Pemerintah Selalu Hindari Pajak Berganda

Terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 158/PMK.010/2015 tentang Kriteria Jasa Kesenian dan Hiburan yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai ternyata menimbulkan salah persepsi di tengah masyarakat.

Berdasarkan aturan baru tersebut beberapa jenis hiburan yang ditegaskan untuk tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yakni:

  • Tontonan film;
  • Tontonan pergelaran kesenian, tontonan pergelaran musik, tontonan pergelaran tari, dan/atau tontonan pergelaran busana;
  • Tontonan kontes kecantikan, tontonan kontes binaraga, dan tontonan kontes sejenisnya;
  • Tontonan berupa pameran;
  • Diskotik, karaoke, klub malam, dan sejenisnya;
  • Tontonan pertunjukan sirkus, tontonan pertunjukan akrobat, dan tontonan pertunjukan sulap;
  • Tontonan pertandingan pacuan kuda, tontonan pertandingan kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan; serta
  • Tontonan pertandingan olahraga.

Tak kurang dari berbagai tokoh keagaman hingga anggota DPR menyayangkan kebijakan pemerintah ini, khususnya kebijakan yang membebaskan diskotik, karaoke, klub malam dan sejenisnya dari PPN.

Pajak Pusat dan Pajak Daerah

Yang harus dicermati adalah, Pemerintah selalu berusaha untuk menjaga kewenangan pemajakan, karena Indonesia mengenal adanya Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat dipungut oleh Pemerintah Pusat melalui kewenangan yang diberikan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Sedangkan Pajak Daerah dipungut oleh Pemerintah Daerah melalui Satuan Kerja Pendapatan Daerah yang dimilikinya.

Pajak Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Meterai, dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Mulai 1 Januari 2010, PBB Perdesaan dan Perkotaan menjadi Pajak Daerah, sedangkan PBB Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan masih tetap merupakan Pajak Pusat.

Pajak Daerah yang dipungut oleh Pemerintah Daerah meliputi Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Pajak Provinsi meliputi: Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor, Pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok. Sedangkan Pajak Kabupaten/Kota meliputi: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak sarang Burung Walet, PBB Perdesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.

Pembebasan PPN, Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Pada pasal 4A Undang-Undang (UU) PPN, ditegaskan berbagai barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN, dengan salah satu alasan terkait penghindaran pajak berganda (dipungut oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah), diantaranya:

Jenis barang yang tidak dikenai PPN, meliputi: barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan uang, emas batangan, dan surat berharga.
Jenis jasa yang tidak dikenai PPN, meliputi: jasa pelayanan kesehatan medik, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa keagamaan, jasa pendidikan, jasa kesenian dan hiburan, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa perhotelan, jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, jasa penyediaan tempat parkir, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan jasa boga atau katering.
Jika dicermati, pembebasan PPN atas barang dan/atau jasa seperti: makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, serta jasa kesenian dan hiburan merupakan beberapa contoh penghindaran pajak berganda karena atas barang dan/atau jasa tersebut sudah dipungut pajak daerah.

Aturan pengenaan PPN ini ditegaskan dalam pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012, sebagai berikut:

Jenis barang dan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 4A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Ketentuan mengenai kriteria dan/atau rincian barang dan jasa yang termasuk dalam jenis barang dan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pemerintah Pusat tentunya selalu melakukan harmonisasi peraturan terkait pemungutan pajak, guna menghindari pemungutan pajak berganda yang memberatkan pelaku usaha.

Pajak Restoran dan Pajak Hiburan

Sebagai contoh adalah pemungutan pajak restoran dan hiburan. UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD, UU Nomor 28/2009) tidak menetapkan besarnya tarif pajak restoran dan hiburan suatu daerah, namun menentukan batas tarif pajak tertinggi yang dapat dipungut daerah.

Untuk tarif pajak restoran, Pasal 40 Ayat (1) UU PDRD menentukan batas tertinggi 10 %. Sedangkan sesuai pengaturan Pasal 45 Ayat (1) UU PDRD, tarif pajak hiburan tertinggi ditentukan sebesar 35 %.

Karena berdasar Pasal 45 Ayat (1) dan Pasal 40 Ayat (2) UU PDRD baik tarif pajak hiburan maupun tarif pajak restoran harus ditetapkan Peraturan Daerah (PERDA), maka pemungutan pajaknya merujuk pada PERDA tiap-tiap daerah untuk mengetahui besarnya tarif pajak tersebut.

Sebagai contoh, dapat disimak pemungutan pajak restoran dan hiburan di DKI Jakarta. Sebagai pemerintah daerah setingkat daerah provinsi yang tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota otonom, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berhak untuk memungut pajak hiburan.

Khusus untuk DKI Jakarta, besarnya tarif pajak restoran ditetapkan sebesar 10 % berdasarkan Pasal 7 PERDA DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2011. Sedangkan untuk besarnya tarif pajak hiburan menurut Pasal 7 PERDA DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2015 adalah seperti berikut:

  1. Tarif pajak untuk pertunjukan film di bioskop ditetapkan sebesar 10%;
  2. Tarif pajak untuk pagelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana yang berkelas lokal/tradisional sebesar 0%;
  3. Tarif pajak untuk pagelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana yang berkelas nasional sebesar 5%;
  4. Tarif pajak untuk pagelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana yang berkelas internasional sebesar 15%;
  5. Tarif pajak untuk kontes kecantikan yang berkelas lokal/tradisional sebesar 0%;
  6. Tarif pajak untuk kontes kecantikan yang berkelas nasional sebesar 5%;
  7. Tarif pajak untuk kontes kecantikan yang berkelas internasional sebesar 15%;
  8. Tarif pajak untuk pameran yang bersifat non komersial sebesar 0%;
  9. Tarif pajak untuk pameran yang bersifat komersial sebesar 10%;
  10. Tarif pajak untuk diskotik, karaoke, klab malam, pub, bar, musik hidup (live music), musik dengan Disc Jockey (DJ) dan sejenisnya sebesar 25%;
  11. Tarif pajak untuk sirkus, akrobat, dan sulap yang berkelas lokal/tradisional sebesar 0%;
  12. Tarif pajak untuk sirkus, akrobat, dan sulap yang berkelas nasional dan internasional sebesar 10%;
  13. Tarif pajak untuk permainan bilyar, bowling sebesar 10%;
  14. Tarif pajak untuk pacuan kuda yang berkelas lokal/tradisional sebesar 5%;
  15. Tarif pajak untuk pacuan kuda yang berkelas nasional dan tradisional sebesar 15%;
  16. Tarif pajak untuk pacuan kendaraan bermotor sebesar 15%;
  17. Tarif pajak untuk permainan ketangkasan sebesar 10%;
  18. Tarif pajak untuk panti pijat, mandi uap dan spa sebesar 35%;
  19. Tarif pajak untuk refleksi dan Pusat Kebugaran/Fitness Center sebesar 10%;
  20. Tarif pajak untuk pertandingan olahraga yang berkelas lokal/tradisional sebesar 0%;
  21. Tarif pajak untuk pertandingan olahraga yang berkelas nasional sebesar 5%;
  22. Tarif pajak untuk pertandingan olahraga yang berkelas internasional sebesar 15%.

