maka wajib pajak juga tidak akan disandera.
Itu berarti, mulai saat ini, terutama bagi masyarakat Jabar, mari tunaikan jenis pajak apapun (pusat dan daerah) yang sudah menjadi tanggungan kita. Gizjeling adalah tindakan akhir yang takkan terjadi selama kita patuh perpajakan. **

Apa Enaknya E-Samsat Sih?

Ketika yang baru datang, maka pertanyaan yang wajar dan banyak muncul, apa beda dengan yang lama? Apa sih keuntungan dan kehebatannya dibandingkan layanan sejenisnya sebelumnya?
Apakah jadi lebih baik segalanya? Mengapa saya harus menggunakan layanan tersebut? Mengapa harus pindah dari cara lama? Mungkin itulah sekian banyak pertanyaan yang biasa muncul ketika ada layanan baru.
Demikian pula dengan E-Samsat dari Dispenda Jabar. Dirilis perdana Sabtu, 22 November 2014 lalu, layanan ini diperkenalkan pertama oleh Wakil Gubernur Jawa Barat, Deddy Mizwar, Kadispenda Jabar, Dadang Suharto, Kapolda Jabar Irjen Pol M Iriawan, Menteri PAN-RB, Yuddy Chrisnandy dan pejabat lainnya, dari Jasa Rahaja dan Bank Bjb.
Dengannya, melalui sejumlah tahapan pembayaran tak lebih dari lima tahapan, maka pemilik kendaraan bermotor tak perlu lagi gunakan cara lama yakni membayar pajak ke Samsat aneka bentuk kantor dan atau melalui biro jasa.
Anda tinggal datang ke ATM Bank Jabar Banten (jumlahnya ada 1.300 unit se-Indonesia), maka pembayaran jadi jauh lebih cepat, praktis, murah, dan terbebas dari aneka antrian ataupun kemacetan.
Karena itu, jika ada pertanyaan pertama apa keunggulan layanan baru ini, jawaban pertamanya adalah memberikan aneka kepraktisan dan kemudahan bagi siapapun Anda pemilik kendaraan bermotor.
Sebut misalnya harus membayar ke kantor Samsat, entah kantor cabang/Samsat Keliling/Samsat Corner. Apapun kondisinya, kita harus melewati jalan umum yang artinya tak bisa menghindar dari kemacetan.
Sekecil apapun tempat tinggal kita di Jabar, manakala populasi kendaraan naik hingga rata-rata 11% per tahun namun pertumbuhan jalan hanya 1% per tahun, maka kepadatan kendaraan sulitlah dihindari.
Otomatis, dengan pemilik kendaraan selalu naik, maka jumlah orang yang akan membayar pajak pun naik sendirinya. Mau tak mau, suka tak suka, kita pun harus siap antri dengan empunya kendaraan lainnya.
Jadi, sudah macet di jalan, waktu kita pun harus siap hilang dengan antrian tersebut. Maka banyak orang mensiasatinya dengan membayar di biro jasa yang banyak bertebaran di pelbagai kota.
Tempat yang lebih representatif, misalnya furniture dan pendingin udara lebih bagus kerap jadi iming-iming tempat tersebut. Karena itulah yang jadi daya tarik utama mereka yang mau bayar di biro jasa.
Otomatis, harga pun jadi lebih mahal karena kita selain dibuat nyaman juga tak perlu ribet mengurus pajak tersebut. Bagi sebagian orang, hal ini tak masalah dibandingkan harus berkorban waktu dan kenyamanan.
Akan tetapi, jangan lupa, pengurusan pajak kendaraan bermotor Anda (entah itu perpanjangan atau balik nama) melalui biro jasa memerlukan waktu lebih. Tidak bisa seketika dibawa pulang.
Kesimpulannya, semua ada enak dan tidaknya jika Anda membayar langsung ke Samsat dan atau ke biro jasa. Pastinya, jika melihat ini semua ditambah manusia tak pernah puas, maka e-Samsat bisa menjadi solusi ces pleng. 
Bayangkan saja. Dengan 1.300 cabang ATM se-Indonesia, alias relatif mudah ditemukan di sekitar tempat tinggal kita, maka kita bisa jadi hanya tinggal melangkah kaki ke anjungan ini.
Selanjutnya tinggal bertransaksi (dengan tambahan memasukkan nomor administrasi tertentu), maka pulang dari ATM, kita sudah tercatat beres menuntaskan masalah pajak kendaraan.
Artinya, demikian banyak kerumitan dipangkas, demikian minim kerepotan yang kita terima. Waktu dan tenaga, di sisi lain, otomatis kita hemat sehingga bisa melakukan banyak kegiatan lainnya.
Seluruhnya ini sebenarnya bukan sesuatu yang ujug-ujug datang. Sejumlah literatur yang dihimpunn menunjukkan ada empat manfaat besar dari layanan digital dimanapun.
Pertama, mudah dan murah. Kedua, Aman dan Nyaman. Ketiga, munculnya Integrasi Data. Dan terakhir, Satu Kartu Multi Fungsi (kartu ATM bisa bertambah manfaat dari biasanya.)
Jadi, setidaknya ada empat manfaat dari enaknya menggunakan layanan e-Samsat ini. Sekarang semuanya bergantung pada kita; Gunakan cara konvensional yang inefisien atau mencoba cara baru yang banyak enaknya? **

