Hidupnya Masyarakat Jaringan

Hidup dalam zona yang serba cepat, siapa tidak mengarus zaman akan tertinggal dan taktercatat sejarah. Teknologi memiliki sisi humanis yang patut dipertimbangkan, ide Jawa Barat sebagi Smart Province, atau kota-kota yang bercita-cita sebagai Cyber City, seyogyannya tidak alergi dengan kemajuan zaman, kecanggihan alat bantu manusia, teknologi.

Ruang publik berbasis teknologi, adalah ruang efektif dalam mengomunikasikan ide dan proyek-proyek yang muncul dari masyarakat dan ditujukan kepada para pengambil keputusan di lembaga-lembaga masyarakat. Masyarakat sipil global adalah ekspresi yang terorganisir dari nilai-nilai dan kepentingan masyarakat. Untuk itu, suatu kebanggaan tersendiri ketika pemerintah kita, terutama di Jawa Barat mempraktikkan teknologi sebagai ruang gerak kerja.

Hubungan antara pemerintah dan masyarakat sipil dan interaksi mereka melalui jaringan menentukan pemerintahan masyarakat. Tentu kita tidak asing dengan cara-cara Gubernur Jawa Barat yang dapat berkomunikasi dengan warganya melalui twitter, bahkan Bapak Gubernur dapat menyebarkan informasi aktifitasnya melalui Internet, foto-foto kunjungan, tidak terkecuali foto-foto tidak formal sekalipun, semisal saat tertidur usai shalat Dzuhur di Masjid. Hal-hal humanis seperti itu hanya terjadi saat kebangkitan teknologi, dan sudah selayaknya teknologi komunikasi digunakan secara maksimal kebermanfatannya.

Bisa dibayangkan, ketika jaringan komunikasi ini hilang dari peradaban. Dengan tidak adanya link komunikasi seperti di atas, sebagaimana Manuel Castells (2008) berargumen, negara, bisa berupa pemerintahan provinsi, kehilangan legitimasi dan kepercayaan dari masyarakat, terutama dalam menangani masalah-masalah global seperti lingkungan, kemiskinan, terorisme, dan masalah trans-nasional lainnya.

Kondisi ini bentuk dari hubungan bahwa masyarakat memerlukan informasi yang terbuka dari apa yang dilakukan oleh negara, sehingga ketika informasi tersumbat karena tidak adanya akses, masyarakat akan tumbuh dalam keraguan dan meyakini tidak ada kegunaan lagi hidup bernegara. Sekali lagi, informasi menjadi punggung pemerintahan.

Masih mengacu pada penjelasan Castells, aktor-aktor di masyarakat seperti kelompok lingkungan dan organisasi lokal lainnya merupakan masyarakat sipil publik di arena yang lebih luas. Ketika masyarakat Jawa Barat mengeluhkan kinerja Gubernur melalui laman-laman virtual, bukan saja masyarakat Jawa Barat yang mengetahui, tetapi dunia juga serentak mendapatkan informasi tersebut.

Untuk itu, ranah publik baru adalah kebangkitan masyarakat jaringan yang sulit untuk dipengaruhi, apapun kekuasaan yang berdaulat karena politik tetap akan sulit membatasi akses informasi berbasis teknologi.

Setidaknya, teknologi komunikasi saat ini melahirkan Empat kemanfaatan bagi masyarakat. Pertama, pemerintah menjadi leluasa untuk berinteraksi dengan warganya. Kedua, munculnya organisasi akar rumput dan kelompok masyarakat yang tidak buta terhadap birokrasi, karena kemudahan akses informasi didapat darimana saja. Ketiga, masyarakat menjadi anggota masyarakat global, gerakan sosial global, yang bertujuan untuk mengontrol proses globalisasi sekala lokal, dan keempat terbentuknya opini publik global.

Entitas ini mengatur dan memobilisasi solidaritas warga Jawa Barat, karena ketersalingan, satu sama lain terhubung dengan mudah. Dengan demikian, masyarakat Jawa Barat yang satu, lebih kuat dan lebih maju. Semoga!

