Fenomena Pajak di Era MEA 2016

Sebagai bagian dari Masyarakat Internasional, Indonesia telah melakukan kerjasama dan kesepakatan dalam kerangka hubungan bilateral, regional, maupun multilateral. Sebagai salah satu bentuk kerjasama regional, Indonesia sebagai anggota ASEAN telah menyepakati dibentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau dalam bahasa Inggris disebut ASEAN Economic Community (AEC) yang bertujuan untuk menjadikan ASEAN kawasan yang stabil, makmur dan kompetitif. Untuk itu MEA akan mengubah wajah ASEAN menjadi daerah dengan perdagangan bebas atas barang, jasa, investasi, tenaga kerja dan aliran modal.

MEA telah direncanakan untuk dilaksanakan sejak satu dekade yang lalu pada KTT di Kuala Lumpur pada Desember 1997. MEA adalah sebuah integrasi ekonomi ASEAN dalam menghadapi perdagangan bebas antar negara-negara ASEAN. MEA telah disepakati dengan tujuan agar daya saing negara anggota ASEAN mengalami peningkatan serta bisa menyaingi China dan India dalam hal menarik investasi asing. MEA memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain diseluruh Asia Tenggara sehingga kompetisi akan semakin ketat.

Bentuk kerjasama dalam MEA diantaranya:

  1. Pengembangan sumber daya manusia serta peningkatan kapasitas
  2. Pengakuan kualifikasi profesional
  3. Konsultasi lebih dekat pada kebijakan makro ekonomi dan keuangan
  4. Langkah-langkah pembiayaan perdagangan
  5. Meningkatkan infrastruktur
  6. Pengmbangan trasnsaksi elektronik melalui e-ASEAN
  7. Mengintegrasikan industri di seluruh wilayah untuk mempromosikan sumber daerah
  8. Meningkatkan keterlibatan sektor swasta untuk membangung Masyarakat Ekonomi ASEAN

4 karakteristik dasar MEA, yaitu:

  1. Pasar tunggal dan berbasis produksi
  2. Kawasan ekonomi yang kompetitif
  3. Wilayah pembangunan ekonomi yang merata
  4. Daerah terintegrasi penuh dalam ekonomi global

MEA bagaikan pedang bermata dua, memiliki sisi positif dan negatif bagi Indonesia. Sisi positifnya adalah dengan bebasnya arus barang dan jasa di negara anggota ASEAN akan memperluas pemasaran barang dan jasa dari Indonesia ke negara ASEAN lainnya sehingga dapat meningkatkan perekonomian Indonesia. Hal tersebut didukung oleh tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam kisaran 5-6%. Angka tersebut relatif cukup tinggi dan stabil di kawasan ASEAN.

Sisi negatifnya dari diberlakukannya MEA bagi Indonesia adalah konsekuensi penghapusan hambatan tarif dan non tarif diantara negara anggota ASEAN yang berpotensi menurunkan penerimaan pajak. Jenis pajak yang berisiko turun adalah pajak penghasilan (PPh) pasal 22 impor, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) impor. Selain itu, apabila pengusaha tidak bisa bersaing dengan produk dari negara ASEAN lain, penerimaan PPN dalam negeri dan PPh pasal 25/29 juga berpotensi turun akibat menurunnya omzet yang didapat oleh perusahaan.

Menurut pendapat Anda apakah Indonesia sudah siap menghadapi MEA yang telah diberlakukan akhir tahun 2015 lalu?

Rasionalisasi PNS Masih Dalam Tahap Pengkajian

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) akan melakukan rasionalisasi jumlah pegawai negeri sipil (PNS). Caranya adalah dengan mengurangi jumlah PNS yang saat ini mencapai 4,5 juta. Rencana rasionalisasi ini sendiri sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk menciptakan birokrasi pemerintahan berkelas dunia, yakni birokrasi yang bersih dan akuntabel, efektif dan efisien, serta yang memiliki pelayanan publik yang berkualitas.

Kepala Biro Hukum, Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Herman Suryatman, menegaskan “Kementerian PANRB saat ini tengah melakukan pengkajian rasionalisasi PNS”. Pengkajian tersebut perlu dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan kompetensi dan kinerja PNS, mendorong efisiensi belanja, serta menguatkan kapasitas fiskal negara.

Namun demikian, kajian tersebut dipastikan akan mengantisipasi agar proses rasionalisasi PNS tidak mengurangi kualitas pelayanan publik, bahkan justru sebaliknya. Pasalnya dengan fiskal yang kuat, negara bisa meningkatkan kapasitas dan kesejahteraan PNS serta meningkatkan sarana dan prasarana pelayanan publik di segala bidang, khususnya terkait pelayanan dasar.

Rencana rasionalisasi ini juga sebagai dasar pertimbangan rekruitmen Aparatur Sipil Negara (ASN) baru untuk memenuhi tuntutan negara dalam kompetisi global saat ini dan ke depan. Misalnya dalam menghadapi AFTA dan MEA yang sudah berlaku akhir tahun 2015 lalu.

Karena itu pemerintah harus mengantisipasinya dengan mendapatkan Smart ASN yang berkarakter, mempunyai wawasan global, menguasai informasi dan teknologi, memahami bahasa asing, serta mempunyai daya networking yang baik.

Saat ini jumlah PNS di Indonesia mencapai 4.517.136 orang. Dari jumlah itu, 1.932.220 diantaranya menduduki jabatan fungsional umum, di mana 59,39%, diantaranya berada di instansi pusat, dan 38,49% di daerah. Melalui kebijakan rasionalisasi ini, jumlah PNS empat tahun ke depan diproyeksikan akan berkurang hingga rasio 1,5 %. Saat ini rasio PNS terhadap penduduk masih 1,7 %, dimana setiap 100 orang penduduk dilayani oleh 1,7 pegawai.

Deputi SDM Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) Setiawan Wangsaatmaja menyatakan, rasionalisasi PNS akan dilakukan bila sudah melalui berbagai tahapan, salah satunya audit. “Dari audit ini akan diketahui organisasi mana yang tidak efisien atau secara fungsi dapat digabungkan, sekaligus hal ini akan berpengaruh terhadap efisiensi SDM-nya”.

Tahap selanjutnya adalah akan dilakukan pemetaan kompetensi, kualifikasi dan kinerja. Dari hasil pemetaan tersebut akan terlihat para PNS yang mempunyai kompetensi, kualifikasi dan kinerja yang baik. Ini bisa dinamakan kelompok utama dan harus dipertahankan. Sebaliknya ada kelompok yang tidak kompeten, tidak cocok kualifikasinya dan tidak produktif atau tidak berkinerja. “Bagi kelompok inilah perlu dipertimbangkan untuk dilakukan rasionalisasi. Sedangkan untuk kelompok menengah kompetensinya, namun kualifikasi kurang cocok atau sebaliknya, bisa dan perlu ditingkatkan kemampuannya melalui training, magang dan lain sebagainya”.

