Menumbuhkan Ekosistem Inovasi dari E-Samsat

Pada 22 November lalu, sebuah tonggak sejarah pelayanan publik di Jawa Barat terjadi di Bandung, manakala inisiasi Dinas Pendapatan (Dispenda) Provinsi Jabar melahirkan layanan bernama E-Samsat.  

Perpaduan layanan berbasis teknologi informasi komunikasi (TIK), yakni antara pesan singkat/SMS, anjungan tunai mandiri/ATM, dan teknologi perbankan, melahirkan inovasi yang memudahkan masyarakat.
Di titik awal ini, dengan merujuk data geografi, apresiasi layak disematkan kepada Dispenda Provins Jabar. Mengapa? Badan Pusat Statistik pada tahun 2014 ini melansir data, penduduk kota di Indonesia telah mencapai lebih dari 50% dari total populasi penduduk Indonesia.
Jumlah ini cenderung meningkat setipa tahunnya, sehingga diperkirakan jumlah penduduk yang tinggal di daerah urban akan mencapai 67% pada tahun 2035 nanti. Hal ini terjadi karenan naiknya kelahiran dan urbanisasi imbas daya tarik
perkotaan.
Situasi ini lantas menciptakan berbagai permasalahan khas perkotaan, seperti penurunan kualitas pelayanan publik, berkurangnya ketersediaan lahan pemukiman, kemacetan di jalan raya, membengkaknya tingkat konsumsi energi,
penumpukan sampah, peningkatan angka kriminal, dst.
Masalah-masalah ini akan terus bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan semua masalah tersebut tidak dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat jika pemerintah daerah masih memberikan layanan konvensional.
Untuk itulah, sebagai titik awal tadi, Dispenda sudah jelas dan tegas berupaya memberikan terobosan layanan berbasis teknologi informasi yang setidaknya akan banyak mereduksi aneka problem perkotaan tadi.
Jika mengacu Dokumen Umum Ganesha Smart City (2014)  yang disusun Prof. Dr. Ir. Suhono Harso Supangkat, M. Eng. dkk, dengan narasumber utama antara lain Prof. Dr. Ir. Roos Akbar, M.Sc dan Prof. Utomo, maka E-Samsat adalah bentuk nyata dari konsep Smart City.
Kota cerdas adalah yang antara lain menciptakan penerapan dan kolaborasi ekosistem kota, antara lain pemerintah (Dispenda dan Polri), industri (Jasa Raharja dan bJb), maupun masyarakat umum.
Bukan sekedar melakukan bersama, sebab menurut Gruber dalam Zhu et Al (2002), Smart City itu merepresentasikan kemampuan sebuah kota menyediakan layanan terhadap individu/masyarakat untuk bereksplorasi dalam dunia maya dengan kecepatan lingkungan dalam menyediakan informasi yang dibutuhkan tentang kota tersebut.
Jonathan (2006) juga menyebutkan Smart City adalah pengembangan kota berbasis ICT dimana tersedianya informasi dan infrastruktur terintegrasi antara pemerintah daerah dengan komponen bisnis , masyarakat, dan potensi daerah kota tersebut.
Konsep ini sendiri melibatkan 3 (tiga) komponen, yakni teknologi, proses,
dan manusia. Teknologi berperan sebagai enabler yang
mempercepat terjadinya perubahan. TIK adalah salah satu contoh teknologi yang saat ini terbukti dapat memberikan perubahan gaya hidup manusia di dunia. Sementara komponen manusia dibutuhkan karena manusialah penggerak utama perubahan proses dan yang memanfaatkan teknologi tersebut.
Untuk itulah, definisi Smart City mengacu dokumen tersebut adalah: “Pengembangan dan pengelolaan kota dengan pemanfaatan TIK untuk menghubungkan, memonitor, dan mengendalikan berbagai sumber daya yang ada di dalam kota dengan lebih efektif dan efisien guna memaksimalkan pelayanan kepada warganya serta mendukung pembangunan yang berkelanjutan.”
Adapun tujuan akhir kota cerdas ini adalah untuk meyelesaikan
masalah-masalah dan mewujudkan sebuah kota menjadi kota yang sehat, aman,
nyaman, cerdas, bebas macet, punya daya saing, serta berkelanjutan.
Untuk itulah, sekalipun masih perlu waktu pembuktian, E-Samsat adalah bukti nyata implementasi konsep kota cerdas di Tatar Pasundan ini. Spirit kolaborasi TIK demi rakyat sepatutnya menjadi suri tauladan bagi yang lainnya.
Ada dua pemikiran sederhana agar pelayanan publik berbasis TIK ini tidak berhenti oleh Dispenda saja, namun menyebar ke dinas lainnya. Pertama, keinginan terus belajar dan berbenah, terutama ke sektor TIK.
Sebagai abdi negara, sudah seharusnya muncul keinginan terus meningkatkan pelayanan. Dengan peningkatan problematika perkotaan dan jumlah penduduk, tentu saja peningkatan pelayanan tak bisa dengan cara biasa.
TIK adalah cara tidak biasa, tidak konvensional karena menghimpun berbagai hal dalam pemrosesan data sehingga melahirkan kecepatan dan kemampuan mengatasi berbagai batasan eksisting.
Bayangkan jika kita memudahkan pembayaran pajak kendaraan tapi harus bolak-balik ke kepolisian, Jasa Raharja, dan bJb dalam hari yang sama? Namun TIK menerobos itu semua dengan mudah dan sederhana.
Kedua, lahirkan kepimpinan semua lini yang melek TIK. Boleh jadi spirit terobosan seperti Dispenda sudah bersemai di semua dinas, akan tetapi top level belum memiliki pengetahuan dan visi ke arah sana.
Untuk itulah, diperlukan proses pengembangan kapasitas maupun diseminasi informasi yang membuat pucuk pimpinan (di dinas manapun) tergugah bergerak karena tahu banyak benefit yang bisa diraih.
Semoga dua langkah sederhana ini bukan saja membuat E-Samsat memudahkan masyarakat Jabar sejak hari ini dan seterusnya, namun bisa menciptakan ekosistem layanan inovatif berbasis TIK terus bermunculan ke depan. Amin. ***