Membangun Masyarakat Informasi

Membangun masyarakat informasi, dimaksudkan sebagai upaya menciptakan kesadaran masyarakat untuk melek informasi. Menjadikan informasi sebagai kebutuhan dasar, seperti makan dan minum. Salah satu syarat tercapainya masyarakat informasi, tentu dengan kemudahan akses teknologi komunikasi, serta literasi memadai, agar teknologi tidak disalahgunakan (unuseefull).

Berkelanjutan, dimaksudkan sebagai kegiatan yang ramah alam, tidak mengenal ke-ausan (jenuh). Istilah zaman disebut sebagai Green Network. Masa-masa pertumbuhan masyarakat informasi ini harus didukung, melalui tindakan koperatif terkait Internet sehat, bermanfaat dan membangun kesadaran informasi bangsa.

Terobosan menarik, e-goverment yang digaungkan pemerintah, merupakan presedence baik, bahwa pemerintah berkomitmen membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih efisien, lebih transformatif.

Bisa dibayangkan, berapa pohon yang dikorbankan hanya untuk mencetak kertas formulir Kartu Tanda Penduduk (KTP)? Kartu Keluarga? Form pendaftaran lelang, tender pemerintah, dan banyak lagi kertas-kertas lainnya.

Maka tercetus gagasan produktif, lahirnya e-ktp ditujukan untuk mereduksi itu semua, seyogyanya e-ktp adalah satu kartu penyimpan banyak data yang sebelumnya tercerai-berai emalui kartu-kartu di atas. Pada kronologi lainnya, e-samsat, e-govt, e-tax, dan e for another electronic harus terus tumbuh dan berkembang untuk melayani segenap anak bangsa.

Masyarakat informasi, diperlukan untuk membuka gerbang baru bagi interaksi warga. Satu contoh sederhana, seorang Gubernur bukan lagi produk elitis, tetapi Gubernur merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri, berkomunikasi secara pribadi melalui jaringan Twitter, Facebook. Begitu juga, Walikota tidak berjarak lagi dengan masyarakat. Keluh kesah, apresiasi, semua langsung disampaikan tanpa perantara. Kondisi tersebut baik, dimana jarak antara pemangku kepentingan begitu dekat, seolah mereka tidak terbatas jabatan.

Inilah kita, hidup dalam galaksi jaringan komunikasi, hingga dunia kita turut bergeser menjadi virtual. Masyarakat pun menamai diri sebagai VirtualCommunity atau masyarakat maya. Virtual community memiliki karakter interaksi yang hampir sama dengan masyarakat dunia nyata, hanya saja mereka yang berada di wilayah maya tidak memiliki struktur dan pola komunikasi yang konfensional, masyarakat maya memiliki kontrol yang sangat kecil sehingga sulit untuk mengelompokkan mereka ke dalam jaringan komunikasi konfensional.

Masyarakat maya terbangun dari jaringan-jaringan sosial yang dibuat oleh komunitas itu sendiri, ranah mereka adalah blog, jejaring sosial semisal facebook, twitter, clickers, friendster, koprol, dan jaringan Internet lainnya. secara demography dan geography tidak bias ditentukan, karena identitas mereka adalah hak privasi mereka sendiri. Dari asumsi ini pula muncul teori McLuhan yakni the Global Village.

Masih menurut Chastell, bahwa masyarakat informasi disatukan oleh kesamaan kultur, tidak terbedakan, apakah masyarakat Timur, Tengah dan Barat. Jika rujukannya adalah Jawa Barat, mereka yang bukan Sunda sekalipun tetap disatukan oleh jaringan informasi ini. Dengan alur cerita demikian, maka pemerintahan yang transparan, serta warga yang peduli. Akan terlihat bermunculan, transparansi untuk kemudahan kontrol, kritis untuk kemajuan kebijakan yang memihak, tentu memihak pada warga.

Internet dengan segala kelebihan aksesnya, membawa serta kekurangan yang takmungkin dinafikan. Penyalahgunaan, menjadi embrio lahirnya cybercrime, sudah menjadi tugas bersama, baik itu pemerintah maupun masyarakat untuk menumbuhkan dominasi Internet sehat, agar penyalahgunaan Internet menjadi mioritas, bersyukur apabila bisa dihapuskan.

Berbagi tugas, pemerintah mengatur regulasi serta menciptakan sistem bagi Internet sehat, semisal melakukan sensor terhadap materi akses yang merujuk pada amoral. Sedang masyarakat, bertugas meliterasi masyarakat lainnya untuk sadar teknologi. Dengan sadar Internet, bangsa semakin cepat melakukan penetrasi kemajuan yang informatif.