Dengan berbagai pajak daerah yang sudah dipungut oleh Pemerintah Daerah tersebut, Pemerintah Pusat, dalam hal ini melalui kewenangan yang diberikan kepada Menteri Keuangan, menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.010/2015 sebagai penegasan dibebaskannya PPN atas jasa-jasa yang diantaranya sudah dipungut Pajak Daerah.

Menarik untuk mencermati kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang menerapkan tarif tertinggi sebesar 35% untuk panti pijat, mandi uap dan spa; serta tarif yang cukup tinggi sebesar 25% untuk diskotik, karaoke, klab malam, pub, bar, musik hidup (live music), musik dengan Disc Jockey (DJ) dan sejenisnya. Tentunya hal ini dapat dipandang sebagai upaya Pemprov DKI Jakarta untuk membatasi pelaku usaha atas jasa-jasa tersebut.

Mengakhiri Konflik, Memperbesar Kontribusi Kepada Negara

Tentunya dengan mencermati berbagai fakta di atas, konflik atas terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.010/2015 sudah selayaknya diakhiri. Hal ini juga mempertimbangkan bahwa semua pelaku usaha, baik badan maupun orang pribadi masih diwajibkan untuk membayar PPh. Besaran tarif PPh badan diatur flat sebesar 25% dari keuntungan. Sedangkan besaran tarif PPh orang pribadi bersifat progresif 5%-30% dari keuntungan.

Mengingat peran vitalnya pajak bagi pembangunan, serta sebagai salah satu wujud bela negara, sudah selayaknya kita wujudkan masyarakat yang sadar dan peduli pajak, karena #PajakMilikBersama.

Pemerintah Harus Menjadi Mitra Usaha dan Stakeholder yang Baik Bagi Pebisnis

Di Indonesia, Jawa Barat adalah sentra utama industri tekstil dengan lebih 700 pabrik dan menyerap sekitar 700.000 tenaga kerja. Industri tekstil ini mengekspor kemeja, blus, piyama, baju hangat, dan produk-produk tekstil lainnya ke Amerika Serikat (AS). Industri ini terancam dengan adanya krisis global yang bermula dari adanya penurunan daya beli masyarakat AS terhadap pembelian akan sandang.

Adanya penurunan daya beli masyarakat negara tujuan ekspor, maka permintaan akan produk tekstil berkurang, dan berdampak pada tingkat profitabilitas perusahaan yang rendah. Sedangkan di sisi lain, kegiatan produksi tetap berjalan dengan biaya produksi yang semakin meningkat. Perlu diketahui, bahan baku industri tekstil adalah kapas dan fiber yang mana bahan baku tersebut adalah impor karena di Indonesia jumlahnya tidak mencukupi untuk proses produksi. Karena bahan baku mereka impor, dengan adanya krisis global membuat biaya bahan baku melonjak dan semakin meningkatkan biaya produksi perusahaan.

Selain biaya bahan baku yang melonjak, perusahaan juga harus menanggung biaya upah tenaga kerja mereka. Dengan adanya kenaikan biaya produksi dan rendahnya profit yang diperoleh, maka mau tidak mau mereka mengurangi kegiatan produksi dan melakukan berbagai upaya efisiensi termasuk perampingan jumlah tenaga kerja. Dengan banyaknya tenaga kerja yang terserap oleh industri ini, maka bisa dikatakan industri ini termasuk industri padat karya. Jadi bisa dibayangkan, dengan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran akan berdampak pada jumlah pengangguran di Indonesia semakin meningkat.

Meningkatnya jumlah pengangguran di Indonesia maka tingkat kemiskinan juga semakin tinggi, karena banyak penduduk yang tidak memiliki penghasilan. Pengangguran sebenarnya bukan masalah baru di Indonesia. Pengangguran sendiri, adalah suatu kondisi dimana terjadi kelebihan jumlah pekerja yang ditawarkan dibandingkan permintaan. Jenisnya sendiri terbagi menjadi pengangguran friksional, struktural, siklis,dan musiman. Dan kondisi pengangguran yang akan kita alami adalah pengangguran siklis. Karena pengangguran ini disebabkan adanya imbas dari naik turunnya kondisi ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah dari penawaran.

Memang selalu tejadi trade-off antara pengangguran dengan tingkat inflasi, seperti yang tergambarkan jelas dalam Kurva Philip. Dimana saat angka pengangguran ingin diturunkan, angka tingkat inflasi akan meninggi,dan begitupun sebaliknya, disaat kita ingin menurunkan tingkat inflasi , angka pengangguran menjadi tinggi. Diperlukan keadaan equilibrium yang sesuai antara kedua trade-off di atas, dan tentu saja krisis global ini akan mengganggu kestabilan kurva tersebut. Selain itu di Indonesia sendiri terjadi miss antara permintaan dan penawaran tenaga kerja, ketidak mix and match-nya tenaga kerja dengan pendidikan. Misalnya saja, perusahaan banyak membutuhkan tenaga ahli yang bergerak dibidang mesin namun justru lebih banyak orang memilih untuk belajar ilmu kedokteran atau ekonomi yang realitanya, di kota-kota besar telah terjadi surplus tenaga kerja dalam bidang tersebut.

