Memilih Optimistis di Balik Tantangan

Tahun ini, target pendapatan dalam APBD Pemprov Jabar 2015 menembus angka Rp22 triliun. Sebuah numerik fantastis bila mengingat angka ini naik 11,17% dibandingkan target pendapatan dalam APBD 2014.

Pendapatan riil berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang banyak ditopang oleh pajak daerah yang dihimpun Dispenda Prov. Jabar, yang diproyeksikan mencapai Rp 15,38 triliun atau meningkat 18,01% dari tahun sebelumnya.

Kemudian Dana Perimbangan diperkirakan mencapai Rp 2,7 Triliun lebih atau turun sebesar Rp 118,28 Milyar lebih. Serta Pendapatan Daerah lainnya yang sah mengalami penurunan sebesar Rp 4,8 Milyar lebih atau turun 0,12%.

Lantas, ciutkah kita dengan angka sebesar itu? Bagaimanapun, bilangan diatas hanyalah kumpulan angka, tak perlu cemas, apalagi menyerah. Apa bedanya 22, 32, atau 42? Ini hanyalah tentang bagaimana kita hadapi ini semua dengan kesadaran jiwa serta kekuatan keyakinan.

Kita tahu, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Kita tahu di balik pelbagai targetan dahsyat ini, maka kita harus bekerja keras dan cerdas, bukan hanya sebesar satu/dua kali, melainkan harus 4 kali lipat dari biasanya.

Mengapa? Kita melihat dulu makronya. Di tingkat nasional, pertumbuhan penerimaan nasional dari tahun 2012-2014 hanya berkisar 9,6% namun Dirjen Pajak tahun ini dipatok target pendapatan Rp1.296 triliun atau naik 31,55%.

Maka itu, jika Jabar pun harus menggenjot tinggi, ini sesuatu yang tak berlebihan. Bahkan, boleh jadi dalam kurun waktu 3 hingga 5 tahun ke depan, potensi penerimaan pajak di Jabar sudah dipatok minimal Rp100 triliun dan Indonesia lebih dari Rp 2000 triliun per tahun. Namun yakinlah, angka tersebut bukan merupakan sesuatu yang ajaib, apalagi jadi-jadian.

Ini wajar karena masih banyak segudang potensi perpajakan yang masih belum bisa dioptimalkan. Sebagai negara besar, dibandingkan dengan negara lain, penerimaan pajak di Indonesia masih tergolong sangat luas peluangnya.

Memang banyak sekali faktor yang mempengaruhi proporsionalitas penerimaan ini, namun mengapa kita tidak bisa disaat negara lain bisa? Itulah pekerjaan rumah kita bersama sekarang. Di negara maju, potensi penerimaan pajak dari orang pribadi lebih besar dibandingkan potensi penerimaan pajak dari Badan.

Hal ini tentunya bertolak belakang dengan apa yang terjadi di Jabar khususnya dan Indonesia pada umumnya. Dengan jumlah wajib pajak orang pribadi yang begitu besar, namun justru potensi yang bisa digali malah justru sedikit. Untuk beberapa tahun mendatang, mungkin inilah saatnya kita mulai beralih domain utama di bidang perpajakan.

Mulai kejarlah aset-aset para pengemplang pajak. Selanjutnya, terkait dengan peraturan perpajakan, di negara tetangga menganut asas flexibilitas. Jadi tarif pengenaan terhadap segala aspek perpajakan itu masih dimungkinkan berubah. Besarnya tarif perpajakan di tahun berjalan masih bisa naik atau malah turun. Hal ini tentunya disesuaikan keadaan perekonomian di dalam negeri dan faktor lain yang mempengaruhi.

Memang pemberlakuan peraturan semacam ini akan sedikit banyak menguras energi kita. Tapi jika itu baik untuk negeri ini, mengapa tidak kita lakukan?

Terakhir, strategi pemasaran yang gencar perlu ditanamkan ke dalam benak masyarakat Indonesia. Meskipun manfaat yang diberikan tidak secara langsung, namun Pajak lah yang membuat negara tetap hidup. Masyarakat perlu mencintai Pajak layaknya mereka mencintai KPK. Pajak harus mendapatkan pengakuan terbesar dari masyarakat sendiri.

Ciptakanlah cara-cara persuasif yang mengena di hati. Kegagalan demi kegagalan dimasa lalu bukan merupakan penghalang, belajar dan bakarlah ketakutanmu akan kegagalan.

Jadi, apakah tugas mulia ini merupakan sebuah misi yang mustahil? Kita optimis, setidaknya jalan terbuka. Jika pesimistis, jangankan target, melangkah pun sulit benar. Kita pastinya memilih yang optimistis. Semangat! (***)