Selanjutnya Setelah E-Samsat

Ada hal yang penting setelah melahirkan. Jika ditamsilkan pada manusia, tugas selanjutnya tak kalah berat dan lebih penting adalah memastikan sang bayi tumbuh sehat, kuat, hingga akhirnnya mandiri dengan baik dan lurus.

Maka, analogi serupa terjadi pada E-Samsat yang dirilis Dispenda Provinsi Jabar pada 22 November lalu. Bahwa proses melahirkan yang tak mudah dan berliku, akhirnya sudah dilalui pula. Bahkan menjadi pionir di Indonesia!

Maka selanjutnya adalah membuatnya kuat dan akhirnya menumbuhkembangkan menjadi lebih luas, menyebar, dan memberikan faedah lebih banyak. Nah, sebelum kesana, baiknya kita melihat dulu posisi hari ini.

Menurut Guru Besar Teknologi Informasi ITB Prof. Dr. Ir. Suhono Harso Supangkat, M. Eng.CGEIT, sebuah aplikasi sebagai penunjang konsep smart city, memiliki tiga level kematangan.

Pertama, Smart Economy City, yakni ketika kota ditopang perekonomian yang baik dengan memaksimalkan sumber daya/potensi kota. Kota didukung layanan TIK , tata kelola dan peran SDM (people) yang baik.

Kedua, Smart Social City, yakni ketika masyarakat memiliki keamanan, kemudahan dan kenyamanan dalam melakukan interaksi sosial dengan sesama masyarakat ataupun dengan pemerintah . Interaksi sosial didukung layanan TIK , tata kelola dan peran SDM (people) yang baik.

Dan terakhir adalah Smart Environment City, yakni masyarakat memiliki tempat tinggal yang sehat, hemat dalam penggunaan energi serta pengelolaan energi dengan didukung layanan TIK , tata kelola dan peran SDM (people) yang baik.

Maka, dengan melihat kriteria ini, maka rasanya E-Samsat baru sampai pada tahap pertama di atas. Oleh karenanya, masih diperlukan segala upaya dan strategi agar meningkat kepada kematangan tahap dua dan tiga.

Hal ini dirasa bukan sesuatu yang sangat sulit. Sebab, fondasi di tahap pertama (berupa e-payment), terutama jika melihat prilaku pembayaran masyarakat perkotaan, sudah demikian kuat dan bergantung pada pembayaran elektronik.

Penggunaan pembayaran elektronik telah menjadi bagian dari kehidupan sehari hari. Kartu kredit dan kartu debit bukan lagi alat mewah, tapi sudah menjadi alternatif pembayaran yang banyak digunakan selain pembayaran tunai.

Bank Indonesia mencatat pertumbuhan penggunaan uang elektronik mencapai 5000% dalam kurun waktu tersebut. Hal ini menunjukkan kecenderungan yang cukup baik dalam penggunaan pembayaran elektronik.

Kemudahan dan kenyamanan pembayaran elektronik menjadi alasan maraknya penggunaan pembayaran elektronik. Selain kedua pilihan tersebut, masyarakat dapat menggunakan berbagai alternatif pembayaran elektronik seperti payment gateway, uang elektronik, atau internet banking.

Namun faktanya, penggunaan pembayaran belum mencapai tingkat masif. Di Indonesia, masyarakat masih menggunakan uang tunai sebagai media pembayaran utama.

Untuk itulah, agar level kematangan pertama kian kuat sehingga mendorong level kedua dan ketiga, maka budaya cashless (non-tunai) masih harus ditumbuhkan dengan menanamkan gambaran pembayaran elektronik adalah kemudahan bukan kemewahan.
Masyarakat masih harus tidak boleh diedukasi mengenai pembayaran elektronik.

Dalam 5 tahun, dari 2007 hingga 2013, pembayaran elektronik mulai mendapatkan momentum yang cukup baik dengan dikenalkannya uang elektronik di Indonesia. Namun ini saja tidak cukup.

Untuk dapat meningkatkan penggunaan pembayaran elektronik dibutuhkan tingkat kepercayaan yang tinggi dari masyarakat akan metode pembayaran ini.

Hal ini dapat dicapai, salah satunya, dengan kepastian identitas pengguna transaksi elektronik (penerima dan pemberi).

Kepastian identitas dalam dunia digital adalah hal yang cukup pelik namun sangat mendasar. Untuk memastikan identitas seseorang dalam dunia digital dengan tingkat kepastian yang cukup tinggi, dibutuhkan daya upaya cukup besar.

Dalam konsep smart city, penggunaan pembayaran elektronik dan kepastian identitas digital menjadi suatu keharusan. Kota cerdas melibatkan penggunaan TIK sebagai bagian solusi masalah perkotaan.