Paradigma-paradigma seperti inilah yang harusnya diubah dan lebih diarahakan oleh pemerintah. Menurut kami ada beberapa solusi yang dapat dilakukan oleh pemerintah: * Menggalakkan UKM ( Usaha Kecil Menengah ) Menurut kami. UKM sangat penting dalam menunjang perekonomian masyarakat kecil sekaligus industri yang banyak menyerap tenaga kerja. Namun ternyata UKM jugalah yang paling resist terhadap dampak dari krisis global. UKM khususnya yang bergerak di tingkat lokal tidak akan terpengaruh oleh carut-marutnya stock-exchange di dunia, tidak akan terpengaruh oleh menurunnya impor dari negara lain, dan tentu saja tak terpengaruh oleh intervensi politik. Memberikan stimulus bagi dunia usaha Menurut kami pemerintah harus memberikan stimulus kepada dunia usaha seperti penurunan tingkat pajak agar meningkatkan kegiatan produktitivitas perusahaan dan dapat menyerap tenaga kerja dan mencegah adanya PHK. Peningkatan investasi dan tingkat konsumsi yang produktif harus maju beriringan sehingga produksi dapat meningkat. Kebijakan-kebijakan pemerintah juga harus mendukung baik kebijakan dalam maupun luar negeri.

Diversifikasi negara tujuan ekspor Selama ini kita terfokus untuk melakukan ekspor ke Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya, sedangkan negara-negara lain kurang mendapat perhatian. Karena itu perlu adanya diversivikasi terhadap negara tujuan ekspor sehingga kekacauan perekonomian yang melanda suatu negara tak akan berdampak terlalu besar terhadap negara kita.  Pemerintah harus menjadi mitra usaha dan stakeholder yang baik bagi pebisnis. Pemrintah perlu melakukan perbaikan pelayanan birokrasi dan mempermudah perizinan usaha adalah salah satu langkah konkret yang dapat mulai dijalankan seperti pemberantasan korupsi dan stabilitas ketersediaan energi juga merupakan hal-hal yang harus segera dibenahi.

Sumber: Kompasiana

Sistem Pembayaran Digital Terkendala Budaya Masyarakat

Sistem Pembayaran Digital akan berkembang pesat di Indonesia jika budaya masyarakat dalam aspek keuangan berubah. “Masih lebih banyak facebooker dari pada pemilik akun bank”, dikatakan Menkominfo Rudiantara saat menjadi narasumber pada acara Business Luncheon di Financial Club Graha CIMB Niaga, Senin (16/11).

Menurut Menteri Rudiantara di tengah perkembangan teknologi yang demikian pesat, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang lebih memilih melakukan pembayaran dengan menggunakan uang tunai. “Hal ini disebabkan budaya dan latar belakang masyarakat Indonesian yang sebagian besar masih belum terjamah dengan produk-produk perbankan bahkan ada yang merasa tidak nyaman dengan teknologi pembayaran yang sarat akan isu keamanan, dan menjadikan uang tunai sebagai primadona dalam setiap kegiatan transaksi pembayaran,” jelasnya.

Rudiantara mengakui di tengah perkembangan teknologi yang semakin canggih dan semakin besarnya nilai transaksi serta makin tingginya resiko yang dihadapi, masyarakat membutuhkan sistem pembayaran yang aman dan lancar menjadi semakin penting. Dengan adanya jaminan keberhasilan sistem pembayaran itu maka dapat mendukung perkembangan sistem keuangan dan perbankan guna menciptakan kestabilan perekonomian.

Hambatan Budaya

Perkembangan alat pembayaran di Indonesia bisa dikatakan maju pesat. Mulai dari pembayaran tunai (case based) ke alat pembayaran non tunai (non cash). Namun sesuai data World Bank pada Global Financial Inclusion Database 2015 baru 35,9% orang dewasa di Indonesia yang memiliki rekening di lembaga keuangan formal. Namun, Rudiantara optimistis jika sistem pembayaran digital akan berkembang pesat.

Financial exclusion (keuangan inklusif) di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan data, jika dibandingkan dengan Filipina, Malaysia, Thailand, bahkan India dan China yang memiliki jumlah penduduk jauh lebih besar dibandingkan Indonesia,” tutur Menteri Kominfo.

Salah satu penyebab rendahnya keuangan inklusif di Indonesia adalah masih rendahnya jangkauan teknologi informasi dan minimnya infrastruktur di daerah-daerah pelosok di Indonesia. Sementara untuk menciptakan keuangan inklusif dibutuhkan adanya industri keuangan yang dapat bersentuhan langsung dengan masyarakat. “Melalui dukungan sistem pembayaran digital yang handal, cara ini menjadi solusi pengembangan keuangan inklusif di Indonesia,” jelas Menteri Rudiantara.

Menkominfo juga mengatakan hasil refarming frekuensi akan memberikan kemampuan 10 kali lebih cepat dalam komunikasi 4G, tapi untuk bank hanya perlu 2G, lewat SMS banking. Dari sudut pandang keamanan, bahkan lebih aman dari 3G. “Tidak ada alasan mengundur akses perbankan melalui internet, dan dari pada membuat seminar, sebaiknya kita langsung saja terjun membuat aplikasinya, kita punya dananya untuk membangun infrastruktur di area yang jauh,” jelas Menkominfo Rudiantara.

Menkominfo Rudiantara juga menyatakan bahwa tahun 2018 akan terhubung broadband di kota-kota besar di Indonesia, dan saat ini 56% populasi sudah tercover teknologi 2G. “Intinya mau tidak kita mulaifinancial inclusion itu,” tandasnya.

 

Ampunan yang Berjenjang

Pmerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak memberikan kebijakan penghapusan sanksi administrasi perpajakan bagi Wajib Pajak yang terlambat melakukan pembayaran. Bukan itu saja, kebijakan itu berlaku juga untuk  membetulkan laporan dan sekaligus membetulkan jumlah pajak yang harus dibayar atau disetor pada tahun 2015 .

Kebijakan semacam itu dapat dipandang sebagai bentuk pemahaman terhadap kurangnya ketaatan secara sukarela mereka yang seharusnya dibebani untuk mengalihkan sebagian kekayaan pribadi, untuk kepentingan bersama menuju sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang menjadi cita-cita luhur pendiri bangsa dengan menanamkan semangat gotong royong pembiayaan dengan landasan keadilan dalam pembebanan pajaknya.

Untuk mengurangi beban akibat kesalahan masa lalu, Direktorat Jenderal Pajak seolah memberikan keringanan pajak yang seharusnya sejak sebelumnya sudah dibayar atau disetorkan kepada Negara.