Kepala Biro Hukum, Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Herman Suryatman berpesan pada PNS yang masih aktif untuk tetap tenang dan tidak galau terkait rencana rasionalisasi PNS ini. “Tidak perlu gusar. Kami masih mengkaji secara seksama rencana rasionalisasi ini. Kami carikan cara terbaik dengan tetap memperhatikan integritas, kompetensi dan kinerja PNS, serta merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Memperluas Program E-Gov Era Presiden Joko Widodo

Betapa isu pemerintah elektronik, alias e-govt telah gencar disuarakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) jauh sebelum dirinya menempati Istana Negara dan memimpin negeri ini.

Saat debat kampanye tahun lalu, Jokowi bahkan dikenang dengan ide e-govt yang menurutnya efektif dan efisien. Sebab, peranti lunak bisa menyelesaikan banyak problem pemerintahan dan bisa dibuat cukup dua minggu!

Setelah lebih dari 100 hari menjabat, spirit Presiden Jokowi dalam program ini masih menggelora. Salah satunya adalah berbagai intruksi yang diberikan kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI Yuddy Chrisnandi.

Dalam berbagai kesempatan, Yuddi menenekankan pentingnya penguatan e-govtyang sudah dilakukan oleh jajarannya, baik pada level pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.

Sekalipun belum ada gebrakan baru yang massif, akan tetapi terasa benar niatan pemerintah sekarang dalam berbenah. Ini keniscayaan, manakala sudah ada kesadaran bahwa tuntutan publik kian besar untuk pelayanan pemerintah yang praktis, efektif, dan memasyarakat.

Apabila tuntutan publik ini tidak segera diakomodir, maka akan menimbulkan ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah, bahkan jika terus dibiarkan, bisa juga menjalar ke Presiden Jokowi itu sendiri.

Oleh karena itu, sambung Yudi, memangkas jalur birokrasi yang berbelit-belit adalah misi kerjanya. Selain untuk mengurangi biaya-biaya yang tidak diperlukan, juga untuk memenuhi ekspektasi publik.

Karenanya, ketika meresmiskan layanan e-Samsat dari Pemprov Jabar beberapa waktu lalu di Bandung, Menpan bertekad menduplikasi e-Samsat agar bisa diterapkan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia.

Hal ini terasa penting untuk terus dibahas, ketika e-govt kerap diterjemahkan sebagai kehadiran situs/laman semata. Padahal sejatinya, e-govt adalah pemutakhiran dari cara kerja pemerintah itu sendiri.
Artinya, seluruh layanan kepada rakyat, yang biasanya manual, maka dibuat menjadi digital dengan penekanan efisiensi biaya dan waktu serta kecepatan pelayanan yang tinggi.

Singkat kata, terjadi e-services (pelayanan elektronik) yang selain dicontohkan E-Samsat. Juga bisa diterapkan antara lain dalam bentuk otomasi proses pemerintahan, pertukaran dokumen secara elektronik, pemantauan dan manajemen kesehatan umum, formulir pemerintah yang dapat diunduh, aplikasi STNK-SIM-Paspor-KTP secara online, dan banyak lagi.

Dari e-government ini dipercaya akan melahirkan pemerintahan yang merangkul semua pihak yakni pemerintah itu sendiri, kalangan bisnis, dan masyarakat. Hal ini sudah banyak dicontohkan di berbagai negara maju.

Akan tetapi, ada dua isu penting yang harus diantisipasi terkait percepatan perluasan program e-govt ini. Pertama, dengan sistem elektronik, otomatis resiko keamanan akan muncul.

Prinsip teknologi informasi yang terintegrasi dalam jejaring, sentralisasi, bisa ditelusuri, sekaligus transparan, maka sekalinya ada resiko yang tidak dikelola dengan baik, maka bisa rusak sekaligus.

Karenanya, sistem pertahanan harus dibuat kuat sejak dini, sehingga tidak ada celah yang bisa dimanfaatkan. Ingat, Indonesia adalah negara sumber serangan sekaligus target tinggi dalam cyber attack!

Kita pun sudah memiliki lembaga yang mampu membuat sistem yang baik yakni Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg), yang kapasitasnya bisa mencegah dan menangkal masuknya peretas yang merugikan.

Ini perlu karena sebagai sesama lembaga negara, Lemsasneg bisa mencegah terjadinya pembobolan data penting negara seperti pernah terjadi di Estonia pada tahun 2007 lalu.

Hal lain yang penting adalah penguatan regulasi, dimana setelah UU ITE, pemerintah melalui Kementerian Kominfo juga sudah mengusulkan pembuatan UU tentang Perlindungan Data Pribadi.

Dasar pertimbangannya, kata dia, data pribadi saja sangat penting apalagi dokumen negara sampai dibobol oleh oknum. UU ini sudah selesai dibuatkan naskah akademik dan segera disampaikan ke DPR RI untuk didaftarkan dalam program prioritas legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2015.

Kedua, e-govt sebagai bidang baru, memiliki potensi disalahartikan. Maksudnya begini, proses pengadaan barang dan jasa terkait pemerintah digital ini belum tentu difahami dengan benar karena masih bidang baru.

Apa dan bagaimana server, mengapa bea pengembangan peranti lunak harus mahal, seperti apa mekanisme pembayaran bandwith, dst, adalah terminologi anyar yang belum tentu difahami aparat hukum.

Karena itulah, proses pengadaan yang benar, bersih, dan rapih, menjadi keharusan sejak awal sehingga kelak tidak akan ramai kendala hukum yang akhirnya malah menghambat laju e-govt.

Sudah biasanya jika niat baik belum tentu semuanya ditafsirkan dengan baik, malah kadang dicurigai sehingga merugikan semua. Yang pasti, e-govt harus terus diperluas guna memenuhi hak masyarakat Indonesia.

Sisi Gelap Teknologi

Teknologi dibuat dan berkembang tujuannya hanya satu, agar hidup manusia lebih mudah. Penulis masih ingat quotes seorang guru fisika senior di sekolah menengah atas yang berkata bahwa fisika – sebagai salah satu ilmu pengetahuan core perkembangan teknologi – adalah ilmu (bagi orang) yang malas. Betapa tidak, menurut sang guru, alih- alih para ilmuwan ini bergerak mengambil barang dari tempat yang lebih rendah ke tempat yang lebih tinggi, dia memilih untuk menciptakan katrol, misalnya.