Smart payment bertujuan mencari penyempurnaan kedua hal tersebut.

Pembayaran elektronik menjadi tujuan utama. Namun, tanpa identitas digital yang baik dan dapat diimplementasi, tidak ada pembayaran elektronik yang dapat berjalan baik. Jika hal ini sudah diatasi dengan baik dan kuat, niscaya Smart Social City dan Smart Enviroment City, bisa mudah ada dalam genggaman. ***

Menumbuhkan Ekosistem Inovasi dari E-Samsat

Pada 22 November lalu, sebuah tonggak sejarah pelayanan publik di Jawa Barat terjadi di Bandung, manakala inisiasi Dinas Pendapatan (Dispenda) Provinsi Jabar melahirkan layanan bernama E-Samsat.  

Perpaduan layanan berbasis teknologi informasi komunikasi (TIK), yakni antara pesan singkat/SMS, anjungan tunai mandiri/ATM, dan teknologi perbankan, melahirkan inovasi yang memudahkan masyarakat.
Di titik awal ini, dengan merujuk data geografi, apresiasi layak disematkan kepada Dispenda Provins Jabar. Mengapa? Badan Pusat Statistik pada tahun 2014 ini melansir data, penduduk kota di Indonesia telah mencapai lebih dari 50% dari total populasi penduduk Indonesia.
Jumlah ini cenderung meningkat setipa tahunnya, sehingga diperkirakan jumlah penduduk yang tinggal di daerah urban akan mencapai 67% pada tahun 2035 nanti. Hal ini terjadi karenan naiknya kelahiran dan urbanisasi imbas daya tarik
perkotaan.
Situasi ini lantas menciptakan berbagai permasalahan khas perkotaan, seperti penurunan kualitas pelayanan publik, berkurangnya ketersediaan lahan pemukiman, kemacetan di jalan raya, membengkaknya tingkat konsumsi energi,
penumpukan sampah, peningkatan angka kriminal, dst.
Masalah-masalah ini akan terus bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan semua masalah tersebut tidak dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat jika pemerintah daerah masih memberikan layanan konvensional.
Untuk itulah, sebagai titik awal tadi, Dispenda sudah jelas dan tegas berupaya memberikan terobosan layanan berbasis teknologi informasi yang setidaknya akan banyak mereduksi aneka problem perkotaan tadi.
Jika mengacu Dokumen Umum Ganesha Smart City (2014)  yang disusun Prof. Dr. Ir. Suhono Harso Supangkat, M. Eng. dkk, dengan narasumber utama antara lain Prof. Dr. Ir. Roos Akbar, M.Sc dan Prof. Utomo, maka E-Samsat adalah bentuk nyata dari konsep Smart City.
Kota cerdas adalah yang antara lain menciptakan penerapan dan kolaborasi ekosistem kota, antara lain pemerintah (Dispenda dan Polri), industri (Jasa Raharja dan bJb), maupun masyarakat umum.
Bukan sekedar melakukan bersama, sebab menurut Gruber dalam Zhu et Al (2002), Smart City itu merepresentasikan kemampuan sebuah kota menyediakan layanan terhadap individu/masyarakat untuk bereksplorasi dalam dunia maya dengan kecepatan lingkungan dalam menyediakan informasi yang dibutuhkan tentang kota tersebut.
Jonathan (2006) juga menyebutkan Smart City adalah pengembangan kota berbasis ICT dimana tersedianya informasi dan infrastruktur terintegrasi antara pemerintah daerah dengan komponen bisnis , masyarakat, dan potensi daerah kota tersebut.
Konsep ini sendiri melibatkan 3 (tiga) komponen, yakni teknologi, proses,
dan manusia. Teknologi berperan sebagai enabler yang
mempercepat terjadinya perubahan. TIK adalah salah satu contoh teknologi yang saat ini terbukti dapat memberikan perubahan gaya hidup manusia di dunia. Sementara komponen manusia dibutuhkan karena manusialah penggerak utama perubahan proses dan yang memanfaatkan teknologi tersebut.
Untuk itulah, definisi Smart City mengacu dokumen tersebut adalah: “Pengembangan dan pengelolaan kota dengan pemanfaatan TIK untuk menghubungkan, memonitor, dan mengendalikan berbagai sumber daya yang ada di dalam kota dengan lebih efektif dan efisien guna memaksimalkan pelayanan kepada warganya serta mendukung pembangunan yang berkelanjutan.”
Adapun tujuan akhir kota cerdas ini adalah untuk meyelesaikan
masalah-masalah dan mewujudkan sebuah kota menjadi kota yang sehat, aman,
nyaman, cerdas, bebas macet, punya daya saing, serta berkelanjutan.
Untuk itulah, sekalipun masih perlu waktu pembuktian, E-Samsat adalah bukti nyata implementasi konsep kota cerdas di Tatar Pasundan ini. Spirit kolaborasi TIK demi rakyat sepatutnya menjadi suri tauladan bagi yang lainnya.
Ada dua pemikiran sederhana agar pelayanan publik berbasis TIK ini tidak berhenti oleh Dispenda saja, namun menyebar ke dinas lainnya. Pertama, keinginan terus belajar dan berbenah, terutama ke sektor TIK.
Sebagai abdi negara, sudah seharusnya muncul keinginan terus meningkatkan pelayanan. Dengan peningkatan problematika perkotaan dan jumlah penduduk, tentu saja peningkatan pelayanan tak bisa dengan cara biasa.
TIK adalah cara tidak biasa, tidak konvensional karena menghimpun berbagai hal dalam pemrosesan data sehingga melahirkan kecepatan dan kemampuan mengatasi berbagai batasan eksisting.
Bayangkan jika kita memudahkan pembayaran pajak kendaraan tapi harus bolak-balik ke kepolisian, Jasa Raharja, dan bJb dalam hari yang sama? Namun TIK menerobos itu semua dengan mudah dan sederhana.
Kedua, lahirkan kepimpinan semua lini yang melek TIK. Boleh jadi spirit terobosan seperti Dispenda sudah bersemai di semua dinas, akan tetapi top level belum memiliki pengetahuan dan visi ke arah sana.
Untuk itulah, diperlukan proses pengembangan kapasitas maupun diseminasi informasi yang membuat pucuk pimpinan (di dinas manapun) tergugah bergerak karena tahu banyak benefit yang bisa diraih.
Semoga dua langkah sederhana ini bukan saja membuat E-Samsat memudahkan masyarakat Jabar sejak hari ini dan seterusnya, namun bisa menciptakan ekosistem layanan inovatif berbasis TIK terus bermunculan ke depan. Amin. ***