 

Hidup dalam zona yang serba cepat, siapa tidak mengarus zaman akan tertinggal dan taktercatat sejarah. Teknologi memiliki sisi humanis yang patut dipertimbangkan, ide Jawa Barat sebagi Smart Province, atau kota-kota yang bercita-cita sebagai Cyber City, seyogyannya tidak alergi dengan kemajuan zaman, kecanggihan alat bantu manusia, teknologi.Ruang publik berbasis teknologi, adalah ruang efektif dalam mengomunikasikan ide dan proyek-proyek yang muncul dari masyarakat dan ditujukan kepada para pengambil keputusan di lembaga-lembaga masyarakat. Masyarakat sipil global adalah ekspresi yang terorganisir dari nilai-nilai dan kepentingan masyarakat. Untuk itu, suatu kebanggaan tersendiri ketika pemerintah kita, terutama di Jawa Barat mempraktikkan teknologi sebagai ruang gerak kerja.Hubungan antara pemerintah dan masyarakat sipil dan interaksi mereka melalui jaringan menentukan pemerintahan masyarakat. Tentu kita tidak asing dengan cara-cara Gubernur Jawa Barat yang dapat berkomunikasi dengan warganya melalui twitter, bahkan Bapak Gubernur dapat menyebarkan informasi aktifitasnya melalui Internet, foto-foto kunjungan, tidak terkecuali foto-foto tidak formal sekalipun, semisal saat tertidur usai shalat Dzuhur di Masjid. Hal-hal humanis seperti itu hanya terjadi saat kebangkitan teknologi, dan sudah selayaknya teknologi komunikasi digunakan secara maksimal kebermanfatannya.Bisa dibayangkan, ketika jaringan komunikasi ini hilang dari peradaban. Dengan tidak adanya link komunikasi seperti di atas, sebagaimana Manuel Castells (2008) berargumen, negara, bisa berupa pemerintahan provinsi, kehilangan legitimasi dan kepercayaan dari masyarakat, terutama dalam menangani masalah-masalah global seperti lingkungan, kemiskinan, terorisme, dan masalah trans-nasional lainnya.Kondisi ini bentuk dari hubungan bahwa masyarakat memerlukan informasi yang terbuka dari apa yang dilakukan oleh negara, sehingga ketika informasi tersumbat karena tidak adanya akses, masyarakat akan tumbuh dalam keraguan dan meyakini tidak ada kegunaan lagi hidup bernegara. Sekali lagi, informasi menjadi punggung pemerintahan.Masih mengacu pada penjelasan Castells, aktor-aktor di masyarakat seperti kelompok lingkungan dan organisasi lokal lainnya merupakan masyarakat sipil publik di arena yang lebih luas. Ketika masyarakat Jawa Barat mengeluhkan kinerja Gubernur melalui laman-laman virtual, bukan saja masyarakat Jawa Barat yang mengetahui, tetapi dunia juga serentak mendapatkan informasi tersebut.Untuk itu, ranah publik baru adalah kebangkitan masyarakat jaringan yang sulit untuk dipengaruhi, apapun kekuasaan yang berdaulat karena politik tetap akan sulit membatasi akses informasi berbasis teknologi.Setidaknya, teknologi komunikasi saat ini melahirkan Empat kemanfaatan bagi masyarakat. Pertama, pemerintah menjadi leluasa untuk berinteraksi dengan warganya. Kedua, munculnya organisasi akar rumput dan kelompok masyarakat yang tidak buta terhadap birokrasi, karena kemudahan akses informasi didapat darimana saja. Ketiga, masyarakat menjadi anggota masyarakat global, gerakan sosial global, yang bertujuan untuk mengontrol proses globalisasi sekala lokal, dan keempat terbentuknya opini publik global.Entitas ini mengatur dan memobilisasi solidaritas warga Jawa Barat, karena ketersalingan, satu sama lain terhubung dengan mudah. Dengan demikian, masyarakat Jawa Barat yang satu, lebih kuat dan lebih maju. Semoga!

