Selalu Ada Konsekuensi

Di dunia ini, karena kita hidup dalam komunitas dan sistem, kita tak bisa mengelak dari aturan. Tak bisa kita berlaku seenaknya, berbuat semaunya, apalagi atas nama kebebasan berlaku dan berpendapat.

Ketentuan soal ini juga berlaku dalam urusan perpajakan, dimana aturan yang dibuat tentu saja untuk dilaksanakan. Bagi mereka yang tidak melaksanakan, apalagi sengaja melanggar, tentu harus selalu siap konsekuensinya.

Ini berlaku bagi semua jenis. Bukan hanya pajak di tingkat pemerintah pusat, tapi juga perpajakan pemerintah daerah, yang otoritas utamanya berada di bawah Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda).

Soal ini secara tegas sudah diatur dalam lex specialis, alias regulasi umum perpajakan, dimana ada dua sanksi perpajakan. Yakni sanksi administrasi dan sanksi pidana.

Perbedaan dari kedua sanksi tersebut adalah bahwa sanksi pidana berakibat pada hukuman badan seperti penjara atau kurungan. Pengenaan sanksi pidana dikenakan terhadap semua tindak pidana di bidang perpajakan.

Sedangkan sanksi administrasi biasanya berupa denda (dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebut sebagai bunga, denda atau kenaikan), dengan besaran bervariasi mulai dari 2%, 48%, 50%, 100%, 150%, hingga 200% dari kekurangan pembayaran pajak atau Dasar Pengenaan Pajak (DPP).

Komitmen soal ini kian nyaring diperlihatkan, misalnya empat tersangka komplotan Faktur Pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya (Faktur Pajak Tidak Sah) diserahkan ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat di Bandung pada 18 Desember 2014.

Keempat tersangka diduga membantu dan turut serta melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam rangka menerbitkan Faktur Pajak Tidak Sah melalui PT Rezatama Niaga Sepakat, PT Menoreh Persada Mandiri dan PT Samudera Victory Abadi dan perusahaan-perusahaan lainnya.

Penyidikan kepada ke empat tersangka merupakan pengembangan dari kasus Sumarno yang sudah divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Cibinong berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Cibinong Nomor 295/Pid Sus/2014/PN.Cbi.

Sedikitnya ada 47 perusahaan yang menggunakan Faktur Pajak Tidak Sah dari komplotan ini. Adapun keuntungan bagi perusahaan yang menggunakan Faktur Pajak Tidak Sah tersebut adalah mengurangi PPN yang harus disetor.

Kerugian negara akibat perbuatan yang dilakukan Sumarno sebesar Rp25 milyar dan dari empat tersangka diatas sebesar 15 milyar, namun total kerugian negara akibat komplotan ini diperkirakan sampai ratusan milyar rupiah.

Sesuai dengan Undang-Undang perpajakan, para tersangka diancam hukuman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak.

Kita harus berkaca bahwa ini jadi peringatan bagi para pelaku lainnya bahwa regulator perpajakan dengan dukungan Bareskrim Polri terus melakukan penegakan hukum di bidang perpajakan!

Dalam tindakan lebih besar, Direktorat Jenderal Pajak per 22 Desember 2014 sudah menerapkan pencegahan kepada 147 Wajib Pajak Badan dan 21 Orang Pribadi dengan nilai hampir Rp.600 Milyar.

Pencegahan merupakan larangan yang bersifat sementara kepada Penanggung Pajak untuk keluar dari wilayah Indonesia. Sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Undang-Undang PPSP), pencegahan tersebut dilakukan secara selektif kepada Penanggung Pajak yang memiliki utang pajak sebesar Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.

Jangka waktu pencegahan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk paling lama 6 (enam) bulan.

Pencegahan dilakukan kepada Penanggung Pajak yang mencakup orang pribadi atau badan. Untuk badan dikenakan atas mereka yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Kalau para penunggak pajak tersebut tidak segera melunasi hutang pajaknya, maka akan segera proses ke tindakan berikutnya, yaitu gijzeling (penyanderaan),, seperti dikatakan Plt Dirjen Pajak/Wakil Menkeu Mardiasmo.

Upaya gijzeling merupakan upaya terakhir yang akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, sebab semua upaya itu dilakukan dengan satu tujuan yakni Wajib Pajak mau membayar pajak yang menjadi kewajibannya.

Sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Undang-Undang PPSP), pencegahan tersebut dilakukan secara selektif kepada Penanggung Pajak yang memiliki utang pajak sebesar Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.

Jangka waktu pencegahan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk paling lama 6 (enam) bulan. Setelah proses perpanjangan tersebut dan Wajib Pajak tetap tidak melunasi kewajibannya, terhadap Wajib Pajak kemudian dapat dilakukan penyanderaan.

Sampai saat ini Direktorat Jenderal Pajak telah memproses 487 usulan pencegahan terhadap para penunggak pajak dengan nilai tagihan pajak sebesar Rp3,3 triliun.

Bahkan, pencegahan pun dilakukan ke Warga Negara Asing (WNA). Berdasarkan kewarganegaraan, penunggak pajak yang telah disetujui dicegah terdiri dari 40 WNA yang berasal dari Asia, Amerika, Australia dan Eropa dengan nilai tagihan pajak sebesar Rp57,2 miliar.

Jadi, sekali lagi, selama kita masih hidup dalam sebuah sistem dan komunitas, dengan sendirinya kewajiban kita sendiri mematuhinya –termasuk menunaikan pajak daerah. Jika tidak, suka tidak suka, mau tidak mau, harus siap tanggung konsekuensinya! ***

Cukupkah Satu NPWP dalam Satu Keluarga?

Sebagai warga taat hukum, sudah seyogyanya jika kewajiban perpajakan justru dimulai dari ekosistem terkecil yakni rumah tangga. Sebab, jika di rumah tangga sudah ditunaikan, maka bisa belanjut ke RT, RW, dan seterusnya.