Itulah esensi dari teknologi. Untuk memudahkan. Mana yang terlebih dulu ada antara kesibukan (mobilitas) manusia dan teknologi ini, seperti layaknya perdebatan laten nan klasik akan kehadiran ayam dan telur di dunia. Apakah para ilmuwan ini sedemikian visionernya hingga hasil pemikiran mereka memudahkan mobilitas manusia di masa depan, atau teknologi lah yang membuat manusia menjadi memiliki mobilitas tinggi.

Terlepas dari itu semua, sisi lain dari hadirnya teknologi yang memudahkan manusia adalah adanya generation gap. Ini biasanya terjadi pada generasi yang jauh lebih senior dari kemunculan teknologi tersebut. Untuk generasi ini, kemunculan teknologi mutakhir malah membingungkan dan tak jarang menimbulkan stress baru. Untuk generasi ini, semakin canggih teknologi semakin banyak waktu yang terbuang untuk mempelajari dan beradaptasi dengannya.

Seperti pada perkembangan teknologi di mobil. Perkembangan jaman memang membawa mobil menjadi memiliki beberapa fitur lebih canggih. Teknologi khususnya pada bagian entertainment dan kelistrikan mobil sekarang lebih lengkap serta pastinya lebih rumit jika dibandingkan dengan jaman dulu. Hal ini pun rupanya berhasil membuat beberapa orang bingung.

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Consumer Reports, para pemilik mobil keluaran tahun 2011, 2012 dan 2013 kebanyakan merasa stress dengan mobilnya. Sekitar 60 persen dari mereka mengatakan bahwa mereka bingung untuk mengoperasikan sistem hiburan dan sepertiga dari mereka mendapat gangguan pada layar-sentuh yang dikatakan kurang responsif ataupun voice control yang tidak berfungsi.

Permasalahan tersebut kebanyakan terjadi pada para pembeli berusia lanjut, dengan 70 persen pengemudi berusia lebih dari 65 tahun yang merasa kesulitan untuk mengoperasikan sistem. Rentang usia lain juga rupanya tidak jauh berbeda. 52 persen pemilik berusia 45-64 dan 37 persen di rentang usia 18-44 tahun juga mengaku mengalami kesulitan yang sama.

Lucunya, dealer juga rupanya memiliki permasalahan yang sama dengan para konsumennya. Para sales promotion girl/boy harus belajar untuk mengoperasikan sistem canggih yang ada di mobil baru kemudian mengajarkannya ke konsumen-konsumen. Beberapa dealer bahkan membuatkan video tutorial untuk para pelanggannya.

Pada teknologi informasi pun tak jauh berbeda. Sisi lain dari koin perkembangan teknologi ini adalah semakin banyak orang yang merasa stress. Akses informasi yang begitu banyak bertujuan untuk (juga) memudahkan hidup manusia. Akan tetapi jika terpaan informasi ini tidak terkontrol bahkan sampai overload, ini tentu menimbulkan masalah atau efek samping.

Jika anda membiarkan diri anda terpapar arus informasi yang sedemikan deras dan cepat, bahkan hingga overload, anda malah menenggelamkan diri ke stress yang lebih parah. Seorang Psikolog remaja dan keluarga, Roslina Verauli, seperti dikutip di cnnindonesia.com mengatakan ini terjadi karena pemikiran analitikal terus berjalan tanpa henti.

Kondisi inilah yang disebut busy mind. Informasi yang bisa dengan mudah didapatkan justru menjadikan manusia rentan menderita information-anxiety. Kondisi ini terjadi manakala semua informasi berjejalan di pikiran, mulai dari informasi yang diperlukan sampai informasi yang seharusnya tidak diperlukan dan tidak dipikirkan.

Efek utama dari busy mind ini bisa menjadikan hidup Anda sangat sibuk. Bahkan Anda tak bisa tidak melakukan apapun saat duduk. Hal ini bisa dilihat dari seringnya Anda mengecek semua akun media sosial yang dipunya ketika hanya punya sedikit saja waktu senggang.

Niat awal memakai gadget untuk mengisi waktu luang dengan membaca informasi dan memperluas wawasan, malah justru membuat Anda stres di jalan raya di tengah ada jeda ketika macet, misalnya. Bagaimana tidak, alih-alih senang lihat hal menarik, Anda justru stres, emosi atau takut ketika mendapati berita tentang hukuman mati, pejabat korupsi, dan masalah negara lainnya, emosi Anda akan muncul.

Terlalu banyak informasi tentang apapun yang bisa Anda peroleh dari gadget justru tidak membuat Anda menjadi lebih rileks, malah justru lebih stres. Hal ini disebabkan karena secara tidak sengaja Anda harus memikirkan apa yang seharusnya tidak Anda pikirkan.

Teknologi adalah buah karya dari kepintaran manusia. Kita yang menikmati dan memanfaatkannya tidak boleh kalah pintar dari alat-alat canggih berteknologi canggih itu. Mengenali apa yang dibutuhkan, membuka wawasan untuk pemenuhan kebutuhan tersebut, dan terutama memiliki pengendalian diri yang baik, adalah cara agar (semoga) dapat menjauhkan kita dari lubang yang ditimbulkan dari sisi gelap teknologi.

Tantangan Dunia Politik di Masa Depan

Istilah cyber politics dikaitkan dengan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang terutama didukung oleh komputer dan jaringan internet, sebagai sarana kegiatan politik dan pemerintahan. Banyak politisi sekarang memanfaatkan dunia cyber untuk kepentingan politik dalam pemilihan umum parlemen dan kepala daerah dengan membuat situs web pribadi dengan foto-foto keluarga mereka dan salinan pidato mereka. Namun sebenarnya yang telah dilakukan para politisi itu belum cukup dalam hal mereka ingin memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (internet) untuk kepentingan politiknya.

Dengan munculnya internet sebagai media baru, ada banyak harapan tentang dampaknya terhadap peningkatan partisipasi politik dalam masyarakat. Gagasan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, menawarkan kesempatan untuk memperluas partisipasi politik telah dibahas dalam banyak kerangka politik dari sistem totaliter hingga demokratis. Akibatnya, muncul determinisme teknologi yang berkaitan dengan kehidupan politik di dunia maya. Demokrasi modern bergantung pada prinsip partisipasi dan representasi. Internet dengan fitur-fitur konektivitas dan interaktivitas memfasilitasi “mediated democracy”, dimana publik dan elite politik dapat dalam arti teoretis berkomunikasi tanpa hambatan dan distorsi dari media konvensional.