 

Informasi Tanpa Perbedaan

Sekedar pengingat, sebelum kita membincangkan lebih jauh terkait hubungan antara teknologi komunikasi dengan diskriminasi, atau kaitan hubungan Internet dengan kebutuhan Hak Asasi Manusia (HAM). Ada baiknya memahami dahulu apa yang dimaksud dengan HAM itu sendiri?

Merujuk pada pernyataan yang tercantum dalam Undang-Undang (UU) RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, “Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, (yang) oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun”, demikian cantuman dari bagian awal UU tersebut.

Oleh karenanya, distribusi dan konsumsi informasi menjadi urat nadi kemajuan peradaban manusia. Adanya UU tersebut adalah sebagai tindak lanjut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor VII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Isian lebih lanjut berbicara tentang hak berkomunikasi, menyebarkan informasi, juga menerima informasi.

Pada pasal 14 pada UU tersebut, secara jelas memberikan argumentasi hukum terkait hak memperoleh informasi.

Pada ayat pertama berbunyi: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya”. Setidaknya, acuan ini dapat ditafsirkan bahwa hak memperoleh informasi bersanding dengan kewajiban penyertaan manfaat, yakni untuk pengembangan diri dan lingkungan sosial, tentu tidak dapat semena-mena.

Kemudian, ayat kedua menejalskan jika “setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia”. Jelas bahwa, pasal tersebut sejatinya tunduk dan mengacu pada pasal 28F, UUD 1945 Indonesia (Amandemen ke-2, yang ditetapkan pada Agustus 2000) dan pada pasal 19, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Persatuan Bangsa Bangsa (PBB).

Penjabarannya, pada pasal 28F, UUD 1945, dinyatakan bahwa:

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Pasal 19, Deklarasi Universal HAM PBB yang dideklarasikan pada 10 Desember 1948 menegaskan:

“Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, dalam hal ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada pendapat tertentu tanpa mendapatkan gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan ide/gagasan melalui media apa saja tanpa ada batasan”.

Uraian di atas menunjukkan kebebasan bagi siapa saja. Meskipun ada jaminan untuk bebas berpendapat dan berekspresi, perlu pencermatan ebih lanjut terkait pelaksanaan hak tersebut tidaklah tanpa batas. Di Bandung, kita ingat kasus penyalahgunaan kebebasan berpendapat oleh anak muda yang dilaporkan oleh Walikota Bandung karena menyebarkan fitnah, pencemaran nama baik Kota Bandung. Demikian juga dengan kasus Florence Sihombing yang membabi buta menghina Yogyakarta beserta Sultannya.

Kebebasan tanpa batas adalah penafsiran yang keliru, penegakan hukum bukan tindakan diskriminasi, tetapi pengaturan yang lebih tertib dan etis. Lalu apa acuan pembatasan kebebasan tersebut? adalah pasal 29 ayat 2 pada deklarasi universal HAM yang sama, berbunyi:
Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain dan untuk memenuhi persyaratan aspek moralitas, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.

Kebebasan Virtual

Darimana munculnya kebebasan memproduksi, mendistribusikanserta mengkonsumsi informasi? Jawaban mudahnya adalah Internet, dan Internet secara pasti tergolong sebagai media yang mampu menjadi sarana penting dalam pemenuhan hak berpendapat dan berekspresi saat ini.

Apa pasal? Pada Juni 2011, PBB melalui Special Rapporteur bidang Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, Frank William La Rue, penuh semangat mengingatkan negara-negara, “Internet telah menjadi alat yang sangat diperlukan untuk mewujudkan berbagai hak asasi manusia, memberangus ketidakadilan, dan membantu percepatan pembangunan dan kemajuan manusia, maka memastikan (ketersediaan) akses ke Internet haruslah menjadi prioritas bagi semua negara”.

Argumentasi La Rue ini tidak serta merta menginginkan dibukanya kran sebesar-besarnya untuk negara menyediakan akses Internet bagi warganya. Ia tetap memiliki kekhawatian bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat di Internet berdampak pada banyak tantangan. Lebih lanjut, menurutnya, kebebasan berekspresi di Internet di banyak negara, kini banyak dihambat dengan cara menerapkan hukum pidana ataupun menciptakan hukum baru yang dirancang untuk dapat mengkriminalkan para pelaku kebebasan berekspresi di Internet.