Hal ini bisa kita lihat dalam hal kedisiplinan. Jikalau di rumah tangga, orangtua dan anaknya selalu buang sampah pada tempatnya, maka otomatis dia akan melakukan hal serupa ketika ke luar rumah, di sekolah, di pasar, dst.

Taat hukum sejak awal seperti ini juga harus diterapkan dalam urusan perpajakan. Salah satu banyak pertanyaan terkaitnya adalah kewajiban nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Salah satu soal NPWP yang sering jadi tanda tanya adalah kepemilikan NPWP bagi wanita kawin atau istri. Sering ditemui pertanyaan Wajib Pajak yang belum jelas benar tentang NPWP bagi wanita kawin atau istri.

Seperti dihimpun dari berbagai sumber, sistem administrasi perpajakan di Indonesia menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis. Bahwa penghasilan dan kerugian istrinya juga nanti digabungkan dengan penghasilan suaminya (Pasal 8 UU PPh), sehingga dalam satu keluarga hanya terdapat satu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yaitu NPWP suami, dalam arti istri ikut NPWP suami.

Namun demikian, istri dapat memiliki NPWP sendiri bila hidup berpisah atau melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan. Istri juga dapat ber-NPWP sendiri bila memang berkehendak demikian.

Kita lihat PP 74 Tahun 2011. Pada Pasal 2 ayat (3) PP 74 Tahun 2011 tersebut ditegaskan bahwa, wanita kawin yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif tetapi tidak hidup berpisah atau tidak melakukan perjanjian pisah harta, maka hak dan kewajiban perpajakannya digabungkan hak dan kewajiban suaminya.

Dengan demikian, terhadap wanita kawin yang tidak dikenai pajak secara terpisah, pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan suami sebagai kepala keluarga. Atau dengan kata lain, NPWP sang istri ikut NPWP suaminya.

Lalu, bagaimana bila sebelum menikah istri sudah punya NPWP ? Dalam hal ini wanita kawin telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum kawin, wanita kawin tersebut harus mengajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak. Alasannya, pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suaminya. Dengan demikian, jelaslah bahwa NPWP istri bisa dihapuskan bila menikah.

Namun jika wanita kawin ingin mempunyai NPWP sendiri, maka wanita kawin tersebut harus mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.

Pada Per-20/PJ/2013 Pasal 2 ayat (3) juga menegaskan bahwa wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim, menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta atau memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suaminya meskipun tidak terdapat keputusan hakim atau tidak terdapat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, harus mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.

Tidak termasuk dalam pengertian hidup terpisah adalah suami istri yang hidup terpisah antara lain karena tugas, pekerjaan, atau usaha. Contohnya suami istri berdomisili di Bandung. Karena suami bekerja di Jakarta, yang bersangkutan bertempat tinggal di Jakarta sedangkan istri bertempat tinggal di Bandung.

Dalam hal wanita kawin yang ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari kewajiban perpajakan suaminya dan ia telah memiliki NPWP sebelum kawin, maka NPWP yang telah dimiliki sebelum kawin tersebut digunakan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya, sehingga wanita kawin tersebut tidak perlu mendaftarkan diri lagi untuk memperoleh NPWP.

Maka jelaslah sudah, taat hukum harus dimulai dari kita sendiri dan dari unit masyarakat paling awal yakni keluarga. Jika kita patuh dan peduli hal ini sedari dini, maka kepatuhan hukum akan terjadi dalam komponen masyarakat di atasnya. ***

Menggarap Pajak Kosan di Jawa Barat

Sejak lama, Jawa Barat (terutama di Kota Bandung) dikenal sebagai salahsatu kawasan pendidikan terkemuka di Indonesia.

Banyak tokoh besar negeri ini, semisal Bung Karno, B.J. Habibie, Megawati, dan SBY, kuliah di Tatar Parahyangan, Bung Karno dan Habibie di ITB, Megawati di Unpad (keduanya di Bandung) dan SBY di IPB, Bogor.

Situasi ini menggambarkan bahwa perguruan tinggi dan akademisi di provinsi ini menarik minat demikian tinggi bagi masyarakat Indonesia, sehingga berbondong-bondong orang belajar di Jawa Barat.

Mobilisasi ini, mau tidak mau, membuka peluang bisnis di bidang properti. Tepatnya rumah kos-kosan, karena para mahasiswa pendatang tersebut memang harus menyewa tempat tinggal selama kuliah.

Karena itulah, kalau kita perhatikan setidaknya di Kota Bandung, bisnis kos-kosan demikian menjamur di kawasan Dipatiukur dan Tamansari Kota Bandung serta kawasan Jatinangor, Kabupaten Sumedang.

Tentu saja, dalam konteks ekstensifikasi pajak, kita bisa melihat aktivitas ekonomi tersebut bisa menghasilkan pendapatan negara. Dan, khusus rumah kosan ini, ada yang disebut dengan Pajak Penghasilan (PPh) final.

PPh Final memiliki subyek pajak adalah pemilik indekos. Atau, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemilik indekos adalah orang pribadi atau badan yang memiliki rumah, kamar, atau bangunan, yang disewakan kepada pihak lain sebagai tempat tinggal/pemondokan dan mengenakan pembayaran sebagai imbalan dalam jumlah tertentu.

Sementara obyek pajaknya adalah penghasilan setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka syarat subjektif dan syarat objektif sudah terpenuhi, sehingga pemilik rumah indekos harus membayar pajak atas penghasilan dari persewaan rumah indekos, yaitu PPh (PPh) Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final.

Berapakah tarifnya? Seperti dilansir ekstensifikasi234.blogspot.com, tarif PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final atas penghasilan dari persewaan indekos adalah 10% dari jumlah bruto nilai persewaan dengan perhitungan sebagai berikut : PPh 4(2) = 10% x jumlah bruto nilai persewaan

Jumlah bruto nilai persewaan adalah jumlah yang dibayarkan oleh penyewa termasuk biaya perawatan, pemeliharaan, keamanan, dan fasilitas lainnya.

