Selalu Ada Konsekuensi

Di dunia ini, karena kita hidup dalam komunitas dan sistem, kita tak bisa mengelak dari aturan. Tak bisa kita berlaku seenaknya, berbuat semaunya, apalagi atas nama kebebasan berlaku dan berpendapat.

Ketentuan soal ini juga berlaku dalam urusan perpajakan, dimana aturan yang dibuat tentu saja untuk dilaksanakan. Bagi mereka yang tidak melaksanakan, apalagi sengaja melanggar, tentu harus selalu siap konsekuensinya.

Ini berlaku bagi semua jenis. Bukan hanya pajak di tingkat pemerintah pusat, tapi juga perpajakan pemerintah daerah, yang otoritas utamanya berada di bawah Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda).

Soal ini secara tegas sudah diatur dalam lex specialis, alias regulasi umum perpajakan, dimana ada dua sanksi perpajakan. Yakni sanksi administrasi dan sanksi pidana.

Perbedaan dari kedua sanksi tersebut adalah bahwa sanksi pidana berakibat pada hukuman badan seperti penjara atau kurungan. Pengenaan sanksi pidana dikenakan terhadap semua tindak pidana di bidang perpajakan.

Sedangkan sanksi administrasi biasanya berupa denda (dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebut sebagai bunga, denda atau kenaikan), dengan besaran bervariasi mulai dari 2%, 48%, 50%, 100%, 150%, hingga 200% dari kekurangan pembayaran pajak atau Dasar Pengenaan Pajak (DPP).

Komitmen soal ini kian nyaring diperlihatkan, misalnya empat tersangka komplotan Faktur Pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya (Faktur Pajak Tidak Sah) diserahkan ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat di Bandung pada 18 Desember 2014.

Keempat tersangka diduga membantu dan turut serta melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam rangka menerbitkan Faktur Pajak Tidak Sah melalui PT Rezatama Niaga Sepakat, PT Menoreh Persada Mandiri dan PT Samudera Victory Abadi dan perusahaan-perusahaan lainnya.

Penyidikan kepada ke empat tersangka merupakan pengembangan dari kasus Sumarno yang sudah divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Cibinong berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Cibinong Nomor 295/Pid Sus/2014/PN.Cbi.

Sedikitnya ada 47 perusahaan yang menggunakan Faktur Pajak Tidak Sah dari komplotan ini. Adapun keuntungan bagi perusahaan yang menggunakan Faktur Pajak Tidak Sah tersebut adalah mengurangi PPN yang harus disetor.

Kerugian negara akibat perbuatan yang dilakukan Sumarno sebesar Rp25 milyar dan dari empat tersangka diatas sebesar 15 milyar, namun total kerugian negara akibat komplotan ini diperkirakan sampai ratusan milyar rupiah.

Sesuai dengan Undang-Undang perpajakan, para tersangka diancam hukuman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak.

Kita harus berkaca bahwa ini jadi peringatan bagi para pelaku lainnya bahwa regulator perpajakan dengan dukungan Bareskrim Polri terus melakukan penegakan hukum di bidang perpajakan!

Dalam tindakan lebih besar, Direktorat Jenderal Pajak per 22 Desember 2014 sudah menerapkan pencegahan kepada 147 Wajib Pajak Badan dan 21 Orang Pribadi dengan nilai hampir Rp.600 Milyar.

Pencegahan merupakan larangan yang bersifat sementara kepada Penanggung Pajak untuk keluar dari wilayah Indonesia. Sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Undang-Undang PPSP), pencegahan tersebut dilakukan secara selektif kepada Penanggung Pajak yang memiliki utang pajak sebesar Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.

Jangka waktu pencegahan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk paling lama 6 (enam) bulan.

Pencegahan dilakukan kepada Penanggung Pajak yang mencakup orang pribadi atau badan. Untuk badan dikenakan atas mereka yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Kalau para penunggak pajak tersebut tidak segera melunasi hutang pajaknya, maka akan segera proses ke tindakan berikutnya, yaitu gijzeling (penyanderaan),, seperti dikatakan Plt Dirjen Pajak/Wakil Menkeu Mardiasmo.

Upaya gijzeling merupakan upaya terakhir yang akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, sebab semua upaya itu dilakukan dengan satu tujuan yakni Wajib Pajak mau membayar pajak yang menjadi kewajibannya.

Sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Undang-Undang PPSP), pencegahan tersebut dilakukan secara selektif kepada Penanggung Pajak yang memiliki utang pajak sebesar Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.

Jangka waktu pencegahan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk paling lama 6 (enam) bulan. Setelah proses perpanjangan tersebut dan Wajib Pajak tetap tidak melunasi kewajibannya, terhadap Wajib Pajak kemudian dapat dilakukan penyanderaan.

Sampai saat ini Direktorat Jenderal Pajak telah memproses 487 usulan pencegahan terhadap para penunggak pajak dengan nilai tagihan pajak sebesar Rp3,3 triliun.

Bahkan, pencegahan pun dilakukan ke Warga Negara Asing (WNA). Berdasarkan kewarganegaraan, penunggak pajak yang telah disetujui dicegah terdiri dari 40 WNA yang berasal dari Asia, Amerika, Australia dan Eropa dengan nilai tagihan pajak sebesar Rp57,2 miliar.

Jadi, sekali lagi, selama kita masih hidup dalam sebuah sistem dan komunitas, dengan sendirinya kewajiban kita sendiri mematuhinya –termasuk menunaikan pajak daerah. Jika tidak, suka tidak suka, mau tidak mau, harus siap tanggung konsekuensinya! ***