Gagasan tentang masuknya internet pada ranah publik banyak mendapatkan kritik, karena teknologi belum tentu dapat memperbaiki masalah apatisme politik dan juga tidak dapat mendorong partisipasi politik masyarakat. Masalah intinya tetap terkait dengan peluruhan demokrasi. Dan, jika semua orang mengambil bagian dalam proses politik (pemilihan umum) mungkinkah pemerintah dapat menghadapi semua umpan-balik yang akan muncul. Internet dengan media barunya memiliki potensi untuk menantang wacana dominan dari pemerintah dan media tradisional, dan memberikan ruang bagi para pembangkang platform global untuk menyebarkan pandangan mereka. Masih lekat dalam ingatan kita bagaimana Ben Ali di Tunisia dan Hosni Mobarak di Mesir yang tumbang karena tak mampu membendung gejolak dan pergerakan yang diawali di media sosial.

Cyber Warfare

Aksi-aksi perang dunia cyber (Cyber Warfare) yang melibatkan negara-negara berkekuatan raksasa dunia saat ini disinyalir sebagai sebuah perang modern di masa yang akan datang. Amerika Serikat, Cina, Rusia, dan Israel adalah negara-negara yang melirik kekuatan cyber sebagai salah satu faktor penting ketahanan nasional dalam konstelasi politik dunia dan kekuasaan global.istilah Cyber Warfare (Perang Siber) dalam konstelasi politik global dapat dipahami sebagai aksi politik yang melibatkan kemampuan computer hacking untuk mencapai tujuan-tujuan teretentu dari pemilik kepentingan, yang biasa dilakukan melalui aktivitas-aktivitas semacam sabotase dan spionase.

Cyber Warfare berawal ketika dunia dikejutkan dengan aksi Stuxnet  padaawal 2010, yakni sebuah virus (worm) komputer yang awalnya menyebar melalui Microsoft Windows dengan target industri perangkat lunak Siemens. Meskipun ini bukan pertama kalinya hacker menjadikan sistem industry sebagai target, tetapi ini adalah malware pertama yang ditemukan pada subverts sistem industri, dan yang pertama untuk menyertakan kontrol logika terprogram. Stuxnet selanjutnya menginfeksi sistem komputer di Iran, dan disinyalir Worm ini dapat mengontrol ledakan berbahaya di pusat pengembangan nuklir di Iran. Dan peristiwa ini dicurigai adalah hasil rekayasa dan sabotase yang dilakukan pihak Israel dan Amerika Serikat yang menentang program nuklir Iran.

Selain itu, pada tahun 2010 sebagai awal baru perang dunia siber dilengkapi oleh satu fenomena luar biasa yang menarik perhatian masyarakat dunia, yaitu mencuatnya kontroversi organisasi Wikileaks yang kembali memanfaakan teknologi hacking computer untuk tujuan-tujuan politik tertentu. WikiLeaks yang pada awalnya bermarkas di Stockholm, Swedia, merupakan media massa internasional yang mengungkapkan dokumen-dokumen rahasia beberapa negara dan perusahaan kepada publik melalui situs webnya.

Beberapa pendapat tentang internet dan pemberdayaan politik yang dibuat pada dasarnya tidak memungkinkan untuk mengontrol internet. Menurut Lessig (1999) Internet dapat dikontrol melalui pasar, peraturan, norma-norma sosial dan “kode” di mana arsitektur internet dapat dimanipulasi untuk menerima atau menyensor informasi. Teknologi itu tidak baik, buruk atau netral dan efek dari teknologi dibentuk oleh masyarakat dimana teknologi ditangguhkan. Media baru itu sendiri tidak dapat mengubah adegan politik, karena media baru memiliki efek sejauh ketika ia diadopsi, digunakan dan dimasukkan ke dalam masyarakat yang menentukan perubahan.

Renungan Akhir Tahun, Kearifan Virtual Saat Ini

Proses penyampaian merupakan hal pentig yang harus dipertimbangkan. Cara penyampaian pesan berkesinambungan dengan dampak yang ingin dicapai, dakwah akan berjalan secara efektif dan efisien jika menggunakan cara-cara yang strategis dan tepat dalam menyampaikan ajaran-ajaran Allah swt.

Salah satu aspek yang bisa ditinjau adalah dari segi sarana dan prasarana dalam hal ini adalah media dakwah, Internet. Karena dakwah merupakan kegiatan yang bersifat universal yang menjangkau semua segi kehidupan manusia, maka dalam penyampaiaannya pun harus dapat menyentuh semua lapisan atau tingkatan baik dari sudut budaya, sosial, ekonomi, pendidikan dan kemajuan teknologi lainnya.

Internet sebagai media komunikasi pun terbagi menjadi dua yaitu: Pertama, memanfaatkan jalur tulisan melalui laman-laman virtual, bisa berupa blog, facebook, twitter, atau banhkan surat-menyurat melalui mailing list. Kedua, selain itu ada pula yang bersifat video elektronik, yang merupakan implikasi dari kemajuan teknologi, semua orang dapat berdakwah secara audio visual melalui laman Youtube atau laman lainnya yang menyediakan link video.

Selain Internet, dakwah sebelumnya melalui teknologi media massa, media cetak misalnya, ada surat kabar, majalah, selembaran dan lain sebagainya. Sedangkan media komunikasi elektronik konvensional misalnya televisi, dan radio, juga melalui propaganda syiar dakwah Film.

Masuknya tren digital, sesungguhnya kemudahan dari Allah swt untuk bersyiar semakin luas. Penguasaan terhadap jaringan Internet adalah sebuah terobosan bagi efisiensi dan efektifitas dakwah, karena hal ini berhubungan erat dengan transformasi pemikiran, terutama di kalangan educated middle class sebagai elemen strategis dari unsur perubahan masyarakat (gate keeper).
Dakwah melalui Internet merupakan suatu inovasi terbaru dalam syiar Islam, dan tentunya akan memudahkan para da’i dalam melebarkan sayap-sayap dakwahnya. Terutama untuk wilayah perkotaan yang notabene audience dari kalangan pekerja yang sangat sibuk. Penggunaan media Internet sebagai media dakwah merupakan kesempatan dan tantangan untuk mengembangkan dan memperluas cakrawala dakwah Islamiyah.

Kesempatan yang dimaksud ialah bagaimana orang-orang yang peduli terhadap kemampuan dakwah maupun memanfaatkan media Internet tersebut sebagai sarana dan media dakwah untuk menunjang proses dakwah Islamiyah. Sementara mewujudkannya mulai dari tenaga, pikiran dan sumber daya manusia yang mengerti akan dakwah dan Internet.