Untuk membayar pajak tersebut, gunakan Surat Setoran Pajak (SSP) dengan kode Mata Anggaran Penerimaan (MAP) 411128 dan Kode Jenis Setoran (KJS) 403. Pembayaran pajak dilakukan di Bank/Kantor Pos. Apabila tidak ada PPh pasal 4 ayat (2) yang terutang dalam suatu bulan maka tidak perlu melakukan pembayaran.

Siapa yang melakukan pembayaran? Apabila yang menyewa adalah orang pribadi maka disetorkan oleh pemilik indekos, namun bila yang menyewa adalah orang pribadi atau badan yang ditunjuk sebagai pemotong PPh, maka dipotong dan disetorkan oleh penyewa, pemilik indekos diberikan bukti potong.

Pembayaran tidak boleh melebihi tanggal 15 bulan berikutnya, bila yang menyewa orang pribadi (bukan pemotong), namun bila yang menyewa pemotong pajak, maka harus dilakukan pembayaran maksimal tanggal 10 bulan berikutnya.

Nah, apabila sudah melakukan pembayaran, jangan lupa untuk melaporkan SPT masa PPh pasal 4 ayat (2) maksimal tanggal 20 bulan berikutnya. Yang melaporkan adalah pihak yang melakukan pembayaran. Apabila yang bayar pemilik indekos maka yang lapor ya pemilik indekos, tapi klo yang bayar pemotong pajak ya yang lapor juga mesti pemotong pajak.

Kewajiban lain yang harus dipenuhi oleh pemilik indekos adalah mempunyai NPWP cabang atas kegiatan usahanya tersebut. Hal ini bila NPWP induk tidak berada pada satu wilayah KPP dengan lokasi kegiatan usaha indekos tersebut.

Oleh karena itu, agar semuanya merasakan nyaman, ada baiknya kewajiban pajak rumah kosan ini ditunaikan. Jangan sampai kita berbisnis namun berharap tidak membayar apa-apa ke pemerintah.

Atau kita meraup pemasukan sebanyak-banyaknya dari mahasiswa di kosan kita, namun kemudian tidak tahu bahwa ada kewajiban di balik itu. Bagaimanapun, selalu ada peran pemerintah di balik semua pendapatan rakyat Indonesia. **

Inilah Hak Wajib Pajak di Indonesia

Terkait kewajiban membayar pajak, tanpa perlu dijelaskan panjang lebar, informasi soal itu sudah sering diekspos di berbagai medium.

Akan tetapi, keadilan dimana-mana tentu harus mencantumkan juga hak. Tidak mungkin kewajiban berdiri sendiri karena akan tidak adil, sebaliknya hak tanpa kewajiban adalah egois.

Mengacu buku Hukum Pajak Edisi 5 yang ditulis Erly Suandy (Salemba Empat, 2011, hlm. 119), ada sejumlah hak yang bisa diperoleh oleh wajib pajak (WP), alias kita semua masyarakat Indonesia.

Menurut Erly, hak tersebut sebagai berikut:
1. Hak mendapatkan pembinaan dan pengarahan dari fiskus
Hak ini merupakan konsekuensi logis daru sistem self assessment yang mewajibkan Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, dan membayar pajaknya sendiri. Untuk dapat melaksanakan sistem tersebut tentu hal dimaksud merupakan prioritas dari seluruh hak Wajib Pajak yang ada.

2. Hak untuk membetulkan Surat Pemberitahuan (SPT)
Wajib Pajak dapat melakukan pembetulan SPT apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan, dengan syarat belum melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak dan fiskus belum melakukan tindakan pemeriksaan.

3. Hak untuk memperpanjang waktu penyampaian SPT
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan penundaan penyampaian SPT ke Dirjen Pajak dengan menyampaikan alasan-alasan secara tertulis sebelum tanggal jatuh tempo.

4. Hak untuk menunda atau mengangsur pembayaran pajak
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak kepada Dirjen Pajak secara tertulis disertai alasan-alasannya. Penundaan ini tidak menghilangkan sanksi bunga.

5. Hak memperoleh kembali kelebihan pembayaran pajak
Wajib Pajak yang mempunyai kelebihan pembayaran pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atau restitusi. Setelah melalui proses pemeriksaan akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB).

6. Hak mengajukan keberatan dan banding
Wajib Pajak yang merasa tidak puas atas ketetapan pajak yang telah diterbitkan dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di mana WP terdaftar. Jika Wajib Pajak tidak puas dengan keputusan keberatan Wajib Pajak dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.

Sementara mengacu pada undang-undang perpajakan Republik Indonesia, sebagaimana dilansir oleh pajak.go.id, maka hak wajib pajak diperinci sebagai berikut:

1. Hak atas kelebihan pembayaran pajak
Dalam hal pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak, atau dengan kata lain pembayaran pajak yang dibayar atau dipotong atau dipungut lebih besar dari yang seharusnya terutang, maka Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapatkan kembali kelebihan tersebut.
Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Untuk Wajib Pajak masuk kriteria Wajib Pajak Patuh, pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat dilakukan paling lambat 3 bulan untuk PPh dan 1 bulan untuk PPN sejak permohonan diterima. Perlu diketahui pengembalian ini dilakukan tanpa pemeriksaan.
Wajib Pajak dapat melakukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak melalui dua cara yakni melalui Surat Pemberitahuan (SPT) dengan mengirimkan surat permohonan yang ditujukan kepada Kepala KPP.
Apabila Direktorat Jenderal Pajak terlambat mengembalikan kelebihan pembayaran yang semestinya dilakukan, maka Wajib Pajak berhak menerima bunga 2% per bulan maksimum 24 bulan

2. Hak kerahasiaan bagi wajib pajak
Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapat perlindungan kerahasiaan atas segala sesuatu informasi yang telah disampaikannya kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menjalankan ketentuan perpajakan. Disamping itu pihak lain yang melakukan tugas di bidang perpajakan juga dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak, termasuk tenaga ahli, sepert ahli bahasa, akuntan, pengacara yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan. Kerahasiaan Wajib Pajak antara lain:
Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan dokumen lainnya yang dilaporkan oleh Wajib Pajak;
Data dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
Dokumen atau rahasia Wajib Pajak lainnya sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.