Sanksi yang dikurangkan dengan permintaan Wajib Pajak atau pembayar pajak intinya adalah sanksi berupa denda dan bunga keterlambatan pelaporan dan pembayaran. Kebijakan ini jelas menguntungkan likuiditas perusahaan atau menambah daya beli pembayar pajak.

Sebagai bentuk kebijakan masyarakat boleh saja mengkritisi, namun semangat yang ingin ditunjukan adalah bahwa ketidaktaatan bisa dipandang sebagai kesalahan kolektif akibat kurangnya pemahaman akan pentingnya pajak serta kurangnya pemahaman atas ketentuan perpajakan baik karena unsur kekhilafan atau kesengajaan yang dalam tahun ini dibukakan pintu pemaafan.

Karena pajak sebagai bentuk peralihan kekayaan individu pada Negara sudah tentu harta yang dialihkan tidak sebanyak seandainnya sanksi pajak tetap dikenakan. Kebijakan seperti ini bolehlah dipandang sebagai ampunan tahap satu dengan pemaafan yang luar biasa karena semua sanksi perpajakan dijamin dikurangkan atau dihapuskan.

Oleh karena itu sungguh disayangkan kalau kesempatan yang diberikan dengan kebijakan penghapusan sanksi tidak secara optimal dimanfaatkan karena sifatnya dijamin sanksi administrasi berkurang atau hapus.

Beban yang dipikulkan seolah diringankan sehingga diharapkan dapat digunakan untuk lebih meningkatkan kemampuan daya beli dan daya usaha serta timbulnya rasa saling pengertian antara masyarakat dengan Negara.

Suatu kesempatan baik yang tidak boleh dilewatkan, ibarat diskon terakhir yang tidak pantas disia-siakan. Kebijakan pemaafan memang tidak seharusnya diberikan terus menerus tanpa kepastian waktu, karena kharakteristik manusia yang kadang tidak mensyukuri kesempatan yang telah diberikan dan terus menunda-nunda kesempatan baik yang telah ada dan diberikan.

Oleh karena itu memang seharusnya dibatasi hanya pada tahun 2015 untuk selanjutnya ditegakan ketentuan yang semestinya dan pemberian sanksi yang lebih tegas bahkan sampai pemidanaan pada pemaksaan serta perampasan harta agar timbul kepatuhan yang bisa dipaksakan.

Tujuan kesejahteraan bersama lebih penting daripada kemakmuran segelintir orang apalagi mereka yang tamak dengan harta dan tidak mau berbagi bersama. Ketamakan ibarat air menggenang yang sarat dengan bibit penyakit yang siap-siap memunculkan kesengseraan kolektif masayarakat dan meruntuhkan sendi Negara yang bercita-cita mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat.

Pada tahun 2016, Direktorat Jenderal Pajak telah menyiapkan tahun penegakan hukum. Tahun penegakan hukum bisa dimaknai sebagai tahun untuk lebih memaksakan kepatuhan melalui pemeriksaan dan meningkatkan cakupan wajib pajak yang diperiksa dengan sanksi yang lebih besar dan tindakan penagihan yang lebih tegas bahkan sampai upaya pengajuan seseoarang sebagai pelanggar tindak pidana perpajakan dengan sanksi kurungan, penjara yang bahkan lebih besar dari pokok pajak awal yang seharusnya dibayar.

Kalau tahun 2015 yang ingin dibangun adalah sukarela, maka tahun 2016 adalah kepatuhan yang enak tidak enak harus dipaksakan. Sudah seharusnya Negara dapat lebih tegak dengan pendanaan mandiri dan bukan mengemis hutang yang akan menjerat bahkan sampai dengan anak cucu bangsa.

Mereka akan mengenang pendahulunya sebagai pendahulu yang gagal memahami tanggung jawab individu pada negaranya. Pidana penjara yang akan mengekang kebebasan individu dan mematikan seluruh potensi ekonomi karena hilangnya kesempatan hidup bebas bersama keluarga dan hilangnya kesempatan berusaha tetap pada akhirnya memang bukan pilihan terakhir yang harus dipaksakan.

Masih ada solusi pemaafan dengan membayar denda berupa uang setinggi-tingginya empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar. Tentu, sanski pidana bahkan sanksi administrasi denda sebesar itu seharusnya bisa dihindari dengan menunjukan kepatuhan yang sukarela.

Tahun 2015 sebentar lagi akan dilewati. Ampunan jilid satu yang mengurangkan atau menghapuskan sanksi pada level titik nol dari sanksi yang seharusnya terutang untuk dibayar.

Tahun 2016 hanya akan tersisa ampunan jilid dua yakni bunga dan denda yang lebih besar bahkan bisa mencapai empat kali sehingga beban pajak menjadi lima kali pokok.

Suatu jumlah besar yang mengancam kemampuan daya beli dan daya usaha pembayar pajak sendiri. Kebijakan berat yang terpaksa harus dilakukan karena keadilan dengan menciptkan kemakmuran bersama adalah cita-cita haikiki sebuha bangsa. Apalagi seandainya sanksi pidana harus diterima.

Semua yakin berusaha untuk menghindarinya. Perhitungan tinggal memasuki masa-masa akhir. Kesempatan harus dihitung mundur, jadi apalagi kesempatan yang harus dibuang. Manfaatkan ampunan jilid satu dan jangan menunggu sampai pidana yang merugikan, kecuali itu semua sudah menjadi pilihan.

Sumber: pajak.go.id

Potensi Pajak Jaring Apung Sangat Besar

Potensi pajak dari pembudidaya ikan karamba jaring apung (KJA) di Waduk Cirata dan Jatiluhur, Jawa Barat, sangat besar dan belum tergali. Di Waduk Jatiluhur terdapat sekitar 25.000 KJA dengan putaran uang sekitar Rp 1,2 triliun dan di Cirata ada 55.000 KJA dengan volume usaha lebih dari Rp 2,5 triliun.

”Nilai investasi setiap keramba jaring apung rata-rata Rp 50 juta per unit. Satu pembudidaya rata-rata memiliki empat KJA,” ujar Ketua Asosiasi Petani Ikan Danau Cirata (Aspindac) Agus Sundaya (42), Rabu (22/10) seperti dilansir dari Kompas.

