Tantangan Dunia Politik di Masa Depan

Istilah cyber politics dikaitkan dengan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang terutama didukung oleh komputer dan jaringan internet, sebagai sarana kegiatan politik dan pemerintahan. Banyak politisi sekarang memanfaatkan dunia cyber untuk kepentingan politik dalam pemilihan umum parlemen dan kepala daerah dengan membuat situs web pribadi dengan foto-foto keluarga mereka dan salinan pidato mereka. Namun sebenarnya yang telah dilakukan para politisi itu belum cukup dalam hal mereka ingin memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (internet) untuk kepentingan politiknya.

Dengan munculnya internet sebagai media baru, ada banyak harapan tentang dampaknya terhadap peningkatan partisipasi politik dalam masyarakat. Gagasan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, menawarkan kesempatan untuk memperluas partisipasi politik telah dibahas dalam banyak kerangka politik dari sistem totaliter hingga demokratis. Akibatnya, muncul determinisme teknologi yang berkaitan dengan kehidupan politik di dunia maya. Demokrasi modern bergantung pada prinsip partisipasi dan representasi. Internet dengan fitur-fitur konektivitas dan interaktivitas memfasilitasi “mediated democracy”, dimana publik dan elite politik dapat dalam arti teoretis berkomunikasi tanpa hambatan dan distorsi dari media konvensional.

Gagasan tentang masuknya internet pada ranah publik banyak mendapatkan kritik, karena teknologi belum tentu dapat memperbaiki masalah apatisme politik dan juga tidak dapat mendorong partisipasi politik masyarakat. Masalah intinya tetap terkait dengan peluruhan demokrasi. Dan, jika semua orang mengambil bagian dalam proses politik (pemilihan umum) mungkinkah pemerintah dapat menghadapi semua umpan-balik yang akan muncul. Internet dengan media barunya memiliki potensi untuk menantang wacana dominan dari pemerintah dan media tradisional, dan memberikan ruang bagi para pembangkang platform global untuk menyebarkan pandangan mereka. Masih lekat dalam ingatan kita bagaimana Ben Ali di Tunisia dan Hosni Mobarak di Mesir yang tumbang karena tak mampu membendung gejolak dan pergerakan yang diawali di media sosial.

Cyber Warfare

Aksi-aksi perang dunia cyber (Cyber Warfare) yang melibatkan negara-negara berkekuatan raksasa dunia saat ini disinyalir sebagai sebuah perang modern di masa yang akan datang. Amerika Serikat, Cina, Rusia, dan Israel adalah negara-negara yang melirik kekuatan cyber sebagai salah satu faktor penting ketahanan nasional dalam konstelasi politik dunia dan kekuasaan global.istilah Cyber Warfare (Perang Siber) dalam konstelasi politik global dapat dipahami sebagai aksi politik yang melibatkan kemampuan computer hacking untuk mencapai tujuan-tujuan teretentu dari pemilik kepentingan, yang biasa dilakukan melalui aktivitas-aktivitas semacam sabotase dan spionase.

Cyber Warfare berawal ketika dunia dikejutkan dengan aksi Stuxnet  padaawal 2010, yakni sebuah virus (worm) komputer yang awalnya menyebar melalui Microsoft Windows dengan target industri perangkat lunak Siemens. Meskipun ini bukan pertama kalinya hacker menjadikan sistem industry sebagai target, tetapi ini adalah malware pertama yang ditemukan pada subverts sistem industri, dan yang pertama untuk menyertakan kontrol logika terprogram. Stuxnet selanjutnya menginfeksi sistem komputer di Iran, dan disinyalir Worm ini dapat mengontrol ledakan berbahaya di pusat pengembangan nuklir di Iran. Dan peristiwa ini dicurigai adalah hasil rekayasa dan sabotase yang dilakukan pihak Israel dan Amerika Serikat yang menentang program nuklir Iran.

Selain itu, pada tahun 2010 sebagai awal baru perang dunia siber dilengkapi oleh satu fenomena luar biasa yang menarik perhatian masyarakat dunia, yaitu mencuatnya kontroversi organisasi Wikileaks yang kembali memanfaakan teknologi hacking computer untuk tujuan-tujuan politik tertentu. WikiLeaks yang pada awalnya bermarkas di Stockholm, Swedia, merupakan media massa internasional yang mengungkapkan dokumen-dokumen rahasia beberapa negara dan perusahaan kepada publik melalui situs webnya.

Beberapa pendapat tentang internet dan pemberdayaan politik yang dibuat pada dasarnya tidak memungkinkan untuk mengontrol internet. Menurut Lessig (1999) Internet dapat dikontrol melalui pasar, peraturan, norma-norma sosial dan “kode” di mana arsitektur internet dapat dimanipulasi untuk menerima atau menyensor informasi. Teknologi itu tidak baik, buruk atau netral dan efek dari teknologi dibentuk oleh masyarakat dimana teknologi ditangguhkan. Media baru itu sendiri tidak dapat mengubah adegan politik, karena media baru memiliki efek sejauh ketika ia diadopsi, digunakan dan dimasukkan ke dalam masyarakat yang menentukan perubahan.