Meninjau Pajak Transaksi Online

Saat ini, pengguna smartphone di Indonesia baru mencapai 23% dari total pengguna ponsel. Pengguna smartphone tahun 2013 meningkat dari tahun 2012 yang menembus angka 19%.

Lantas, seperti dilansir Nielsen ODM pada Februari 2014, 70% pengguna smartphone menggunakan Facebook sebagai jejaring sosial favorit mereka, diikuti Twitter (36%) dan Google+ (11%).

Netizen, kepanjangan internet citizen, alias warga internet yang gunakan minimal 3 jam sehari ada 36 juta orang di Indonesia. Dari jumlah itu, pembeli online sekitar 7 juta orang atau hampir 20% dari total netizen.

Diperkirakan, nilai pasar dari e-commerce di negeri sudah mencapai Rp.96 triliun tahun 2013 dan kemungkinan akan meningkat 288 triliun pada tahun 2014 ini.

Data dari Nielsen menyebutkan, pengguna smartphone di Indonesia terus meningkat dan tahun ini akan menembus angka 28-30% dari total pemilik ponsel di Indonesia.

Di sisi lain, pengusaha kecil menegah di Indonesia hingga akhir 2013 ada sekitar 56 juta. 5 juta diantaranya telah menyiapkan akses dan membangun infrastruktur e-commerce.

Dengan melihat aneka statistik ini, terdapat potensi besar karena pengguna e-commerce tertarik pakai jika biayanya lebih murah dan akan kembali gunakan jika mendapat kenyamanan dari penggunaan e-commerce tersebut. Alasan motivasi lain adalah hemat waktu dan hemat biaya.

Sementara hambatannya adalah 68% merasa barang yang diterima secara online tidak bagus dan 32% kuatir akan keamanan transaksinya.

Dalam hal sikap, kepercayaan publih masih rendah terhadap online shopping. Rata- rata pembeli online hanya bertransaksi antara Rp. 100.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000.- saja. Situasi ini diyakini bakal banyak berubah apabila usaha kecil menengah (UKM) makin banyak terjun menggunakan perdagangan daring. 

Pun demikian, jika mengacu data Dirjen Pajak, baru segelintir pelaku e- commerce yang sudah memiliki NPWP. Data per Agustus 2014, ada 1.600 sampling pelaku e-commerce, 600 belum teridentifikasikan dan 1.000 sudah teridentifikasikan.

Dari 1.000 itu baru 620 yang sudah memiliki NPWP. Yang sudah memiliki NPWP sebagian besar sudah melapor tapi tidak tahu apakah yang sudah dilaporkannya itu sudah sesuai fakta yang terjadi pada saat bertransaksi.

Kondisi di lapangan ini tak membuat regulasi terlupakan. Sebab, pada Desember 2013, sudah dirilis SE-62/PJ/2013 yang menegaskan bahwa ketentuan perpajakan perdagangan daring itu sama mulai dari mendaftar, menghitung, membayar, dan melapor.

Misalmya untuk Pajak Penghasilan, objek pajaknya adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Untuk Pajak Pertambahan Nilai berupa penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah pabean; impor Barang Kena Pajak Pemanfaatan baran Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatna Jasa Kena Pajak dari luar Daerah pabean di dalam Daerah Pabean; dan Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Untuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah berupa penyerahan dan impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.

Dengan situasi demikian, baik bagi pelaku usaha daring maupun konsumennya di Jawa Barat, tidak ada pengecualian apalagi keistimewaan terkait ini transaksi di dunia maya ini.

Jangan pernah berpikir karena ini mediumnya baru dan relatif tidak kasat mata, maka kita bisa tipu daya semua pihak. Sepatutnya, jika kita sadar arti penting pajak bagi pembangunan, apapun mediumnya, tetaplah patuh bayar pajak! ***