Apa dan Bagaimana Penyanderaan Pajak (Gijzeling) di Indonesia?

Sejenis dengan  gebrakan Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti tenggelamkan kapal ilegal, gebrakan terkait perpajakan akhirnya dilakukan juga. Akhir Januari 2015, gebrakan dilakukan Kementerian Keuangan dengan menyandera (gijzeling) wajib pajak yang membandel.
Situasi ini cukup menggemparkan, sebab gijzeling dilakukan intensif dan meluas ke sejumlah wajib pajak di berbagai kota di Indonesia. Terlebih, sudah sekian tahun tidak ada tindakan penyanderaan ini.
Bahkan, seperti dilansir berbagai media massa, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat per Februari 2015, terdapat 49 wajib pajak yang terancam dijebloskan ke penjara karena menunggak pajak nilai total Rp 1,38 triliun.
Sebanyak 49 wajib pajak tersebut berjumlah 56 orang penanggung pajak. Sekitar 90% dari penunggak pajak tersebut adalah wajib pajak badan/perusahaan. Sementara sisanya adalah wajib pajak orang pribadi.
Mengacu regulasi perpajakan di negeri ini, para wajib pajak yang disandera ini akan dijebloskan ke lembaga pemasyarakatan hingga 6 bulan ke depan. Apabila wajib pajak bersangkutan sudah bisa melunasi tagihan pajak, akan dilepaskan dari tahanan pada hari itu juga. Namun apabila tidak bisa melunasi wajib pajak akan diperpanjang penahanannya selama 6 bulan lagi.
Apabila sudah 12 bulan tak mampu juga membayar pajak, yang bersangkutan akan dilepaskan. Namun kewajiban melunasi pajak tidak hilang.
Secara makro legal, penyanderaan wajib pajak dilakukan sesuai Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Pemblokiran, pencekalan, penyanderaan, penyitaan, dan pelelangan itu semua adalah tindakan penagihan yang diatur di UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Namun hal ini tidak serta merta. Baru bisa dilakukan jika tindakan penagihan yang dilakukan untuk mencarikan piutang pajak yang sudah diselesaikan dan dihitung oleh pemeriksa tidak kunjung berhasil.
Kalau wajib pajak sampai dengan jatuh tempo ketetapannya tidak melunasi utang pajaknya, maka wajib pajak tersebut akan diberi tindakan penagihan berupa pemblokiran atau penyitaan asetnya.
Kemudian akan dilakukan pencekalan atau mencegah wajib pajak pergi ke luar negeri. Dan, itu tadi, tindakan terakhir yaitu penyanderaan dimana menempatkan penanggung pajak ke dalam rumah tahanan negara. Di sini baik pencekalan maupun penyanderaan dilakukan dalam waktu tertentu yaitu 6 bulan.
Tindakan penyanderaan ini adalah salah satu upaya terakhir terhadap wajib pajak. Meski begitu, hal ini memang jarang dilakukan. Namun selama beberapa tahun terakhir, sebelum ramai tahun ini, penyanderaan dilakukan sebelumnya di tahun 2009 dan 2011.
Tindakan penyanderaan ini pun dinilai efektif. Karena biasanya wajib pajak tidak ingin berlama-lama di dalam rumah tahanan, ia langsung melunasi piutangnya. Yah, mana ada orang betah disel, bukan?
Karenanya, tindakan penyanderaan adalah alternatif sepanjang wajib pajak memenuhi syarat tertentu untuk diajukan penyanderaan. Efek jera ini yang kemudian akan memunculkan kepatuhan lebih baik.
Sandera ini biasanya dititipkan di Lapas. Biasanya Ditjen Pajak menitipkan sandera di Lapas Cipinang dan di Lapas Salemba jika berlokasi di Jakarta. Penyanderaan kasus wajib pajak ini adalah perdata bukan pidana.
“Sebetulnya seakan-akan pidana tapi harus dibedakan hukuman penjara dengan sandera penjara. Kalau penyanderaan ini sebetulnya adalah pelaksanaan undang-undang hukum perdata,” tandasnya.
Lalu, siapa saja yang bisa kena gizjeling? Laman Direktorat Pajak menyebut semua wajib pajak bisa kena, terutama bagi yang mempunyai utang minimal Rp 100 juta dan tidak mempunyai itikad baik dalam melunasi utangnya.
Jika wajib pajak tersebut punya itikad baik tapi belum ada uang untuk melunasinya, maka wajib pajak juga tidak akan disandera.
Itu berarti, mulai saat ini, terutama bagi masyarakat Jabar, mari tunaikan jenis pajak apapun (pusat dan daerah) yang sudah menjadi tanggungan kita. Gizjeling adalah tindakan akhir yang takkan terjadi selama kita patuh perpajakan. **