3. Hak untuk pengangsuran atau penundaan pembayaran
Dalam hal-hal atau kondisi tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan menunda pembayaran pajak.

4. Hak untuk penundaan pelaporan SPT Tahunan
Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat menyampaikan perpanjangan penyampaian SPT Tahunan baik PPh Badan maupun PPh Orang Pribadi.

5. Hak untuk pengurangan PPh pasal 25
Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25.

6. Hak untuk pengurangan pajak bumi dan bangunan
Wajib Pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak atau karena sebab-sebab tertentu lainnya serta dalam hal objek pajak yang terkena bencana alam dan juga bagi Wajib Pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan, dapat mengajukan permohonan pengurangan atas pajak terutang.
Khusus untuk Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) yang sudah dialihkan ke Pemerintah Daerah (Kota/Kabupaten), pengurusan untuk pengurangan PBB tidak lagi di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tetapi di Kantor Dinas Pendapatan Kota/kabupaten setempat.

7. Hak untuk pembebasan pajak
Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan atas pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan.

8. Hak pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak
Wajib Pajak yang telah memenuhi kriteria tertentu sebagai Wajib Pajak Patuh dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dalam jangka waktu paling lambat 1 bulan untuk PPN dan 3 bulan untuk PPh sejak tanggal permohonan.

9. Hak untuk mendapatkan pajak ditanggung pemerintah
Dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima oleh kontraktor, konsultan dan supplier utama ditanggung oleh pemerintah.

10. Hak untuk mendapatkan insentif perpajakan
Di bidang PPN, untuk Barang Kena Pajak tertentu atau kegiatan tertentu diberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPN Tidak Dipungut. BKP tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN antara lain Kereta Api, Pesawat Udara, Kapal Laut, Buku-buku, perlengkapan TNI/POLRI yang diimpor maupun yang penyerahannya di dalam daerah pabean oleh Wajib Pajak tertentu. Perusahaan yang melakukan kegiatan di kawasan tertentu seperti Kawasan Berikat mendapat fasilitas PPN Tidak Dipungut antara lain atas impor dan perolehan bahan baku.

Jadi, keseimbangan sebenarnya terjadi (baik di tingkat pusat maupun pemerintah daerah). Tidak hanya harus merogoh kocek guna membayar pajak, namun sejumlah fasilitas bisa kita terima sebagai wajib pajak. ***

Memiskinkan Pelaku Pidana Pajak

Kita bisa berkaca dari kasus Gayus Tambunan, oknum pelaku pidana perpajakan. Meski sudah dijatuhi hukuman penjara berat, namun dirinya tidak langsung jatuh miskin sehingga tetap leluasa.
Gayus Tambunan yang meski pegawai golongan staff bisa menghamburkan puluhan miliar rupiah untuk menyuap para penegak hukum agar luput dari jerat hukum.
Malahan kendati ditahan, terdakwa  masih sanggup menggelontorkan ratusan juta sebagai upeti kepada para penjaga rutan, sehingga dia bisa keluar masuk rutan, termasuk menonton tenis di Bali.
Ini banyak terjadi dipicu fakta kerap kali tuntutan pidana maupun vonis majelis hakim lebih ringan dari hukuman maksimal yang dicantumkan dalam undang-undang.
Menghadapi situasi yang cukup pelik ini, mencuatlah usulan agar efek jera terasa benar kepada publik yakni memiskinkan terdakwa atau terpidana kasus pidana perpajakan.
Ide itu bukanlah sesuatu yang baru, karena peraturan perundang-undangan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi perpajakan memuat rumusan hukuman berupa kewajiban membayar uang pengganti.
Sanksi di luar hukuman penjara itu berupa keharusan bagi terpidana membayar sejumlah uang yang besarnya sama dengan dana yang diduga dikorupsi. Termasuk di dalamnya adalah kewajiban membayar denda.
Hal ini dirasa wajar karena kalau dilihat dari sisi kekayaannya pun, pelaku tindak pidana pajak bukan berasal dari masyarakat miskin. Jadi, usulan ini tidaklah berlebihan atau emosional.
Terlebih, pelaku tindak pidana pajak bisa dimiskinkan (tanpa melihat pelakunya penyelenggara Negara atau bukan) karena adanya kuasa dari Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (UU KUP).
Berdasarkan UU KUP Pasal Pasal 39A huruf a bahwa Setiap orang yang dengan sengaja menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
Kalaulah sekarang usulan pemiskinan ini memang belum sepenuhnya terealisasi, maka harus diakui jika atensi seluruh pihak (termasuk keseluruhan aparat hukum) terhadap isu ini belum demikian kuat.
Jadi, sebagai penutup, perlu kemauan kuat dan dukungan publik masif supaya agar pelaku tindak pidana pajak dapat maksimal dihukum 6 tahun dan denda 6 kali dari jumlah uang yang dicuri.
Dengan penerapan pasal yang bisa memiskinkan ini, maka calon pelaku tindak pidana pajak lainnya akan berpikir ulang sebelum memulai kejahatannya, sehingga uang penerimaan pajak ke negara bisa terus meningkat. **