Meneguhkan Layanan Digital

Namanya orang ingin maju, tentu selalu menengok ke depan. Kalau hanya diam di hari ini, apalagi menengok dan terbuai oleh masa lalu, jangankan bisa maju, yang didapat hari ini malah bisa hilang.

Itulah sebabnya, kita perlu terus memikirkan apa sih fundamental yang diperlukan dalam memperkenalkan sekaligus memperluas layanan baru nan inovatif seperti e-samsat dari Dispenda ini?

Mengacu berbagai literatur terkait layanan nirtunai (cashless) di dunia, salah satu fundamental dalam layanan ini adalah adanya kepercayaan dan kenyamanan tinggi dari publik kepada layanan.

Hal ini dirasa penting, sebab bagaimana bisa layanan jadi meluas dan bahkan menjadi kebiasaan, manakala orang belum apa-apa sudah apriori bahkan ketakutan saat menggunakannya.

Hanya perasaan nyaman, kepercayaan demikian tinggi imbas kemudahan yang dirasakan, yang membuat berbagai layanan inovatif semacam e-samsat bisa meluas dan massif di sebuah negara.

Dan, salah satu prasyarat memunculkan kepercayaan ini adalah menghadirkan kepastian identitas pengguna transaksi elektronik, terutama dari sisi pemberi demikian juga pihak penerima dan pemberi.

Bagaimanapun, kepastian identitas dalam dunia digital merupakan suatu yang pelik namun sangat mendasar. Siapakah nama persisnya, dimana alamat lengkap, seperti apa historis keuangannya, adalah hal yang harus ada.

Karena itulah, sekali lagi, agar fundamental layanan semacam e-samsat terus berkembang, sehingga ke depan bisa terus diberikan, maka yang dibutuhkan adalah manajemen identitas digital dan pembayaran elektronik.

Manajemen ini dirancang agar dapat menyimpan dan menverifikasi identitas dan pembayaran yang digunakan dalam dunia digital. Salah satu output-nya adalah akses identitas dan pembayaran elektronik disimpan dalam satu
kartu pintar (smart card) yang dipegang individu bersangkutan.

Jadi, seperti digagas Prof Suhono dkk dari Teknik Informatika ITB, kartu pintar menyimpan data primer individu dalam sistem, seperti nama dan
alamat.

Data tersebut dapat digunakan oleh layanan yang berjalan diatas untuk membentuk data sekunder, seperti nomor keanggotaan dan aktifitas yang terkait keanggotaan tersebut.

Dengan rancangan ini, data dapat disimpan tanpa terjadi duplikasi, yang dapat menghemat biaya penyimpanan data. Sistem ini juga memudahkan adanya perubahan data terkait individu tertentu.

Perubahan data tersebut dapat dilakukan pada tingkat platform, yang kemudian akan menyinkronkan perubahan tersebut ke layanan-layanan yang digunakan individu tersebut meskipun layanan-layanan tersebut berasal dari organisasi yang berbeda.

Kunci digital yang ditanamkan pada smart card ini dibagi menjadi 4 bagian
utama: identitas, pembayaran, akses, dan tiket. Keempat kunci tersebut digunakan untuk mengakses 4 layanan yang berbeda.

Keempat kunci tersebut digunakan untuk mengakses data individu yang terkait pada layanan tersebut. Kunci identitas digunakan sebagai bukti otorisasi penggunaan data identitas, baik primer maupun sekunder, milik individu tersebut.

