Inovasi Pelayanan Publik Pasca Reformasi

Runtuhnya Rezim Orde Baru tidak serta merta membawa perubahan yang esensial dalam hal pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah melaui dinas ataupun instansi terkait. Kebiasaan-kebiasaan warisan Orba masih tersisa dan pengaruhnya cukup sulit untuk dihilangkan dari kinerja para pelayan publik, mulai dari birokrasi berberlit-belit hingga budaya pamrih. Padahal pasca reformasi yang bergulir sejak tahun1999 –setelah runtuh Rezim Orde Baru, masayarakat Indonesia semakin kritis khususnya dalam hal pelayanan publik. Masyarakat menginginkan ada transparansi, efektifitas, efesiensi dan kecepatan dalam pengurusan administrasi kependudukan, perizinan, perpajakan dan sebagainya.

Namun seiring perkembangan serta dinamika politik dan ketata-negaraan di Indonesia, kebijakan tidak lagi semuanya terpusat pada  pemerintah pusat.  Setelah sistem pemerintahan terpusat (ego-sentral) berjalan selama 32 tahun, roda pembangun menjadi lebih kondusif bagi pembangunan regional, meski di berbagai sektor penyakit pelayanan publik masih menyisakan ‘kebiasan lama’. Kini  kebijakan untuk membangun sebuah daerah dan melayani publik tidak lagi bergantung pada pola yang diciptakan oleh Pemerintah Pusat.  Pemerintah Daerah kini memiliki kapasitas untuk merumuskan, menciptakan dan mengaplikasikan kebijakan untuk merespon kebutuhan masyarakatnya (regional/lokal).

Di awal bergulirnya otonomi daerah (otda) tahun 1999, masih banyak persepsi negatif terhadap perubahan birokrasi pelayanan publik. Fenomena lamban, berbelit-belit, pungutan liar dan praktik percaloan (hingga sekarang) masih terjadi. Akan tetapi, sisi negatif selama berlangsungnya otonomi di tahap awal, semestinya harus dipahami sebagai fenomena transisi dan sebagai gejala yang wajar terjadi di negara manapun. Membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk melalui masa transisi, ketika meja birokrasi sudah diurai, diperpendek bahkan langsung pada meja yang dituju, namun fenomena calo dan pungutan liar merupakan pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah.

Namun dengan adanya otda pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk melakukan banyak terobosan khususnya dalam pelayanan publik. Terlebih dengan direkrutnya tenaga-tenaga muda, profesional dan inovatif, yang saat ini dimiliki oleh instansi-instansi, menjadikan jalannya pelayanan publik semakin inovatif, kreatif dan kekinian. Bahkan terobosan yang diciptakan oleh para generasi muda di berbagai instansi pemerintah daerah, menyumbangkan banyak perubahan terhadap pelayanan publik, pun terhadapan raihan pendapatan sebuah daerah.  Bahkan seakan terjadi kompetisi dalam hal pelayanan publik di berbagai instansi, sehingga kualitas pelayanan publik semakin meningkat seiring dengan indeks kepuasan dan kepercayaan masayarakatnya.

OptimalkanTeknologi Iinformasi dan Komunikasi  (TIK)

Saat ini hampir setiap pemerintahan daerah di berbagai provinsi di Indonesia yang melakukan berbagai terobosan pelayanan publik. Tidak hanya ditingkat kepala daerah, bahkan untuk ditingkat kepala cabang, fenomena menciptakan terobosan inovatif dan kreatif pun berlangsung. Semua instansi yang bergerak dalam layanan publik, berlomba untuk melayani masyarakatnya dengan memberikan yang terbaik.

Setiap Pemerintah Daerah mulai menyadari bahwa pelaksanaan otonomi daerah tidak semata-mata bagaimana meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), melainkan bagaimana mereka menarik investor agar mau menanamkan modalnya ke daerah mereka, serta penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Inilah Cakrawala baru yang terjadi di dalam pemerintahan daerah, mereka tidak hanya menggunakan cara-cara pendekatan publik yang tradisional, namun juga melek teknologi informasi dan komunikasi.

Beberapa daerah telah mengadopsi kebijakan untuk memberikan pelayanan perijinan dengan bentuk yang bervariasi. Pemerintah daerah berusaha memberikan pelayanan perijinan bisa semudah, semurah dan secepat mungkin. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Centre for Development Studies Institut Pertanian Bogor (IPB), beberapa daerah sudah memulai membentuk pelayanan terpadu sejak awal pelaksanaan otonomi daerah. Berikut contoh diambil dari studi IPB:

  1. 1.       Tahun 2001:

a)      Kota Malang

b)      Kota Pare-Pare

c)       Kabupaten Sidoarjo

  1. 2.       Tahun 2002

a)      Kota Sragen

b)      Kota Pontianak

  1. 3.       Tahun 2005

a)      Kabupaten Lebak

Jika dilihat dari rentang waktu, sepertinya setiap daerah saling mengadopsi inovasi dan kreatifitas pelayanan publiknya. Bahkan yang terjadi adalah saling mempelajari dan melengkapi, sehingga inovasi tersebut tepat sasaran dan benar-benar diperlukan oleh masyarakat yang dinamis. Untuk itu di zaman komputerisasi dan digital ini, setiap pemerintah daerah harus bisa memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seoptimal mungkin. Pelayanan yang efisien dan efektif, harus sudah ada digenggaman masyarakat.

Berkaitan dengan kemajuan teknologi komunikasi misalnya, kemampuan masyarakat untuk memiliki telepon cerdas (smartphone) semakin meningkat, bahkan ditunjang dengan serbuan produk murah dari ‘Negeri Tirai Bambu’. Jika masyarakat dulu menggunakan telepon genggamnya untuk menelepon, menuliskan SMS, sekarang melalui fasilitas yang terdapat di smartphone, masyarakat bahkan mampu melakukan transaksi perbankan, ataupun jual-beli lebih efisien dan efektif. Maka sudah tepat dan saatnya jika instansi pemerintah yang bergerak  melayani publik, memanfaatkan fasilitas yang terdapat di dalam smartphone untuk mengoptimalkan pelayanannya.

Meski demikian mutkahirnya TIK namun tanpa pengakuan dan legitimasi masyarakat, inovasi pelayanan publik tidak berarti. Untuk itu diperlukan partisipasi masayarakat dalam menguji tingkat keefektifan dan keefektifitasan inovasi yang akan diaplikasikan. Inovasi yang dimiliki oleh pemerintah harus sesuai dengan kebutuhan dan atau sesuatu yang sering dikeluhkan oleh masyarakat.

Partisipasi masyarakat untuk setiap kebijakan publik adalah proses mengekspresikan gagasan sekaligus menyalurkan keluhan terhadap pelayanan pemerintah yang dianggap kurang memuaskan. Sarana partisipasi dimaksudkan agar masyarakat: bisa didengar (to be heard), bisa dipahami (to be understood), bisa dihormati (to be respected), bisa mendapatkan penjelasan (an explanation), bisa mendengarkan permintaan maaf (an apology) dari pemerintah dan bisa mendapatkan informasi mengenai perbaikan (remedial actions) atas kesalahan yang sudah dilakukan oleh pemerintah.***