Kejahatan Pajak yang Sama Merusaknya

Belakangan ini, sorotan terhadap kasus korupsi kian kental saja. Terutama ketika kita menyebut rekening gendut, alias rekening sejumlah pejabat negara yang diduga dari sumber yang tidak jelas.
Kejahatan korupsi uang negara, baik dilakukan perorangan ataupun berjamaah, makin hari makin masif. Mulai dari oknum menteri, hakim, jaksa, polisi, gubernur, bupati/walikota, hingga masyarakat biasa terbelit kasus tersebut.
Kondisi ini memang memprihatinkan, bagaimana uang pengeluaran negara dan atau gratifikasi terkait, menjadi lahan bancakan banyak orang, sehingga kualitas pembangunan otomatis menurun.
Namun ada yang tak kalah memprihatinkan, dan sedikit terabaikan, yakni kejahatan perpajakan. Aktivitas ini tak kalah merusak bangsa, karena uang pemasukan negara juga digarong dengan berbagai cara.
Contoh yang terbesar di skala nasional adalah ketika Bareskrim Polri dan Dirjen Pajak menggerebek pelaku tindak pidana penerbit Faktur Pajak pada 28 Oktober 2014 dengan total kerugian negara ditaksir Rp 25 milyar.
Di saat seluruh elemen pemerintah berusaha mengejar kenaikan target pajak atau berusaha mempertahankannya, di belahan lain terjadi polah segenlintir orang yang berbuat tidak jujur dan destruktif.
Modus pelaku Oktober lalu adalah pelaku penerbit dan pengguna Faktur Pajak Fiktif adalah merekayasa Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Misalkan seharusnya membayar ke kas Negara kalau dihitung dengan benar Rp 10 Milyar, namun dengan mengkreditkan Faktur Pajak Fiktif maka jadi Rp 400 juta saja.
Sistem perhitungan PPN mengenal adanya pengenaan PPN untuk setiap transaksi. Ketika menjual barang dikenakan PPN 10% (istilahnya Pajak Keluaran) dan ketika membeli barang dikenakan PPN 10% (Pajak Masukan). Baik Pajak Keluaran maupun Pajak Masukan adalah cerminan usaha sebenarnya.
PPN yang terhutang adalah selisih Pajak Keluaran dikurangi Pajak Masukan. Namun pelaku tindak pidana pajak, melihat ada peluang mengada-adakan Faktur Pajak Masukan Palsu untuk mengurangi PPN terhutang yang harus dibayar ke kas Negara.
Apapun itu, sekali lagi, pelaku tindak pidana pajak sejatinya sama jahatnya dengan pelaku tindak pidana uang negara. Jika selama ini yang ditangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencuri uang negara di sisi pos pengeluaran, maka kejahatan pajak mencuri pada pos (potensi) pendapatan.
Namun tetap saja, keduanya sama jahatnya karena merusak hajat hidup masyarakat banyak. Kesamaan lainnya adalah keduanya juga jahat karena mereka berbuat jahat karena tahu selahnya.
Alias…orang pintar yang tahu seluk beluk, sehingga mereka manfaatkan pengetahuan mereka untuk berbuat tidak benar. Pelaku tindak pidana pajak bukanlah orang bodoh, mereka perlu belajar dan menimba pengalaman berinteraksi dengan sistem administrasi perpajakan, sehingga punya pemahaman cara menjual Faktur Pajak Fiktif.
Untuk itulah, sekiranya perlu dilakukan upaya edukasi ke publik bahwa mengakali pajak tak ada bedanya dengan para pelaku korupsi oleh KPK yang kerap kita lihat beritanya di media massa.
Masyarakat seharusnya tidak perlu tergiur dengan berbagai tawaran merekayasa nilai pajak. Selain cepat atau lambat pasti ketahuan, rekayasa ini juga merugikan banyak pihak, termasuk para pelakunya yang terancama kehilangan kebebasan karena bisa dikurung penjara.
Mari budayakan pemahaman, bahwa rekayasa apapun (baik dari sisi pendapatan maupun pengeluaran negara) adalah praktik tidak terpuji yang bisa menjerumuskan diri sendiri ke dalam banyak kerugian.
Jangan karena merasa perhatian aparat tak sebesar dalam kasus korupsi umum, maka kita berbuat seenaknya dengan merekayasa pajak. Ingatlah! Jika kita mencoba merekayasa pajak dan disidik pidana, kelurga kita yang pertama dirugikan! ***

Dispenda Jabar dan Program E-Govt Jokowi

Kita semua rasanya masih ingat, betapa gagasan pemerintah elektronik (electronic goverment/e-govt), telah disuarakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) jauh sebelum dirinya dilantik sebagai Presiden ke-7 Republik Indonesia.

Bahkan salah satu yang paling dikenal soal ini adalah manakala Jokowi dalam debat kampanye tahun lalu menyebutkan peranti lunak bisa menyelesaikan banyak problem pelayanan pemerintahan dan bisa dibuat cukup dua minggu.

Nah, setelah lebih dari 100 hari menjabat, spirit Presiden Jokowi terkait e-govt ini rasanya masih menggelora. Salah satunya adalah intruksi yang diberikan kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI Yuddy Chrisnandi.

Dalam berbagai kesempatan, Yuddi menenekankan pentingnya penguatan e-govt
yang sudah dilakukan oleh jajarannya, baik pada level pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.

Memang belum ada gebrakan baru yang luar biasa, namun terasa benar niatan pemerintah sekarang untuk berbenah. Ini keniscayaan, manakala tuntutan publik kian besar untuk pelayanan pemerintah yang praktis, efektif, dan memasyarakat, kian membesar.

Apabila tuntutan publik ini tidak segera diakomodir, maka akan menimbulkan ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah, bahkan jika terus dibiarkan, bisa juga menjalar pada tingkat kepercayaan ke Presiden Jokowi itu sendiri.

Oleh karena itu, sambung Yudi, memangkas jalur birokrasi yang berbelit-belit adalah misi kerjanya. Selain untuk mengurangi biaya-biaya yang tidak diperlukan, juga untuk memenuhi ekspektasi publik.

Karenanya, ketika meresmikan layanan e-Samsat dari Pemprov Jabar beberapa waktu lalu di Bandung, Menpan bertekad menduplikasi e-Samsat agar bisa diterapkan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia.

Bagi Menpan, terobosan dari Dispenda ini amat layak ditiru manakala problematika perkotaan, terutama terkait masalah kemacetan, terus mendera di berbagi kota besar di Indonesia.

Sekalipun demikian, ada tiga poin penting terkait e-govt ini, khususnya bagi lingkungan kami sendiri di Dispenda Jabar dan umumnya bagi seluruh pemerintah daerah di Jawa Barat.