La Rue memang bukan orang Indonesia, terlebih bukan Sunda, sehingga memandang kebebasan sebagi hal utama. Berbeda dengan kita yang hidup dengan teratur oleh budaya, adat kesopanan serta tindak-tanduk berkomunikasi. Tentu, aturan-aturan yang menertibkan, menentramkan sangat dibutuhkan.

Pajak Air Tanah Kota Bekasi Lampaui Target

Kepala Bidang PAD dan Dana Perimbangan Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Bekasi, Amsyiah mengklaim jika pajak air tanah pada 2015 sudah mencapai Rp. 8,65 miliar, melebihi dari target yang dipatok dalam APBD 2015 sebesar Rp. 3 miliar

Ia berpendapat bahwa penaikan tersebut karena nilai air tanah mengalami kenaikan empat kali lipat dari sebelumnya Rp. 500 per kubik menjadi Rp. 2000 per kubik. Apalagi, jumlah Wajib Pajak (WP) perusahaan yang membayar pajak air tanah tidak naik signifikan.

WP perusahaan yang membayar pajak tidak signifikan, sebab belum ada tim yang rutin melakukan pemantauan di lapangan,” tutur amsyiah.

Meski begitu, jumlah WP perusahaan yang membayar pajak air tanah tidak naik secara signifikan.

“WP tidak naik signifikan, karena memang belum ada tim yang rutin melakukan pemantauan di perusahaan,” ungkapnya

Dispenda Kota Bekasi menargetkan sumbangan pajak air tanah terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bekasi naik menjadi Rp 12 miliar dari total target PAD Kota Rp 1,58 triliun pada APBD tahun 2016.

Tentunya pendapatan dari pajak air tanah kemungkinan akan naik jika temuan DPRD Kota Bekasi yang mensinyalir ada 755 perusahaan di Kota Bekasi yang tidak membayar pajak air tanah dapat ditertibkan.

Waduh, 755 Perusahaan di Bekasi Tidak Bayar Pajak Air

Terkait temuan dilapangan yang mensinyalir bahwa 755 perusahaan di Kota Bekasi tidak membayar pajak air tanah, Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Bekasi bereaksi dengan membentuk tim pemantau khusus.

Udi Subiadi, Sekeretaris Dispenda Kota Bekasi mengatakan bahwa saat ini penetapan jumlah Wajib Pajak (WP) terhadap perusahaan pengguna air tanah adalah kewenangan Badap Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH), sedangkan kewenangan Dispenda hanya pada proses pembayaran pajak saja.

Udi membantah jika koordinasi Dispenda dengan BPLH tidak berjalan. Beberapa kali tim dari dispenda Kota Bekasi melakukan sidak dan pemantauan ke perusahaan pengguna air tanah.

“Koordinasi Dispenda dengan BPLH akan terus ditingkatkan, sehingga bisa meminimalisir potential lost yang dialami Pemkot Bekasi dari pajak air tanag,” ucapnya.

Menurutnya, Dispenda dan BPLH akan membentuk tim untuk melakukan pemantauan langsung ke perusahaan-perusahaan yang disinyalir tidak membayar pajak air tanah.

“Kami akan membentuk tim yang memantau dan mensosialisasikan kepada perusahaan yang selama ini tidak membayar pajak air tanah,” tutur udi.

Sebelumnya, DPRD Kota Bekasi yang berhasil menemukan 755 perusahaan di Kota Bekasi yang disinyalir idak membayar pajak ait tanag. Akibatnya Penghasilan Asli Daerah (PAD) berpotensi kehilangan sekitar Rp. 18 miliar selama tahun 2015.

Bahkan dari ratusan perusahaan tersebut beberapa diantaranya tidak memiliki Surat Izin Pengambilan Air Tanah (Sipa). Perusahaan yang telah memiliki Sipa juga disinyalir tidak meregistrasi ulang ke BPLH  yang seharusnya dilakukan dua tahun sekali sesuai dengan Perda No.12/2014 Tentang Pajak Air Tanah.