Kunci pembayaran merupakan kunci untuk membuka jalan bagi transaksi elektronik, baik langsung maupun tidak langsung.

Kunci akses merupakan sekumpulan data digital yang dapat digunakan untuk membuka akses elektronik menuju suatu ruangan tertentu atau penggunaan perangkat tertentu.

Kunci tiket elektronik merupakan data yang dapat digunakan sebagai tiket bagi layanan tertentu, seperti transportasi umum atau parkir.

Secara teknologi, kartu cerdas dibagi menjadi 2 bagian utama: platform dan access device. Platform adalah bagian yang mengatur basis data dan menyediakan koneksi dan API bagi layanan digital yang ingin menggunakan kartu ini.

Access Device merupakan bagian kartu yang digunakan individu pengguna layanan digital yang tergabung. Access device ini menyimpan data kunci yang digunakan sebagai bukti otorisasi atau otentifikasi penggunaan data yang terkait dirinya.

Platform dapat digunakan cukup mudah, serta dikembangkan dengan menggunakan SQL dan JAVA, sehingga dapat mudah diadopsi layanan manapun, baik berupa aplikasi desktop, mobile, maupun web-based.

Access Device memberikan pilihan perangkat berupa kartu atau perangkat bergerak, tergantung keinginan pengguna. Namun kedua perangkat menyimpan data kunci masing-masing layanan dengan aman.

Metode komunikasi data antara access device dan aplikasi layanan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pengguna yang menggunakan kartu pintar dapat berkomunikasi dengan Near Field Communication (NFC) atau QR Code.

Sementara pengguna dengan perangkat bergerak dapat berkomunikasi melalui wireless fidelity (wifi), text message, atau QR Code.

Singkat kata, meneguhkan layanan digital, maka akan bicara fundamen layanan yakni meningkatkan kepercayaan agar jadi kebiasaan. Manajemen identitas digital yang makin baik adalah upaya meneguhkan kepercayaan tersebut. **

Beritakan dari Kecil!

Setelah sekian lama, Jawa Barat di bawah Gubernur Ahmad Heryawan dan Wakil Gubernur Deddy Mizwar, mengampanyekan program pendidikan gratis dari tingkat dasar hingga sekolah menengah atas.
Hal ini menjadi salah satu hal yang paling dikenang diantara sekian calon gubernur Jawa Barat pada putaran kampanye tahun 2013 lalu. Dan, janji tersebut sudah mulai direalisasikan di lapangan.
Demikian pula dengan sejumlah megaproyek strategis bagi masyarakat Jawa Barat terutama di kawasan utara. Misalnya Tol Dawuan mulai dari Sumedang hingga Bandara Kertajati di Majalengka.
Sejumlah kemudahan yang tersajikan, ini mengingatkan sejumlah fasilitas di Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Ahok yang juga memberikan program sekolah gratis sampai jenjang SMU.
Demikian pula saat ke dokter gigi, warga Jakarta cukup bayar Rp3.000 di Puskesmas yang tampilan dan fasilitasnya sudah selevel rumah sakit kecil. Juga ketika belanja obat, masih banyak obat generik hara super miring!
Nah, seluruh kemudahan ini tentu saja perlu biaya. Tidak mungkin semua fasilitas ini datang kepada masyarakat ketika pemerintah tidak punya amunisi untuk mewujudkan itu semua.
Maka, salah satu amunisi itu adalah uang pajak. Atau bisa juga kita sebut uang yang dari kita untuk kembali kepada kita, yang pengelolaannya dilakukan oleh negara melalui pemerintah daerah.
Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah cara negara mengedukasi warganya agar membayar pajak penuh sukacita? Mau berkontribusi dengan yakin bahwa pajak yang dibayarkan bermanfaat untuk banyak rakyat?
Salah satu yang mudah adalah adanya edukasi mulai dari kalangan pelajar. Sebagai generasi muda, mereka harus diberitakan berbagai benefit dari pajak yang akan mereka terima kembali.
Jika di sekolah dipasang spanduk guru dan biaya operasional dibayar oleh negara dari uang pajak para wajib pajak, maka benak mereka mencetak memori kuat soal kegotongroyongan nasional berbentuk pajak.
Atau, manakala ada kepala daerah melepas pelajar beasiswa pemda ke universitas terkemuka di Indonesia, sebarkan dan sampaikan bahwa rakyat lah yg membiayai beasiswa melalui mekanisme pembayaran pajak.
Demikian pula ketika dokter melayani pasiennya di puskesmas, ,maka dipasang pemberitahuan bahwa dokter digaji negara melalui kontribusi pembayaran pajak dari warga masyarkat yang mampu.
Jadi, lakukan edukasi ke segmen pelajar bahwa pajak adalah sarana berbagi dari yg mampu ke yang kurang mampu sekaligus alat mempererat rasa kebangsaan melalui kehadiran rasa sepahit sepenanggungan.
Semoga hal ini bisa menyadarkan mereka kelak ketika sudah menjadi warga negara yang berkecukupan. Sekaligus mereka tahu diri dan selalu ngeh tentang pentingnya sosialisasi terkait pajak ini.
Jika sudah kecil terbiasa, maka sudah besar takkan terpaksa. Namun  sebaliknya jika sejak kecil tidak diinformasikan dengan baik, maka bukannya bayar pajak, sudah besar hanya bisa nyinyir tanpa bisa berbuat nyata! **