Pertama, mulai sekarang dan seterusnya, e-govt jangan selalu diterjemahkan sebagai kehadiran situs/laman semata. Bagaimanapun, e-govt adalah pemutakhiran dari cara kerja pemerintah itu sendiri.

Artinya, seluruh layanan kepada rakyat, yang biasanya manual, maka dibuat menjadi digital dengan penekanan efisiensi biaya dan waktu serta kecepatan pelayanan yang tinggi.

Disinilah proses e-services (pelayanan elektronik) terjadi seperti dicontohkan sangat kuat oleh E-Samsat.

Selain itu, bisa diterapkan antara lain dalam bentuk otomasi proses pemerintahan, pertukaran dokumen secara elektronik, pemantauan dan manajemen kesehatan umum, formulir pemerintah yang dapat diunduh, aplikasi STNK-SIM-Paspor-KTP secara online, dan banyak lagi.

Dari e-government ini dipercaya akan melahirkan pemerintahan yang merangkul semua pihak yakni pemerintah itu sendiri, kalangan bisnis, dan masyarakat. Hal ini sudah banyak dicontohkan di berbagai negara maju.

Kedua, kita harus selalu ingat bahwa dengan sistem elektronik, otomatis resiko keamanan akan muncul. Prinsip teknologi informasi yang terintegrasi dalam jejaring, sentralisasi, bisa ditelusuri, sekaligus transparan, maka sekalinya ada resiko yang tidak dikelola dengan baik, maka bisa rusak sekaligus.

Karenanya, sistem pertahanan harus dibuat kuat sejak dini, sehingga tidak ada celah. Kita harus selalu ingat, seperti dipublikasikan Akamai, Indonesia adalah negara sumber serangan sekaligus target tinggi dalam cyber attack!

Tapi kita pun ingat, bahwa sudah memiliki lembaga yang mampu membuat sistem yang baik yakni Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg), yang kapasitasnya bisa mencegah dan menangkal masuknya peretas yang merugikan.

Hal lain yang penting adalah penguatan regulasi, dimana setelah UU ITE, pemerintah melalui Kementerian Kominfo juga sudah mengusulkan pembuatan UU tentang Perlindungan Data Pribadi.

Dasar pertimbangannya, data pribadi saja sangat penting apalagi dokumen negara. UU ini sudah selesai dibuatkan naskah akademik dan segera disampaikan ke DPR RI untuk didaftarkan dalam program prioritas legislasi nasional (Prolegnas) 2015.

Dan terakhir, e-govt sebagai bidang baru, memiliki potensi disalahartikan. Jadi, proses pengadaan barang dan jasa terkait pemerintah digital ini belum tentu difahami dengan benar karena masih bidang baru.

Apa dan bagaimana server, mengapa bea pengembangan peranti lunak harus mahal, seperti apa mekanisme pembayaran bandwith, dst, adalah terminologi anyar yang belum tentu difahami aparat hukum.

Karena itulah, proses pengadaan yang benar, bersih, dan rapih, menjadi keharusan sejak awal sehingga kelak tidak akan ramai kendala hukum yang akhirnya malah menghambat lajue-govt.

Sudah biasanya jika niat baik belum tentu semuanya ditafsirkan dengan baik, malah kadang dicurigai sehingga merugikan semua. Apapun itu, e-govt seperti dilakukan Dispenda harus terus diperluas guna memenuhi hak masyarakat Indonesia. **

Memproyeksikan Pajak dari Maritim Jawa Barat

Kita ketahui bersama, sejak kampanye hingga akhirnya terpilih dan bekerja pada bulan-bulan awal sekarang, Presoden Jokowi –dengan antara lain dibantu Mentri Kelautan Susi Pujiastuti– sangat intens dalam program maritim.

Jokowi menyadari, sebagai negara maritim yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia, upaya menjadikan semboyan “Jalasveva Jayamahe” (Di Lautan Kita Jaya) sangat tercermin dalam pelbagai program kerjanya.

Kesadaran memandang laut sebagai bagian sangat penting dalam eksistensi nasional di segala sektor, sekaligus menjadi simbol pemersatu bangsa telah menjadi pemahaman bersama pada saat ini.

Kita melihat, pemerintahan Jokowi-JK konsisten menempatkan program konektivitas laut sebagai salah satu strategi dalam menggali pemasukan bagi masyarakat dan pemerintah khususnya.

Hal ini relevan dengan kondisi Jawa Barat. Secara geografis, kita berbatasan dengan banyak samudera, dimana Jawa Barat berbatasan dengan Laut Jawa dan Propinsi DKI Jakarta di sebelah utara.

Juga, Samudera Indonesia di sebelah selatan, Propinsi Banten di sebelah Barat, dan Propinsi Jawa Tengah di sebelah timur. Jadi, dua dari empat zona perbatasan ada di lautan.

Memang, provinsi ini lebih kental dengan busur kepulauan gunung api, baik aktif maupun mati. Sebagai satu bagian dari lempeng sabuk gunung api, bentangannya mulai dari ujung utara Pulau Sumatera hingga ujung utara Pulau Sulawesi.

Terdapat beberapa gunung api aktif seperti Gunung Ciremai (3078 m/dpl); Gunung Gede (2958 m/dpl); Gunung Galunggung (2.618 m/dpl) dan Gunung Tangkuban Parahu (2.084 m/dpl).

Namun sektor maritim tak kalah besar. Dari aliran sungai saja, ada Sungai Citarum (268 Km); Sungai Cimanuk (258,4 Km); Sungai Cidurian (181,5 Km), Sungai Cipunegara (148 Km); Sungai Ciujung (147,2 Km); Sungai Cisadane (144 Km); Sungai Citanduy (130 Km); dan Sungai Ciliwung (118,5 Km).

Beberapa danau atau dalam bahasa Sunda disebut situ banyak terhampar dan menghiasi daratan Jawa Barat baik yang merupakan danau alami yang terjadi karena proses alami maupun danau buatan yang merupakan buatan manusia.