Waduk Cirata yang menampung aliran Sungai Citarum terletak di tiga kabupaten, yakni Bandung Barat, Cianjur, dan Purwakarta. Adapun Waduk Jatiluhur berlokasi di Purwakarta.

Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Purwakarta Dessy Eka Putri mengatakan, pembudidaya ikan jaring apung di Waduk Jatiluhur menjadi salah satu sasaran pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 1 persen dari penghasilan berdasarkan omzet. Potensi pajak dari waduk itu sangat besar.

”Perhitungan kasar, ada sekitar 25.000 jaring apung di Jatiluhur dan secara total perputaran uang di tempat itu mencapai Rp 1,2 triliun per tahun. Nilai pajaknya cukup besar sebagai pendapatan daerah,” kata Dessy.

Ia mengatakan, pemegang nomor pokok wajib pajak (NPWP) di Waduk Jatiluhur pada 2013 sekitar 1.500 orang. Adapun PPh yang disetorkan dari waduk itu hanya Rp 3 juta. Dessy mengatakan, pihaknya terus menyosialisasikan PPh ini kepada pembudidaya ikan jaring apung.

”Ibaratnya, dari 100 ikan yang mereka tangkap, satu ekor saja berikanlah buat negara,” kata Dessy.

Wakil Bupati Purwakarta Dadan Koswara mengimbau pembudidaya ikan KJA menyetorkan PPh sebesar 1 persen dari omzet mereka. Pendapatan dari pajak sangat bermanfaat bagi pembangunan daerah.

Agus Sundaya mengatakan, pihaknya tidak keberatan apabila pemerintah daerah memungut retribusi dari para pembudidaya. Ini karena yang terkena pajak itu adalah pemilik keramba yang dinilai berkemampuan membayar 1 persen dari omzetnya. Namun, dia meminta pemerintah memberikan kompensasi dari pengeluaran retribusi itu sebab selama ini para pembudidaya KJA berjalan sendiri.

”Paling tidak pemda memberi perhatian saat kami tertimpa musibah kematian ikan massal akibat arus bawah (upwelling) yang berlangsung hampir tiap tahun,” ujarnya. Pada musibah tahun lalu, petani ikan berusaha bangkit lagi dengan meminjam modal dari bank milik BUMD. Namun, itu tidak mudah karena perbankan memiliki persyaratan yang tak bisa dipenuhi sebagian besar pembudidaya.

sumber : Kompas

Jangan Lupakan Sektor Pariwisata Sebagai Sumber PAD

Jawa Barat, sebagai salah satu provinsi besar di Indonesia dengan luas wilayah 35.377,76 Km2, dengan jumlah penduduk sebanyak 46.497.175 Juta Jiwa (Data SIAK Jawa Barat 2015). Setelah melewati berbagai dinamika, hingga terjadi pemekaran di beberapa wilayah sat ini terdapat 26 Kabupaten dan Kota, 625 Kecamatan serta 5.899 Desa atau kelurahan. Melihat data tersebut tentunya Jawa Barat memiliki banyak potensi ekonomi yang dapat dikembangkan dan ditingkatkan dari berbagai sektor.

Sudah tidak diragukan lagi provinsi yang terletak paling barat di Pulau Jawa, memiliki daya tarik tersendiri bagi siapapun (domestik maupun mancanegara) mengunjungi atau bahkan sekedar singgah belajar, mencari nafkah, namun akan terasa berat bagi mereka untuk meninggalkan tanah Parahyangan ini. Bayangkan saja betapa bahagianya di saat akhir pekan tiba, wajah-wajah para wisatawan lokal yang berdatangan ke berbagai lokasi wisata di Jawa Barat.

Sebagai contoh adalah wilayah pusat di Jawa Barat seperti Kota Bandung, kota yang memiliki potensi ekonomi terutama dari sektor pariwisata mulai dari pakaian dan kuliner. Kemudian Kabupaten Bandung Barat yang terkenal dengan wilayah sejuknya seperti Cikole, Cihideung, dan sebagainya. Di sebelah selatan Kota Bandung adalah wilayah Kabupaten Bandung, yang juga terkenal dengan berbagai obyek wisata, mulai dari kuliner hingga agrowisata.

Wilayah-wilayah tersebut hanyalah wilayah yang secara georgafiberada di pusat Jawa Barat, namun jika dipaparkan berdasarkan wilayah Jawa Barat utara, selatan, barat dan timur, obyek wisata yang dimiliki berjumlah ratusan bahkan lebih. Jadi obyek wisata di Jawa Barat bukan Gunung Tangkuban Perahu, Pantai Bayah, Pantai Ujung Genteng, Pantai Pangandaran, Pantai Batu Karas, ataupun Pantai Ranca Buaya dan Pantai Santolo, melainkan banyak ‘spot’ (titik) wisata yang indah, asri, dan memiliki nilai ekonomi di sektor pariwisata.

Lagi pula jangan memandang sempit kepariwisataan, karena bukan melingkupi obyek wisata alam saja, jangan lupakan kekayaan kuliner, kesenian, arsitektur prasejarah, sejarah bahkan kontemporer, yang memiliki daya tarik bagi parawisatawan untuk berkunjung dan berlama-lama di Jawa Barat.

Berdasarkan data Jawa Barat memiliki  kurang lebih 350 obyek wisata. Bahkan setiap obyek wisata memiliki lebih dari satu potensi, yakni sumber daya alam mulai dari gunung, rimba, laut, air, pantai dan seni budaya. Kelima potensi alam dan  satu hasil budaya (kearifan lokal) menjadi inti bisnis pariwisata di Jawa Barat. Melalui kelima tersebut sudah seharusnya, Pendapatan Asli Daerah pun bertambah mulai dari retribusi,  dan pajak  restoran, hotel, dan fasilitasn penunjang lainnya.

Namun apa sih Pariwisata itu? Dan tentunya apabila dihubungkan dengan nilai ekonomi sudah tentu membicarakan uang, penghasil uang alias industri. Jadi Pariwisata sebagai industri adalah sesuatu yang harus digali oleh berbagai pihak baik pemerintah maupun masyarakat.

Wisata memiliki banyak definisi, menurut Richard Sihite dalam Marpaung dan Bahar (2000:46-47) menjelaskan pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan orang untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari suatu tempat ke tempat lain meninggalkan tempatnya semula, dengan suatu perencanaan dan dengan maksud bukan untuk berusaha atau mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi semata-mata untuk menikmati kegiatan pertamsyaan dan rekreasi atau untuk memenuhi keinginan yang beraneka ragam.