Selaku penggerak bagi perjalanan masyarakat, kalangan ini selalu mencari tatanan terbaik yang akan meningkatkan kualitas masyarakat di masa depan. Faktanya pula mereka adalah kalangan yang paling intens berinteraksi dengan dunia cyber (Internet) dan jumlahnya terus meningkat secara eksponensial. Dakwah Islam sebagai konsep maupun sebagai aktifitas telah memasuki seluruh wilayah dan ruang lingkup kehidupan manusia, sehingga seluruh aspek kehidupan tidak dapat dilepaskan dari sudut pandang dakwah itu sendiri. Dakwah virtual? Kenapa tidak!

Internet untuk Kemajuan

Kita sadar tantangan globalisasi semakin mendesak untuk bangsa ini, kita dituntut untuk melakukan inovas-inovasi potensial. Selain pengetahuan, sebagaimana disinggung pada paragraf di atas, daya saing suatu bangsa ditentukan oleh penguasaan teknologi informasi atau dikenal dengan information and knowledge based economy.

Berkaca dari perjalanan sejarah, ternyata negara adikuasa secara ekonomi bukanlah negara yang miliki sejumlah lahan subur, bukan negara dengan kekayaan mineral, juga bukan negara yang miliki sumber daya manusia (SDM) melimpah. Tetapi justru negara yang serba kekurangan secara natural. Indonesia, negara dengan multikekayaan, tetapi justru kita terpuruk dan harus kita akui secara ksatria.

Menoleh keberhasilan Jepang yang dengan inovasi teknologi mampu membangun lahan persawahan di gedung-gedung pencakar langit, membangun jalur transportasi bawah tanah. Kita saksikan Singapura, tetangga terdekat kita justru tidak hanya miskin alamnya, tetapi juga sempit lahannya, tetapi maju dan berkembang, menguasai bidang ekonomi melebihi Indonesia.

Apa yang terjadi? mereka menguasai teknologi informasi. Kiblat kemajuan ekonomi bangsa-bangsa dunia saat ini. Memang realitas, perkembangan ekonomi dunia telah beralih menjadi milik negara-negara penguasa informasi teknologi dan komunikasi, karena mereka tidak hanya dapat menerima arus informasi tetapi juga mampu mengolahnya sedemikian rupa untuk meningkatkan ekonomi bangsa.

Dalam satu artikel di koran Nasional, Republika (24/6), Basuki Yusuf Iskandar, Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika, menyatakan jika negara-negara maju di kawasan asia mampu memanfaatkan informasi sebagai bahan utama kemelejitan ekonomi negaranya.

Dengan kenyataan demikian, apakah kita masih berpangku tangan dan menganggap teknologi informasi hanya sekedar untuk bersosialisasi, interaksi, grup chatting? Tentu tidak, kita harus bangkit menuju keterpenuhan informasi sebagai sarana mengembangkan daya tahan ekonomi bangsa.

Transformasi ini menarik dipelajari, sebelumnya penguasa ekonomi dunia adalah negara-negara pemilik sumber daya alam dan modal, maka saat ini hanya dibutuhkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi untuk menjalankan ekonomi maju. Inilah keunggulan teknologi informasi dan komunikasi yang memudahkan perkembangan jaringan dan kolaborasi lintas negara, menunjang inovasi serta efisiensi transaksi ekonomi.

Tidak perlu jauh membayangkan Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, meskipun jaringan tidak mengenal wilayah, tetapi cukup memfokuskan pada skala Jawa Barat untuk pemanfaatan jaringan teknologi informasi sudah sangat beruntung. Berkat teknologi informasi pula, transformasi sosial dan ekonomi membawa masyarakat kepada era baru peradaban dunia. Di mana Angklung, bukan lagi milik Jawa Barat, tetapi milik dunia karena semua orang dapat merasakan emosi yang sama ketika mendengarkan alunan angklung melalui jaringan Internet.

Kembali pada kemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang dapat diterapkan, teknologi dapat meningkatkan kemudahan bagi pengguna (accessibility), kemampuan daya beli masyarakat (affordability), kualitas fitur layanan (quality), keamanan dalam penggunaan (security) dan produktivitasnya dalam mendukung kemajuan di bidang ekonomi, sosial dan budaya.

Namun demikian, perkembangan teknologi informasi tersebut juga memiliki berbagai dampak yang harus disikapi dengan arif, salah satunya adalah ketergantungan tinggi terhadap teknologi (acute technological dependency). Hal tersebut yang dimanfaatkan oleh produsen teknologi untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Di tangan kitalah pilihan itu, memanfaatkan teknologi, atau termanipulasi teknologi, pilihlah secara bijak.

 