Danau-danau tersebut diantaranya Situ bagendit di Garut; Situ Gede di Tasikmalaya; Situ Panjalu di Ciamis; Danau jatiluhur di Purwakarta; Waduk darma di Kuningan; Waduk Rentang di Indramayu; Situ Cileunca di Pengalengan Bandung; Situ Patenggang di Ciwidey; Situ Lembang di Lembang Bandung.

Maka berbicara laut, kita bisa bicara di wilayah pantai utara maupun selatan.
Mengacu data pemprovjabar.go.id, kedua wilayah itu memiliki potensi ikan, kerang, mutiara, udang, rumput laut, dll.

Selain kekayaan konvensional, ternyata wilayah pantai yang demikian membentang luas dan panjang ini memiliki potensi listrik energi ombak dan atau gelombang dan angin.

Persoalannya adalah akses ke potensi lautan ini, terutama di kawasan selatan, belum begitu baik. Padahal jalan ini yang dapat memperlancar arus barang yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.

Jadi, isu strategisnya, program maritim Presiden Jokowi menemui kendala klasik yakni akses jalan yang belum merata dengan baik, sehingga program percepatan maritim menemui kendala awal.

Akan tetapi, hal ini bukanlah tembok besar penghalang. Kita ingat bahwa yang utama dari program maritim ini adalah tol laut yang menekankan pembangunan infrastruktur dan revitalisasi pelabuhan.

Terjadi perubahan paradigma dari land oriented menjadi maritime oriented, dimana ketersambungan potensi ekonomi tak dominan pada jalan darat namun pada akses laut yang memang lebih powerfull.

Sekiranya tol laut ini terbangun, tentunya akan banyak potensi pajak yang dapat digali melalui penggalian potensi berbagai sektor seperti sektor pembangunan infrastruktur pelabuhan, pembangkit listrik dan industri pendukung lainnya .

Proyek mega besar tol laut akan mengundang banyak investor berinvestasi di Indonesia serta dapat mendorong pertumbuhan di banyak sektor industri seperti logistik, perkapalan dan industri lainnya.

Dengan sendirinya, proyek ini diharapkan dapat menciptakan efek pengganda bagi perekonomian Indonesia yang diharapakan dapat berkontribusi terhadap penerimaan pajak.

Sektor lain yang terkait dengan keberadaan tol laut adalah pariwisata berbasis bahari yang menjadi daya tarik indonesia, dan akan menambah daya tarik ini sekiranya koneksi semua laut sudah ada.

Diperkirakan ada 20 juta wisatawan akan berkunjung, sebagian dari mereka melalui laut ini, sehingga ada banyak peluang baru perpajakan dari implementasi program maritim tersebut.

Jadi, melihat besarnya potensi pajak dari sektor kemarintiman, termasuk di Jawa Barat, maka tugas kita bersama untuk menyatukan langkah dan optimisme guna terus menggali potensi penerimaan pajak lebih baik. ***

Singkirkan dan Jauhkan dari Parasit

Dalam komunitas apapun, lingkungan dimanapun, sekalipun yang berbasis agama, rasanya selalu ada golongan oportunis. Maunya enak sendiri, tapi tidaklah mau berkorban untuk sesamanya.

Dalam istilah ilmiah, golongan manusia/kelompok semacam ini kerap disebut free rider. Terjemah bebasnya adalah penumpang gelap. Atau, dalam bahasa pasarannya, biasa kita sebut parasit.

Meskipun bukan hewan atau mikroba, namun sifat parasitnya membuat analoginya hampir sama. Meski manusia secara fisik, namun sifatnya tak jauh beda dengan hama yang menyusahkan yang ditumpanginya.

Dalam konteks perpajakan, free rider adalah mereka pihak yang tidak turut serta berkontribusi dalam membangun negara tetapi ikut menikmati hasilnya. Spesifiknya adalah mereka yang enggan/tidak mau membayar pajak.

Mereka malas menunaikan kewajiban, tapi dalam waktu bersamaan mereka juga menikmati hasil dari penghimpunan pajak. Mereka bahkan berkomentar keras, juga nyinyir soal negara, tapi enggan berkontribusi.

Padahal, jalan yang kita lewati setiap hari di Jawa Barat (termasuk 27 kota/kabupaten di dalamnya) adalah seluruhnya hasil penghimpunan pajak yang salahsatunya dilakukan Dispenda Provinsi/Kabupaten.

Mereka yang pernah duduk di bangku sekolah, terutama negeri, adalah mereka yang peroleh manfaat langsung dari sebaran pajak yang kita bayarkan untuk dinikmati oleh sesama kita juga.

Bensin atau solar, yang kita beli masih relatif terjangkau hari ini (rata-rata dinaikkan Rp2.000 per liter), sesungguhnya hasil subsidi yang antara lain bersumber dari pajak yang kita bayarkan.

Pelayanan pemerintah yang terus berbenah, misalnya Dispenda Jabar menawarkan e-Samsat yang meringankan masyarakat, juga mungkin terjadi karena pajak yang dikumpulkan melahirkan inovasi-inovasi.

Bagaimana dengan puskesmas? Saudara kita yang kurang beruntung masih bisa peroleh layanan gratis –kalaupun bayar tidak terlalu mahal, semuanya juga terjadi karena ada subsidi silang bersumber dari pajak dari kita semua.

Hingga adanya rasanya nyaman karena jaminan keamanan dari polisi dan tentara yang setia bertugas, hanyalah mungkin karena aparat ini juga bekerja nyaman dengan dana operasional yang antara lain berasal dari pajak.

Oleh karenanya, apakah kita rela jika setiap bulannya ada penghasilan kita dipotong pajak (bagi yang jadi karyawan) atau tiap transaksi dipotong pajak (bagi usahawan), tapi masih ada sekitar kita yang berlaku parasit?

Apakah mau kita jungkir balik banting tulang bekerja, namun di saat bersamaan, banyak pihak-pihak sekeliling menjadi free rider yang tanpa rasa bersalah hidup di Indonesia tanpa mau membantu sesamanya melalui pajak?