Berbeda dengan H. Kodhyat (1983:4) pariwisata adalah perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu.

Sementara ndapat yang dikemukakan oleh Yoeti, (1991:103), pariwisata berasal dari dua kata, yakni Pari dan Wisata. Pari dapat diartikan sebagai banyak, berkali-kali, berputar-putar atau lengkap. Sedangkan wisata dapat diartikan sebagai perjalanan atau bepergian yang dalam hal ini sinonim dengan kata ”travel” dalam bahasa Inggris. Atas dasar itu, maka kata ”Pariwisata” dapat diartikan sebagai perjalanan yang dilakukan berkali-kali atau berputar-putar dari suatu tempat ke tempat yang lain, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan ”Tour”.

Dari ketiga definisi para ahli tersebut dapat diambil satu benang merah, yakni perpindahan individu ataupun kelompok manusia dari satu daerah ke daerah yang untuk mendapatkan kepuasan lahir maupun batin.

Sementara secara industri, Pemerintah Republik Indonesia telah merumuskan secara jelas melalui Undang-Undang RI No 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, yang menyebutkan bahwa Industri pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata.

Atau jika dilihat dari UU RI No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan pada Pasal 1 ayat/butir 9 disebutkan Industri pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata.

Dari definisi di atas penyelenggaraan pariwisata dapat diartikan sebagai komponen-komponen yang menunjang sebuah obyek wisata mulai dari industri kerajinan, perhotelan, angkutan dan lain sebagainya. Sehingga dari penjelasan tersebut sudah semakin terlihat potensi Pendapatan Asli Daerah dari sektor pariwisata, melalui retribusi dan pajak.

 

Pemerintah Daerah semakin memiliki kebebasan untuk mengolah berbagai potensi daerahnya termasuk salah satunya obyek dan daya tarik wisata. Kebebasan tersebut tiada lain adalah dengan jaminan yang diberikan Pemerintah Pusat melalui Undang Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Pemeritahan Daerah, dan Undang-Undang No.25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dari kedua UU tersebut Pemerintah Daerah memiliki kewenangan dan keleluasaan untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang nyata, lugas dan bertanggung jawab.

 

 

 

 

 

 

Membangun Masyarakat Informasi

Membangun masyarakat informasi, dimaksudkan sebagai upaya menciptakan kesadaran masyarakat untuk melek informasi. Menjadikan informasi sebagai kebutuhan dasar, seperti makan dan minum. Salah satu syarat tercapainya masyarakat informasi, tentu dengan kemudahan akses teknologi komunikasi, serta literasi memadai, agar teknologi tidak disalahgunakan (unuseefull).

Berkelanjutan, dimaksudkan sebagai kegiatan yang ramah alam, tidak mengenal ke-ausan (jenuh). Istilah zaman disebut sebagai Green Network. Masa-masa pertumbuhan masyarakat informasi ini harus didukung, melalui tindakan koperatif terkait Internet sehat, bermanfaat dan membangun kesadaran informasi bangsa.

Terobosan menarik, e-goverment yang digaungkan pemerintah, merupakan presedence baik, bahwa pemerintah berkomitmen membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih efisien, lebih transformatif.

Bisa dibayangkan, berapa pohon yang dikorbankan hanya untuk mencetak kertas formulir Kartu Tanda Penduduk (KTP)? Kartu Keluarga? Form pendaftaran lelang, tender pemerintah, dan banyak lagi kertas-kertas lainnya.

Maka tercetus gagasan produktif, lahirnya e-ktp ditujukan untuk mereduksi itu semua, seyogyanya e-ktp adalah satu kartu penyimpan banyak data yang sebelumnya tercerai-berai emalui kartu-kartu di atas. Pada kronologi lainnya, e-samsat, e-govt, e-tax, dan e for another electronic harus terus tumbuh dan berkembang untuk melayani segenap anak bangsa.

Masyarakat informasi, diperlukan untuk membuka gerbang baru bagi interaksi warga. Satu contoh sederhana, seorang Gubernur bukan lagi produk elitis, tetapi Gubernur merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri, berkomunikasi secara pribadi melalui jaringan Twitter, Facebook. Begitu juga, Walikota tidak berjarak lagi dengan masyarakat. Keluh kesah, apresiasi, semua langsung disampaikan tanpa perantara. Kondisi tersebut baik, dimana jarak antara pemangku kepentingan begitu dekat, seolah mereka tidak terbatas jabatan.

Inilah kita, hidup dalam galaksi jaringan komunikasi, hingga dunia kita turut bergeser menjadi virtual. Masyarakat pun menamai diri sebagai VirtualCommunity atau masyarakat maya. Virtual community memiliki karakter interaksi yang hampir sama dengan masyarakat dunia nyata, hanya saja mereka yang berada di wilayah maya tidak memiliki struktur dan pola komunikasi yang konfensional, masyarakat maya memiliki kontrol yang sangat kecil sehingga sulit untuk mengelompokkan mereka ke dalam jaringan komunikasi konfensional.

Masyarakat maya terbangun dari jaringan-jaringan sosial yang dibuat oleh komunitas itu sendiri, ranah mereka adalah blog, jejaring sosial semisal facebook, twitter, clickers, friendster, koprol, dan jaringan Internet lainnya. secara demography dan geography tidak bias ditentukan, karena identitas mereka adalah hak privasi mereka sendiri. Dari asumsi ini pula muncul teori McLuhan yakni the Global Village.

Masih menurut Chastell, bahwa masyarakat informasi disatukan oleh kesamaan kultur, tidak terbedakan, apakah masyarakat Timur, Tengah dan Barat. Jika rujukannya adalah Jawa Barat, mereka yang bukan Sunda sekalipun tetap disatukan oleh jaringan informasi ini. Dengan alur cerita demikian, maka pemerintahan yang transparan, serta warga yang peduli. Akan terlihat bermunculan, transparansi untuk kemudahan kontrol, kritis untuk kemajuan kebijakan yang memihak, tentu memihak pada warga.