Kita sadar tantangan globalisasi semakin mendesak untuk bangsa ini, kita dituntut untuk melakukan inovas-inovasi potensial. Selain pengetahuan, sebagaimana disinggung pada paragraf di atas, daya saing suatu bangsa ditentukan oleh penguasaan teknologi informasi atau dikenal dengan information and knowledge based economy.Berkaca dari perjalanan sejarah, ternyata negara adikuasa secara ekonomi bukanlah negara yang miliki sejumlah lahan subur, bukan negara dengan kekayaan mineral, juga bukan negara yang miliki sumber daya manusia (SDM) melimpah. Tetapi justru negara yang serba kekurangan secara natural. Indonesia, negara dengan multikekayaan, tetapi justru kita terpuruk dan harus kita akui secara ksatria.Menoleh keberhasilan Jepang yang dengan inovasi teknologi mampu membangun lahan persawahan di gedung-gedung pencakar langit, membangun jalur transportasi bawah tanah. Kita saksikan Singapura, tetangga terdekat kita justru tidak hanya miskin alamnya, tetapi juga sempit lahannya, tetapi maju dan berkembang, menguasai bidang ekonomi melebihi Indonesia.Apa yang terjadi? mereka menguasai teknologi informasi. Kiblat kemajuan ekonomi bangsa-bangsa dunia saat ini. Memang realitas, perkembangan ekonomi dunia telah beralih menjadi milik negara-negara penguasa informasi teknologi dan komunikasi, karena mereka tidak hanya dapat menerima arus informasi tetapi juga mampu mengolahnya sedemikian rupa untuk meningkatkan ekonomi bangsa.Dalam satu artikel di koran Nasional, Republika (24/6), Basuki Yusuf Iskandar, Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika, menyatakan jika negara-negara maju di kawasan asia mampu memanfaatkan informasi sebagai bahan utama kemelejitan ekonomi negaranya.Dengan kenyataan demikian, apakah kita masih berpangku tangan dan menganggap teknologi informasi hanya sekedar untuk bersosialisasi, interaksi, grup chatting? Tentu tidak, kita harus bangkit menuju keterpenuhan informasi sebagai sarana mengembangkan daya tahan ekonomi bangsa.Transformasi ini menarik dipelajari, sebelumnya penguasa ekonomi dunia adalah negara-negara pemilik sumber daya alam dan modal, maka saat ini hanya dibutuhkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi untuk menjalankan ekonomi maju. Inilah keunggulan teknologi informasi dan komunikasi yang memudahkan perkembangan jaringan dan kolaborasi lintas negara, menunjang inovasi serta efisiensi transaksi ekonomi.Tidak perlu jauh membayangkan Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, meskipun jaringan tidak mengenal wilayah, tetapi cukup memfokuskan pada skala Jawa Barat untuk pemanfaatan jaringan teknologi informasi sudah sangat beruntung. Berkat teknologi informasi pula, transformasi sosial dan ekonomi membawa masyarakat kepada era baru peradaban dunia. Di mana Angklung, bukan lagi milik Jawa Barat, tetapi milik dunia karena semua orang dapat merasakan emosi yang sama ketika mendengarkan alunan angklung melalui jaringan Internet.Kembali pada kemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang dapat diterapkan, teknologi dapat meningkatkan kemudahan bagi pengguna (accessibility), kemampuan daya beli masyarakat (affordability), kualitas fitur layanan (quality), keamanan dalam penggunaan (security) dan produktivitasnya dalam mendukung kemajuan di bidang ekonomi, sosial dan budaya.Namun demikian, perkembangan teknologi informasi tersebut juga memiliki berbagai dampak yang harus disikapi dengan arif, salah satunya adalah ketergantungan tinggi terhadap teknologi (acute technological dependency). Hal tersebut yang dimanfaatkan oleh produsen teknologi untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Di tangan kitalah pilihan itu, memanfaatkan teknologi, atau termanipulasi teknologi, pilihlah secara bijak.

Hidupnya Masyarakat Jaringan

Hidup dalam zona yang serba cepat, siapa tidak mengarus zaman akan tertinggal dan taktercatat sejarah. Teknologi memiliki sisi humanis yang patut dipertimbangkan, ide Jawa Barat sebagi Smart Province, atau kota-kota yang bercita-cita sebagai Cyber City, seyogyannya tidak alergi dengan kemajuan zaman, kecanggihan alat bantu manusia, teknologi.

Ruang publik berbasis teknologi, adalah ruang efektif dalam mengomunikasikan ide dan proyek-proyek yang muncul dari masyarakat dan ditujukan kepada para pengambil keputusan di lembaga-lembaga masyarakat. Masyarakat sipil global adalah ekspresi yang terorganisir dari nilai-nilai dan kepentingan masyarakat. Untuk itu, suatu kebanggaan tersendiri ketika pemerintah kita, terutama di Jawa Barat mempraktikkan teknologi sebagai ruang gerak kerja.

Hubungan antara pemerintah dan masyarakat sipil dan interaksi mereka melalui jaringan menentukan pemerintahan masyarakat. Tentu kita tidak asing dengan cara-cara Gubernur Jawa Barat yang dapat berkomunikasi dengan warganya melalui twitter, bahkan Bapak Gubernur dapat menyebarkan informasi aktifitasnya melalui Internet, foto-foto kunjungan, tidak terkecuali foto-foto tidak formal sekalipun, semisal saat tertidur usai shalat Dzuhur di Masjid. Hal-hal humanis seperti itu hanya terjadi saat kebangkitan teknologi, dan sudah selayaknya teknologi komunikasi digunakan secara maksimal kebermanfatannya.

Bisa dibayangkan, ketika jaringan komunikasi ini hilang dari peradaban. Dengan tidak adanya link komunikasi seperti di atas, sebagaimana Manuel Castells (2008) berargumen, negara, bisa berupa pemerintahan provinsi, kehilangan legitimasi dan kepercayaan dari masyarakat, terutama dalam menangani masalah-masalah global seperti lingkungan, kemiskinan, terorisme, dan masalah trans-nasional lainnya.

Kondisi ini bentuk dari hubungan bahwa masyarakat memerlukan informasi yang terbuka dari apa yang dilakukan oleh negara, sehingga ketika informasi tersumbat karena tidak adanya akses, masyarakat akan tumbuh dalam keraguan dan meyakini tidak ada kegunaan lagi hidup bernegara. Sekali lagi, informasi menjadi punggung pemerintahan.

Masih mengacu pada penjelasan Castells, aktor-aktor di masyarakat seperti kelompok lingkungan dan organisasi lokal lainnya merupakan masyarakat sipil publik di arena yang lebih luas. Ketika masyarakat Jawa Barat mengeluhkan kinerja Gubernur melalui laman-laman virtual, bukan saja masyarakat Jawa Barat yang mengetahui, tetapi dunia juga serentak mendapatkan informasi tersebut.

Untuk itu, ranah publik baru adalah kebangkitan masyarakat jaringan yang sulit untuk dipengaruhi, apapun kekuasaan yang berdaulat karena politik tetap akan sulit membatasi akses informasi berbasis teknologi.

Setidaknya, teknologi komunikasi saat ini melahirkan Empat kemanfaatan bagi masyarakat. Pertama, pemerintah menjadi leluasa untuk berinteraksi dengan warganya. Kedua, munculnya organisasi akar rumput dan kelompok masyarakat yang tidak buta terhadap birokrasi, karena kemudahan akses informasi didapat darimana saja. Ketiga, masyarakat menjadi anggota masyarakat global, gerakan sosial global, yang bertujuan untuk mengontrol proses globalisasi sekala lokal, dan keempat terbentuknya opini publik global.

Entitas ini mengatur dan memobilisasi solidaritas warga Jawa Barat, karena ketersalingan, satu sama lain terhubung dengan mudah. Dengan demikian, masyarakat Jawa Barat yang satu, lebih kuat dan lebih maju. Semoga!