Siapa Bertangung Jawab Atas Target Pendapatan Jabar 2015?

Pada Rabu, 12 November 2014 lalu, Gubernur Jabar Ahmad Heryawan menyampaikan Nota Pengantar  Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemprov Jabar 2015.
Dalam prakiraan tersebut, pendapatan yang tercantum dalam RAPBD Tahun 2015 mencapai Rp 22,132 Triliun lebih atau naik 11,17% dibanding pendapatan pada APBD 2014.
Pendapatan riil berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang banyak ditopang oleh pajak daerah yang dihimpun Dispenda Prov. Jabar, yang diproyeksikan mencapai Rp 15,38 triliun atau meningkat 18,01% dari tahun sebelumnya.
Kemudian Dana Perimbangan diperkirakan mencapai Rp 2,7 Triliun lebih atau turun sebesar Rp 118,28 Milyar lebih. Serta Pendapatan Daerah lainnya yang sah mengalami penurunan sebesar Rp 4,8 Milyar lebih atau turun 0,12%.
Lalu, siapakah yang bertanggungjawab atas target pendapatan ini? Siapa yang akan mengejar, terutama angka pendapatan riil tersebut? Maka, dalam benak kita semua, rata-rata akan menyebut satu nama: Dispenda!
Sebagaimana target dari APBN, setiap orang di negara ini cenderung mengatakan Direktorat Jenderal Pajak-lah yang paling bertanggung jawab terhadap tercapai/ tidak tercapainya pendapatan.
Maka, kondisi serupa tidaklah jauh berbeda di level pemerintah daerah. Ya benar, pajak merupakan sumber pembiayaan terbesar bagi negara ini dalam menjalankan amanat utama pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Amanat tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Guna mengimplementasikan hal ini, secara prosedural, penghimpun pajak dilindungi regulasi, misalnya UU APBN pada pemerintah pusat serta Perda APBD di level pemerintah daerah.
RUU APBN atau Perda disusun sesuai kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan menghimpun pendapatan negara dalam rangka mendukung terwujudnya perekonomian nasional.
Hal ini didasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
DPR atau DPRD sebagai pemegang kekuasaan untuk membentuk regulasi, selanjutnya melakukan pembahasan RUU bersama Presiden/Gubernur untuk mendapatkan persetujuan bersama.
Jadi, melihat alur seperti ini, memang benar bahwa kendali utama penghimpunan pendapatan ada di eksekutif dan yudikatif. Gubernur dan jajaran pemda serta DPRD lah yang memikul beban tersebut.
Akan tetapi, melihat kondisi sekarang, tantangan ke depan semakin berat bagi semua pihak. Bukan hanya bagi Dispenda Prov. Jabar sebagai salahsatu otoritas perpajakan, namun juga semua pihak terkait.
Mengapa harus semua pihak? Sebab, ditilik dari kacamata apapun, tanggung jawab pembangunan negara ini juga merupakan tanggung jawab semua pihak.Sebut saja Pemprov Jabar sebagai pelaksana APBD, DPR sebagai penyusun APBD sekaligus pengawas terhadapnya jalannya pemerintahan, sementara sektor swasta da masyarakat umum sebagai bagian pelaku bergeraknya perekonomian.
Sektor swasta, baik perorangan maupun badan usaha, dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya pastinya terikat kewajiban dalam hal pembayaran dan pelaporan perpajakan yang menjadi tanggung jawabnya.
Bahkan setiap belanja barang/jasa/modal yang bersumber dari dana APBN/APBD pun terdapat kewajiban melakukan pembayaran dan pelaporan pajak. Jadi, tidak ada kekecualian buat semua pihak!
Dengan menggunakan istilah yang ada di dalam UU APBN, “mendukung terwujudnya perekonomian nasional berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan…”, maka, semua pihak harus ikut memberi kontribusi.
Maka, sumbangsih seluruh pihak menjadi sangat penting di dalam mewujudkan kepatuhan pembayar pajak yang gilirannya akan mendorong tercapainya target pendapatan Rp22,132 triliun tadi. Semoga! ***
mekanisme pembayaran e-samsat jabar