Internet dengan segala kelebihan aksesnya, membawa serta kekurangan yang takmungkin dinafikan. Penyalahgunaan, menjadi embrio lahirnya cybercrime, sudah menjadi tugas bersama, baik itu pemerintah maupun masyarakat untuk menumbuhkan dominasi Internet sehat, agar penyalahgunaan Internet menjadi mioritas, bersyukur apabila bisa dihapuskan.

Berbagi tugas, pemerintah mengatur regulasi serta menciptakan sistem bagi Internet sehat, semisal melakukan sensor terhadap materi akses yang merujuk pada amoral. Sedang masyarakat, bertugas meliterasi masyarakat lainnya untuk sadar teknologi. Dengan sadar Internet, bangsa semakin cepat melakukan penetrasi kemajuan yang informatif.

Meninjau Pajak Transaksi Online

Saat ini, pengguna smartphone di Indonesia baru mencapai 23% dari total pengguna ponsel. Pengguna smartphone tahun 2013 meningkat dari tahun 2012 yang menembus angka 19%.

Lantas, seperti dilansir Nielsen ODM pada Februari 2014, 70% pengguna smartphone menggunakan Facebook sebagai jejaring sosial favorit mereka, diikuti Twitter (36%) dan Google+ (11%).

Netizen, kepanjangan internet citizen, alias warga internet yang gunakan minimal 3 jam sehari ada 36 juta orang di Indonesia. Dari jumlah itu, pembeli online sekitar 7 juta orang atau hampir 20% dari total netizen.

Diperkirakan, nilai pasar dari e-commerce di negeri sudah mencapai Rp.96 triliun tahun 2013 dan kemungkinan akan meningkat 288 triliun pada tahun 2014 ini.

Data dari Nielsen menyebutkan, pengguna smartphone di Indonesia terus meningkat dan tahun ini akan menembus angka 28-30% dari total pemilik ponsel di Indonesia.

Di sisi lain, pengusaha kecil menegah di Indonesia hingga akhir 2013 ada sekitar 56 juta. 5 juta diantaranya telah menyiapkan akses dan membangun infrastruktur e-commerce.

Dengan melihat aneka statistik ini, terdapat potensi besar karena pengguna e-commerce tertarik pakai jika biayanya lebih murah dan akan kembali gunakan jika mendapat kenyamanan dari penggunaan e-commerce tersebut. Alasan motivasi lain adalah hemat waktu dan hemat biaya.

Sementara hambatannya adalah 68% merasa barang yang diterima secara online tidak bagus dan 32% kuatir akan keamanan transaksinya.

Dalam hal sikap, kepercayaan publih masih rendah terhadap online shopping. Rata- rata pembeli online hanya bertransaksi antara Rp. 100.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000.- saja. Situasi ini diyakini bakal banyak berubah apabila usaha kecil menengah (UKM) makin banyak terjun menggunakan perdagangan daring. 

Pun demikian, jika mengacu data Dirjen Pajak, baru segelintir pelaku e- commerce yang sudah memiliki NPWP. Data per Agustus 2014, ada 1.600 sampling pelaku e-commerce, 600 belum teridentifikasikan dan 1.000 sudah teridentifikasikan.

Dari 1.000 itu baru 620 yang sudah memiliki NPWP. Yang sudah memiliki NPWP sebagian besar sudah melapor tapi tidak tahu apakah yang sudah dilaporkannya itu sudah sesuai fakta yang terjadi pada saat bertransaksi.

Kondisi di lapangan ini tak membuat regulasi terlupakan. Sebab, pada Desember 2013, sudah dirilis SE-62/PJ/2013 yang menegaskan bahwa ketentuan perpajakan perdagangan daring itu sama mulai dari mendaftar, menghitung, membayar, dan melapor.

Misalmya untuk Pajak Penghasilan, objek pajaknya adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Untuk Pajak Pertambahan Nilai berupa penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah pabean; impor Barang Kena Pajak Pemanfaatan baran Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatna Jasa Kena Pajak dari luar Daerah pabean di dalam Daerah Pabean; dan Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Untuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah berupa penyerahan dan impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.

Dengan situasi demikian, baik bagi pelaku usaha daring maupun konsumennya di Jawa Barat, tidak ada pengecualian apalagi keistimewaan terkait ini transaksi di dunia maya ini.

Jangan pernah berpikir karena ini mediumnya baru dan relatif tidak kasat mata, maka kita bisa tipu daya semua pihak. Sepatutnya, jika kita sadar arti penting pajak bagi pembangunan, apapun mediumnya, tetaplah patuh bayar pajak! ***

Pelayanan Publik Menuju Smart City dan Cyber Province

Jika mengacu Dokumen Umum Ganesha Smart City (2014)  yang disusun Prof. Dr. Ir. Suhono Harso Supangkat, M. Eng. dkk, dengan narasumber utama antara lain Prof. Dr. Ir. Roos Akbar, M.Sc dan Prof. Utomo, maka E-Samsat adalah bentuk nyata dari konsep Smart City.

Kota cerdas adalah yang antara lain menciptakan penerapan dan kolaborasi ekosistem kota, antara lain pemerintah (Dispenda dan Polri), industri (Jasa Raharja dan bJb), maupun masyarakat umum.

Bukan sekedar melakukan bersama, sebab menurut Gruber dalam Zhu et Al (2002), Smart City itu merepresentasikan kemampuan sebuah kota menyediakan layanan terhadap individu/masyarakat untuk bereksplorasi dalam dunia maya dengan kecepatan lingkungan dalam menyediakan informasi yang dibutuhkan tentang kota tersebut.

Jonathan (2006) juga menyebutkan Smart City adalah pengembangan kota berbasis ICT dimana tersedianya informasi dan infrastruktur terintegrasi antara pemerintah daerah dengan komponen bisnis , masyarakat, dan potensi daerah kota tersebut.

Konsep ini sendiri melibatkan 3 (tiga) komponen, yakni teknologi, proses, dan manusia. Teknologi berperan sebagai enabler yang mempercepat terjadinya perubahan. TIK adalah salah satu contoh teknologi yang saat ini terbukti dapat memberikan perubahan gaya hidup manusia di dunia. Sementara komponen manusia dibutuhkan karena manusialah penggerak utama perubahan proses dan yang memanfaatkan teknologi tersebut.