 

Hidup dalam zona yang serba cepat, siapa tidak mengarus zaman akan tertinggal dan taktercatat sejarah. Teknologi memiliki sisi humanis yang patut dipertimbangkan, ide Jawa Barat sebagi Smart Province, atau kota-kota yang bercita-cita sebagai Cyber City, seyogyannya tidak alergi dengan kemajuan zaman, kecanggihan alat bantu manusia, teknologi.Ruang publik berbasis teknologi, adalah ruang efektif dalam mengomunikasikan ide dan proyek-proyek yang muncul dari masyarakat dan ditujukan kepada para pengambil keputusan di lembaga-lembaga masyarakat. Masyarakat sipil global adalah ekspresi yang terorganisir dari nilai-nilai dan kepentingan masyarakat. Untuk itu, suatu kebanggaan tersendiri ketika pemerintah kita, terutama di Jawa Barat mempraktikkan teknologi sebagai ruang gerak kerja.Hubungan antara pemerintah dan masyarakat sipil dan interaksi mereka melalui jaringan menentukan pemerintahan masyarakat. Tentu kita tidak asing dengan cara-cara Gubernur Jawa Barat yang dapat berkomunikasi dengan warganya melalui twitter, bahkan Bapak Gubernur dapat menyebarkan informasi aktifitasnya melalui Internet, foto-foto kunjungan, tidak terkecuali foto-foto tidak formal sekalipun, semisal saat tertidur usai shalat Dzuhur di Masjid. Hal-hal humanis seperti itu hanya terjadi saat kebangkitan teknologi, dan sudah selayaknya teknologi komunikasi digunakan secara maksimal kebermanfatannya.Bisa dibayangkan, ketika jaringan komunikasi ini hilang dari peradaban. Dengan tidak adanya link komunikasi seperti di atas, sebagaimana Manuel Castells (2008) berargumen, negara, bisa berupa pemerintahan provinsi, kehilangan legitimasi dan kepercayaan dari masyarakat, terutama dalam menangani masalah-masalah global seperti lingkungan, kemiskinan, terorisme, dan masalah trans-nasional lainnya.Kondisi ini bentuk dari hubungan bahwa masyarakat memerlukan informasi yang terbuka dari apa yang dilakukan oleh negara, sehingga ketika informasi tersumbat karena tidak adanya akses, masyarakat akan tumbuh dalam keraguan dan meyakini tidak ada kegunaan lagi hidup bernegara. Sekali lagi, informasi menjadi punggung pemerintahan.Masih mengacu pada penjelasan Castells, aktor-aktor di masyarakat seperti kelompok lingkungan dan organisasi lokal lainnya merupakan masyarakat sipil publik di arena yang lebih luas. Ketika masyarakat Jawa Barat mengeluhkan kinerja Gubernur melalui laman-laman virtual, bukan saja masyarakat Jawa Barat yang mengetahui, tetapi dunia juga serentak mendapatkan informasi tersebut.Untuk itu, ranah publik baru adalah kebangkitan masyarakat jaringan yang sulit untuk dipengaruhi, apapun kekuasaan yang berdaulat karena politik tetap akan sulit membatasi akses informasi berbasis teknologi.Setidaknya, teknologi komunikasi saat ini melahirkan Empat kemanfaatan bagi masyarakat. Pertama, pemerintah menjadi leluasa untuk berinteraksi dengan warganya. Kedua, munculnya organisasi akar rumput dan kelompok masyarakat yang tidak buta terhadap birokrasi, karena kemudahan akses informasi didapat darimana saja. Ketiga, masyarakat menjadi anggota masyarakat global, gerakan sosial global, yang bertujuan untuk mengontrol proses globalisasi sekala lokal, dan keempat terbentuknya opini publik global.Entitas ini mengatur dan memobilisasi solidaritas warga Jawa Barat, karena ketersalingan, satu sama lain terhubung dengan mudah. Dengan demikian, masyarakat Jawa Barat yang satu, lebih kuat dan lebih maju. Semoga!

 

Informasi Tanpa Perbedaan

Sekedar pengingat, sebelum kita membincangkan lebih jauh terkait hubungan antara teknologi komunikasi dengan diskriminasi, atau kaitan hubungan Internet dengan kebutuhan Hak Asasi Manusia (HAM). Ada baiknya memahami dahulu apa yang dimaksud dengan HAM itu sendiri?

Merujuk pada pernyataan yang tercantum dalam Undang-Undang (UU) RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, “Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, (yang) oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun”, demikian cantuman dari bagian awal UU tersebut.

Oleh karenanya, distribusi dan konsumsi informasi menjadi urat nadi kemajuan peradaban manusia. Adanya UU tersebut adalah sebagai tindak lanjut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor VII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Isian lebih lanjut berbicara tentang hak berkomunikasi, menyebarkan informasi, juga menerima informasi.

Pada pasal 14 pada UU tersebut, secara jelas memberikan argumentasi hukum terkait hak memperoleh informasi.

Pada ayat pertama berbunyi: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya”. Setidaknya, acuan ini dapat ditafsirkan bahwa hak memperoleh informasi bersanding dengan kewajiban penyertaan manfaat, yakni untuk pengembangan diri dan lingkungan sosial, tentu tidak dapat semena-mena.

Kemudian, ayat kedua menejalskan jika “setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia”. Jelas bahwa, pasal tersebut sejatinya tunduk dan mengacu pada pasal 28F, UUD 1945 Indonesia (Amandemen ke-2, yang ditetapkan pada Agustus 2000) dan pada pasal 19, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Persatuan Bangsa Bangsa (PBB).

Penjabarannya, pada pasal 28F, UUD 1945, dinyatakan bahwa:

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Pasal 19, Deklarasi Universal HAM PBB yang dideklarasikan pada 10 Desember 1948 menegaskan:

“Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, dalam hal ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada pendapat tertentu tanpa mendapatkan gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan ide/gagasan melalui media apa saja tanpa ada batasan”.

Uraian di atas menunjukkan kebebasan bagi siapa saja. Meskipun ada jaminan untuk bebas berpendapat dan berekspresi, perlu pencermatan ebih lanjut terkait pelaksanaan hak tersebut tidaklah tanpa batas. Di Bandung, kita ingat kasus penyalahgunaan kebebasan berpendapat oleh anak muda yang dilaporkan oleh Walikota Bandung karena menyebarkan fitnah, pencemaran nama baik Kota Bandung. Demikian juga dengan kasus Florence Sihombing yang membabi buta menghina Yogyakarta beserta Sultannya.

Kebebasan tanpa batas adalah penafsiran yang keliru, penegakan hukum bukan tindakan diskriminasi, tetapi pengaturan yang lebih tertib dan etis. Lalu apa acuan pembatasan kebebasan tersebut? adalah pasal 29 ayat 2 pada deklarasi universal HAM yang sama, berbunyi:
Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain dan untuk memenuhi persyaratan aspek moralitas, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.

Kebebasan Virtual

Darimana munculnya kebebasan memproduksi, mendistribusikanserta mengkonsumsi informasi? Jawaban mudahnya adalah Internet, dan Internet secara pasti tergolong sebagai media yang mampu menjadi sarana penting dalam pemenuhan hak berpendapat dan berekspresi saat ini.