Bagaimana Cara Bayar Pajak Lewat ATM BJB ?

Warga Jawa Barat tidak perlu repot untuk datang ke kantor Samsat guna membayar pajak kendaraannya. Sebab Dinas Pendapatan (Dispenda), Kepolisian, Jasa Raharja dan Bank BJB akan meluncurkan e-Samsat. Selengkapnya

Menuju Layanan Pajak Digital Mumpuni

Apa benda yang saking seringnya digunakan, boleh jadi lebih dekat dibandingkan anak dan istri kita? Siapakah yang sudah terbiasa sebelum tidur dan pertama tidur langsung menyentuh layar sentuh?

Kiranya, pada hari ini, benda yang lebih dekat dan lekat itu antara lain komputer sabak dan ponsel cerdas. Keduanya boleh jadi disentuh lebih intens dibandingkan kita berhubungan dengan keluarga dekat kita! Selengkapnya

Menuju Layanan Pajak Digital Mumpuni

Apa benda yang saking seringnya digunakan, boleh jadi lebih dekat dibandingkan anak dan istri kita? Siapakah yang sudah terbiasa sebelum tidur dan pertama tidur langsung menyentuh layar sentuh?

Kiranya, pada hari ini, benda yang lebih dekat dan lekat itu antara lain komputer sabak dan ponsel cerdas. Keduanya boleh jadi disentuh lebih intens dibandingkan kita berhubungan dengan keluarga dekat kita! Selengkapnya

Yang Terlewatkan dari P2 Pemerintah Pusat dan Daerah

Praktis sejak awal tahun 2014 ini, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor Perdesaan dan Perkotaan (P2) tidak lagi dikelola Direktorat Jenderal Pajak (DJP) namun sudah diserahkan ke daerah.

Hal ini adalah amanat Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) bahwa selambat-lambatnya tahun 2014, pengelolaan pajak PBB sektor P2 dilaksanakan pemerintah kabupaten/kota. Selengkapnya

Pajak Daring yang Sama Saja

Anda pernah mendengar Berniaga.com? Blibli.com? Tokobagus.com (kini berubah menjadi Oxl.co.id? Atau duo toko dalam jaringan (daring/online) luar yang demikian agresif: Lazada.co.id dan Zalora.co.id?

Klo iya pernah mendengar, maka memang internet sudah demikian dekat dan intim dengan kehidupan Anda. Bukan sekedar browsing fitur dasar di Internet, namun juga sudah separuh hidup di dunia maya. Selengkapnya

Kesadaran Perbedaan Negeri Melalui Pajak

Sejak pertama berdiri dalam sebuah wadah kesatuan, baik saat masih diinvasi apalagi setelah merdeka, Nusantara adalah identitas bermacam rupa dan warna yang penuh perbedaan. Sangat kaya dan beragam. Selengkapnya

Membuat Hebat Hanya dengan Hebat

Mulai Senin, 20 Oktober 2014, hadir Presiden ke-7 sepanjang sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan selisih kemenagann 8 juta suara, maka Jokowi adalah sang presiden kita periode 2014-2019. Selengkapnya