Memperluas Smart Payment di Jabar

Setelah e-Samsat diperkenalkan Dispenda Jabar akhir tahun lalu, sesungguhnya pekerjaan belum selesai. Bahkan mungkin baru dimulai karena pembayaran cerdas (smart payment) belumlah tuntas.
Situasi ini tak bisa dihindari manakala pembayaran elektronik telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Kartu kredit dan kartu debit telah menjadi alternatif pembayaran yang banyak digunakan selain pembayaran tunai.
Kemudahan dan kenyamanan pembayaran elektronik menjadi alasan maraknya penggunaan pembayaran elektronik. Selain kedua pilihan tersebut, masyarakat dapat menggunakan berbagai alternatif pembayaran elektronik seperti payment gateway, uang elektronik, atau internet banking.
Sekalipun demikian, apalagi jika dibandingkan negara luar, penggunaan pembayaran ini belum termasuk luas dan massal (masif). Harus diakui, di Indonesia, menggunakan uang tunai tetap media pembayaran utama.
Pembayaran elektronik masih dianggap suatu kemewahan yang hanya dimiliki oleh segelintir orang berada. Budaya cashless (non-tunai) masih harus ditumbuhkan dengan menanamkan gambaran bahwa pembayaran elektronik itu adalah sebuah kemudahan bukan kemewahan.
Karenanya, masyarakat masih  membutuhkan edukasi mengenai pembayaran elektronik. Pun demikian, dengan menimbang situasi tadi, bukan berarti kita malah diam. Justru harus makin inovatif, seperti e-samsat Dispenda.
Sebab, dalam 5 tahun (dari 2007 hingga 2013), pembayaran elektronik mulai
mendapatkan momentum yang cukup baik dengan dikenalkannya uang
elektronik di Indonesia.
Bank Indonesia kemudian mencatat pertumbuhan penggunaan  uang elektronik mencapai 5000% dalam kurun waktu tersebut. Hal ini otomatis menunjukkan kecenderungan cukup baik dalam budaya nirtunai ini.
Maka, agar dapat meningkatkan penggunaan pembayaran cerdas semacam e-samsat Dispenda Jabar, dibutuhkan terus menerus tingkat kepercayaan yang tinggi dari masyarakat akan metode pembayaran ini.
Hal ini salah satunya dapat dilakukan dengan adanya kepastian identitas pengguna  transaksi elektronik (penerima dan pemberi). Kepastian identitas dalam dunia  digital merupakan suatu yang pelik namun sangat mendasar.
Untuk  memastikan identitas seseorang dalam dunia digital dengan tingkat kepastian yang cukup tinggi dibutuhkan daya upaya yang cukup besar.
Dalam konsep smart city yang digagas Prof Suhono Harso Supangkat (Guru Besar Informatika ITB), penggunaan pembayaran elektronik dan kepastian identitas digital menjadi suatu keharusan.
Smart Payment bertujuan mencari penyempurnaan atas aktivitas pembayaran elektronik. Namun sekali lagi, tanpa identitas digital yang baik dan dapat diimplementasi, pembayaran elektronik kurang bisa berjalan optimal.
Untuk itulah, langkah terobosan semacam e-samsat, yang selain memudahkan juga terbukti bisa mengakomodasi identitas digital yang baik, seyogyanya harus terus disokong dan diperluas di tanah air ini. Insya Allah. **