Apa pasal? Pada Juni 2011, PBB melalui Special Rapporteur bidang Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, Frank William La Rue, penuh semangat mengingatkan negara-negara, “Internet telah menjadi alat yang sangat diperlukan untuk mewujudkan berbagai hak asasi manusia, memberangus ketidakadilan, dan membantu percepatan pembangunan dan kemajuan manusia, maka memastikan (ketersediaan) akses ke Internet haruslah menjadi prioritas bagi semua negara”.

Argumentasi La Rue ini tidak serta merta menginginkan dibukanya kran sebesar-besarnya untuk negara menyediakan akses Internet bagi warganya. Ia tetap memiliki kekhawatian bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat di Internet berdampak pada banyak tantangan. Lebih lanjut, menurutnya, kebebasan berekspresi di Internet di banyak negara, kini banyak dihambat dengan cara menerapkan hukum pidana ataupun menciptakan hukum baru yang dirancang untuk dapat mengkriminalkan para pelaku kebebasan berekspresi di Internet.

La Rue memang bukan orang Indonesia, terlebih bukan Sunda, sehingga memandang kebebasan sebagi hal utama. Berbeda dengan kita yang hidup dengan teratur oleh budaya, adat kesopanan serta tindak-tanduk berkomunikasi. Tentu, aturan-aturan yang menertibkan, menentramkan sangat dibutuhkan.

Media Sosial Berpotensi Kena Pajak

Pemerintah tengah menyiapkan mekanisme pemungutan pajak bagi pengembang media  sosial  dan pengembang jasa layanan berbasis internet yang menumpang jaringan internet operator lain alias over the top (OTT), seperti  whatsapps,  facebook, twitter dan sejenisnya.

Layanan berbasis OTT ini dinilai memiliki potensi penerimaan bagi negara. Namun, seperti dikutip dari Kompas, Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonoegoro mengatakan, para pengembang layanan  ini harus memiliki badan usaha tetap (BUT) di Indonesia sebagai subyek pajak terlebih dahulu. “Mereka bisa dikenakan PPh badan dan PPN untuk transaksi,” ujarnya kepada  KONTAN,  Minggu (29/11).

Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Mekar Satria Utama menambahkan, para pengembang OTT ini akan di kenakan pajak jika memiliki penghasilan yang bersumber dari Indonesia.

Selain itu, pengenaan pajak akan dilakukan jika perusahaan bertindak sebagai penjual barang dan jasa di Indonesia. Misalnya,  seperti  dilihat  di laman Facebook. Saat ini, banyak yang memanfaatkan situs  jejaring  sosial  ini  untuk menjual produk atau jasa.

Terkait PPh, menurut Mekar, harus dilihat dulu apakah perusahaan pengembang  layanan media sosial ini mendapatkan  keuntungan  dari  pemasangan  iklan  atau  tidak. Termasuk, dalam menyediakan  sarana  untuk  transaksi penjualan. “Perlu  dilakukan pembahasan  secara  intensif dengan mereka atau dilakukan audit,” jelasnya.

Pada prinsipnya, mekanisme  pemungutan  pajak  akan disesuaikan dengan Undang-ndang Perpajakan serta Perjanjian Penghindaran  Pajak Berganda (P3B) bila ada.

Nah, kata Mekar, di sinilah peran Kementerian Komunikasi dan Informasi untuk mendorong agar perusahaan OTT menempatkan server di Indonesia.  “Jika  tidak, akses ke situs tersebut diblokir, seperti di China,” imbuh Mekar.

Sayangnya, belum bisa di pastikan, kapan ketentuan ini mulai  berlaku. Yang jelas, nantinya hal ini akan diatur dalam bentuk regulasi setingkat Peraturan Menteri.

Potensi besar

Keinginan pengenaan pajak bagi pengembang media sosial dilontarkan Menkominfo Rudiantara. Dia mengaku sudah berkoordinasi dengan kementerian keuangan dan instansi  terkait untuk menerapkan pungutan bagi OTT secara fair. Agar OTT dan perusahaan operator di Indonesia bisa  saling menguntungkan. “Sehingga ada tax level playing field,” tandasnya kepada KONTAN, Jumat (27/11).

Rencananya, OTT semacam Google, Facebook, Twitter atau WhatsApp bakal terkena pajak jika bertransaksi bisnis di Indonesia. Transaksi yang bakal terkena pajak terutama terhadap  seluruh  transaksi bisnis periklanan dari OTT.

Namun, untuk besaran jumlah pungutan, Rudiantara mengaku belum bisa memaparkan secara detail. Yang jelas, ia mengklaim, pungutan ini bakal memberikan keuntungan bagi semua pihak. Kemungkinan besar, aturan  ini bakal tertuang dalam bentuk peraturan menteri (Permen).

Bentuknya,  bisa  Permen Menteri Keuangan, Permen Menteri Kominfo atau Permen bersama. “Yang jelas, pembahasan substansi dari rencana aturan  ini  secara  bersama-sama,” imbuh Rudiantara.  Ia berharap, beleid ini bisa selesai dan segera berlaku pada kuartal pertama 2016.

Sementara  itu, Yustinus  Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) berpendapat, potensi pajak yang bisa digali dari pengembang layanan OTT  cukup  besar.  Namun, harus ada terobosan dan keberanian  pemerintah  dalam menetapkan regulasi.

Terutama, terkait pendirian Badan Usaha  Tetap  (BUT). Pemerintah perlu memperluas definisi BUT.  definisi BUT adalah badan usaha yang secara fisik hadir di Indonesia, seperti kantor cabang. Sebaiknya, definisi ini diperluas. BUT diartikan tidak hanya bentuk fisik melainkan juga kehadiran layanan dalam bentuk internet di Indonesia.

Sehingga, mereka diklasifikasikan sebagai pengusaha kena pajak. Apalagi, Indonesia salah satu negara pengguna facebook terbesar di dunia. “Jika  tidak mau  ikut aturan, blokir saja aksesnya, mereka rugi, pemerintah perlu tegas,” ujar Yustinus.

Berdasarkan informasi yang ia terima,  selama ini pengiklan di laman situs OTT, khususnya facebook, harus meneken  surat perjanjian.  Isinya, pengiklan di Indonesia harus menanggung potensi pajak yang muncul dari iklan itu.

Sementara, bagi pengiklan, berhubung aturan definitifnya tidak ada, tanggungan pajak itu tidak dibayar ke negara. “Maklum, pelaporan pajak di Indonesia sukarela sehingga masih minim, sulit mendeteksinya,” tutur Yustinus.