Bahkan, si parasit yang penumpang gelap ini tanpa malu dan sungkan kerap menjelek-jelekkan negeri tercinta, sekaligus memprovokasi sekelilingnya berlaku serupa untuk tidak taat pajak namun tetap menikmati negeri.

Mereka minum dari air tanah Indonesia, makan dari hasil kekayaan alam negeri, menghirup udara Khatulistiwa, hingga memanfaatkan fasilitas publik di tanah air tanpa mau ikut berkontribusi memeliharanya!

Karena itulah, mari kita persuasi lingkungan sekitar. Mari pengaruhi kolega dan tetangga, agar malu menjadi orang Indonesia yang tinggal di negeri ini tetapi menolak membayar pajak untuk kepentingan bersama.

Kita gugah lingkungan kita, betapa para pejuang kemerdekaan pun berkorban banyak untuk bisa tinggal dan mempertahankan kebebasan bangsa ini. Seluruhnya hasil darah dan airmata!

Mereka rela mengorbankan nyawanya demi kehidupan anak cucu mereka yang lebih baik di masa yang akan datang. Lalu setelah republik ini berdiri akankah kita menelantarkannya?

Mari kita bangun negara ini bersama-sama, sekecil apapun kontribusi kita menunaikan pajak, pastilah sangat berarti bagi Sang Saka Merah Putih. Ayo, kita jauhkan sifat parasit, hindari prilaku free rider! ***

Peluang Besar Penghimpunan dalam E-Commerce

Selalu menarik berkisah tentang perdagangan daring, alias electronic commerce (e-commerce) di negeri ini. Sebagai sebuah negara tergolong early adopter, e-commerce demikian dahsyat di Indonesia.
Dan, sebagaimana kita fahami bersama, roda ekonomi besar ini dengan sendirinya akan menyangkut nilai pajak signifikan. Terkecuali Anda bukan warga yang baik, aktivitas ekonomi selalu terkait pendapatan bagi negara.
Kita awali dengan data penggunanya. Menurut CEO iPaymu, Pikukuh Tutuko, Indonesia kini merupakan pangsa pasar e-commerceterbesar dunia. Ini imbas pengguna aktif internet 2014 sebesar 90 juta dan tahun depan sekira 135 juta.
Data lain dari Nielsen menyebutkan, pengguna smartphone di Indonesia terus meningkat dan tahun ini akan menembus angka 28-30% dari total pemilik ponsel di Indonesia.
Saat ini, pengguna smartphone di Indonesia baru mencapai 23% dari total pengguna ponsel. Pengguna smartphone tahun 2013 meningkat dari tahun 2012 yang menembus angka 19%.
Lantas, seperti dilansir Nielsen ODM pada Februari 2014, 70% pengguna smartphone menggunakan Facebook sebagai jejaring sosial favorit mereka, diikuti Twitter (36%) dan Google+ (11%).
Netizen, kepanjangan internet citizen, alias warga internet yang gunakan minimal 3 jam sehari ada 36 juta orang di Indonesia. Dari jumlah itu, pembeli online sekitar 7 juta orang atau hampir 20% dari total netizen.
Diperkirakan, nilai pasar dari e-commerce di negeri sudah mencapai Rp.96 triliun tahun 2013 dan kemungkinan akan meningkat 288 triliun pada tahun 2014 ini.
Di sisi lain, pengusaha kecil menegah di Indonesia hingga akhir 2013 ada sekitar 56 juta. 5 juta diantaranya telah menyiapkan akses dan membangun infrastruktur e-commerce.
Dengan melihat aneka statistik ini, terdapat potensi besar karena pengguna e-commerce tertarik pakai jika biayanya lebih murah dan akan kembali gunakan jika mendapat kenyamanan dari penggunaan e-commerce tersebut. Alasan motivasi lain adalah hemat waktu dan hemat biaya.
Sementara hambatannya adalah 68% merasa barang yang diterima secara online tidak bagus dan 32% kuatir akan keamanan transaksinya.
Dalam hal sikap, kepercayaan publih masih rendah terhadap online shopping. Rata- rata pembeli online hanya bertransaksi antara Rp. 100.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000.- saja. Situasi ini diyakini bakal banyak berubah apabila usaha kecil menengah (UKM) makin banyak terjun menggunakan perdagangan daring.
Pun demikian, jika mengacu data Dirjen Pajak, baru segelintir pelaku e- commerce yang sudah memiliki NPWP. Data per Agustus 2014, ada 1.600 sampling pelaku e-commerce, 600 belum teridentifikasikan dan 1.000 sudah teridentifikasikan.
Dari 1.000 itu baru 620 yang sudah memiliki NPWP. Yang sudah memiliki NPWP sebagian besar sudah melapor tapi tidak tahu apakah yang sudah dilaporkannya itu sudah sesuai fakta yang terjadi pada saat bertransaksi.
Kondisi di lapangan ini tak membuat regulasi terlupakan. Sebab, pada Desember 2013, sudah dirilis SE-62/PJ/2013 yang menegaskan bahwa ketentuan perpajakan perdagangan daring itu sama mulai dari mendaftar, menghitung, membayar, dan melapor.
Misalmya untuk Pajak Penghasilan, objek pajaknya adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Untuk Pajak Pertambahan Nilai berupa penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah pabean; impor Barang Kena Pajak Pemanfaatan baran Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatna Jasa Kena Pajak dari luar Daerah pabean di dalam Daerah Pabean; dan Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Untuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah berupa penyerahan dan impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
Dengan situasi demikian, baik bagi pelaku usaha daring maupun konsumennya di Jawa Barat, tidak ada pengecualian apalagi keistimewaan terkait ini transaksi di dunia maya ini.
Jangan pernah berpikir karena ini mediumnya baru dan relatif tidak kasat mata, maka kita bisa tipu daya semua pihak. Sepatutnya, jika kita sadar arti penting pajak bagi pembangunan, apapun mediumnya, tetaplah patuh bayar pajak! ***