Untuk itulah, definisi Smart City mengacu dokumen tersebut adalah: “Pengembangan dan pengelolaan kota dengan pemanfaatan TIK untuk menghubungkan, memonitor, dan mengendalikan berbagai sumber daya yang ada di dalam kota dengan lebih efektif dan efisien guna memaksimalkan pelayanan kepada warganya serta mendukung pembangunan yang berkelanjutan.”

Adapun tujuan akhir kota cerdas ini adalah untuk meyelesaikan masalah-masalah dan mewujudkan sebuah kota menjadi kota yang sehat, aman, nyaman, cerdas, bebas macet, punya daya saing, serta berkelanjutan.

Untuk itulah, sekalipun masih perlu waktu pembuktian, E-Samsat adalah bukti nyata implementasi konsep kota cerdas di Tatar Pasundan ini. Spirit kolaborasi TIK demi rakyat sepatutnya menjadi suri tauladan bagi yang lainnya.

Ada dua pemikiran sederhana agar pelayanan publik berbasis TIK ini tidak berhenti oleh Dispenda saja, namun menyebar ke dinas lainnya. Pertama, keinginan terus belajar dan berbenah, terutama ke sektor TIK.

Sebagai abdi negara, sudah seharusnya muncul keinginan terus meningkatkan pelayanan. Dengan peningkatan problematika perkotaan dan jumlah penduduk, tentu saja peningkatan pelayanan tak bisa dengan cara biasa.

TIK adalah cara tidak biasa, tidak konvensional karena menghimpun berbagai hal dalam pemrosesan data sehingga melahirkan kecepatan dan kemampuan mengatasi berbagai batasan eksisting.

Bayangkan jika kita memudahkan pembayaran pajak kendaraan tapi harus bolak-balik ke kepolisian, Jasa Raharja, dan bJb dalam hari yang sama? Namun TIK menerobos itu semua dengan mudah dan sederhana.

Kedua, lahirkan kepimpinan semua lini yang melek TIK. Boleh jadi spirit terobosan seperti Dispenda sudah bersemai di semua dinas, akan tetapi top level belum memiliki pengetahuan dan visi ke arah sana.

Untuk itulah, diperlukan proses pengembangan kapasitas maupun diseminasi informasi yang membuat pucuk pimpinan (di dinas manapun) tergugah bergerak karena tahu banyak benefit yang bisa diraih.

Semoga dua langkah sederhana ini bukan saja membuat E-Samsat memudahkan masyarakat Jabar sejak hari ini dan seterusnya, namun bisa menciptakan ekosistem layanan inovatif berbasis TIK terus bermunculan ke depan. Amin. ***

Sinergitas Untuk Kemajuan Bersama

Kita ketahui bersama, anggaran bagi pengumpul anggaran ini tak pernah benar-benar ideal. Yang terjadi kemudian adalah petugas harus selalu kreatif karena capaian target biasanya tidak pernah mau tahu kesulitan.

Jika anggaran diumpamakan alat pancing, alat sekarang mungkin masih amatiran, bukan alat pancing profesional yang selain praktis dan modern, juga bisa memancing ikan besar.

Keterbatasan anggaran membuat “tali” pancing mudah sekali putus, gagangnya pun bisa patah kapanpun. Jangankan menangkap ikan sebesar paus, mencari yang kecil-kecil pun butuh waktu tidak sebentar.

Selanjutnya tentang sumber daya manusia. Yang ideal adalah perlunya jumlah pegawai yang bukan hanya cukup, tapi juga cakap bekerja. Jadi, dari sisi kuantitas maupun kualitas sama baiknya.

Disinilah perlu kewenangan yang lebih bagi otoritas pajak untuk dapat menerapkan manajemen SDM modern, yang bisa mendapatkan pegawai yang cukup sekaligus cakap, sehingga penerimaan pajak bisa terus naik.

Kemudian soal teknologi. Benar memang perpajakan di Indonesia terus berbenah di semua sektor berkat sokongan teknologi. Akan tetapi, sifatnya masih dalam kerangka pembenahan internal dan layanan lebih baik.

Teknologi di sini, yang dibutuhkan guna mewujudkan keidealan tadi, adalah hadirnya perangkat yang mampu kian memunculkan potensi pendapatan. Siapapun tak bisa berkelit.

Ambil ilustrasi KPK yang terus bisa meraih simpati publik karena salah satunya sering berhasil melakukan operasi tangkap tangan berkat teknologi penyadapan yang canggih, modern, dan sesuai hukum.

Dengan masih banyaknya potensi pajak di negeri ini yang cenderung menyembunyikan asetnya, padahal kemiskinan terus terjadi, maka teknologi optimalisasi selayaknya didahulukan.

Akar seluruhnya, antara lain memang terkait institusi bentuk legal institusi pajak di negeri ini. Jika dibandingkan banyak negara maju, persoalan-persoalan yang muncul tadi banyak disebabkan persoalan bentuk.

Di Amerika Serikat, IRS adalah institusi perpajakan yang independen dan tak terkait lembaga manapun, sehingga mereka benar-benar leluasa dalam mengelola anggaran, gaji, hingga penerimaan pegawai.

Bahkan di Malaysia (yang penerimaan pajaknya “hanya” Rp350 triliun per tahun, bandingkan dengan Indonesia Rp1.148 triliun tahun 2013), kemandirian organisasi ini sudah diperoleh.

Imbasnya memang biaya pemungutan dapat lebih mudah disesuaikan. Bahkan untuk proses rekrutmen, instansi di Amerika Serikat bisa kapanpun menarik kalangan profesional sekalipun dari Big Four (perusahaan paling oke).

Nah, tulisan ini bukan pula menginginkan kebebasan keleluasan sefleksibel itu. Bagaiamanapun, bentuk yang ada sekarang masih yang terbaik jika melihat berbagai konstelasi yang ada.

Baik dinas ataupun dirjen perpajakan merupakan form yang masih baik dan harmonis dengan sekitarnya. Akan tetapi, perkembangan zaman membuat penyempurnaan organisasi harus terus dilakukan.

Berbagai target perpajakan yang ingin dicapai dan tak pernah surut membuat bentuk ideal organisasi harus terus diusahakan. Bahwa untuk mencapai tuntutan terus meninggi, sewajarnya diberikan alat tempur lebih mapan.

Maka itu, ekspektasi peningkatan teknologi, anggaran, dan sumber daya manusia, harus dimaknai sebagai upaya meraih tujuan dan target yang lebih besar bagi bangsa maupun masyarakat di Indonesia.