Menopang Jabar dari UKM

 

Sedari dulu hingga sekarang, perekonomian Indonesia didominasi usaha yang berbasis usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Ini karena mayoritas sektor ekonomi bertumpu pada sektor informal tersebut.

Situasi ini juga pastinya terjadi di Jawa Barat. Situasi ini seharusnya mencermikan pula tingkat penerimaan pajak. Sejumlah pajak daerah, terutama pajak kendaraan bemotor (PKB), seharusnya ditopang sektor UMKM.

Faktanya, sebagian besar penerimaan pajak didominasi wajib pajak besar yang jumlahnya kurang dari 1%. Jadi, sekalipun mayoritas, kontribusi dari usaha mikro masih relatif rendah dan tidak signifikan.

Ini bisa banyak hal penyebabnya. Namun yang utama kemungkinan adalah pengawasan ke UMKM belum secara optimal dilakukan. Di sisi lain, kepatuhan pajak pelaku UMKM pun masih rendah.

Karenanya, jadi tantangan Dispenda Jabar adalah bagaimana meningkatkan kepatuhan dan kontribusi penerimaan pajak daerah dari pelaku UMKM ini. Tidak mungkin namun bukan tidak mungkin.

Kita bisa mulai memecah tantangan ini dengan mengenal dengan baik usaha tersebut. UKM, menurut Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995, usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp200 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp1 milyar.

Di Indonesia, data signifikannya peran UMKM terhadap perekonomian nasional. Menurut data BPS tahun 1998, dalam periode 4 tahun mulai tahun 1994, secara umum, lebih dari 99% jumlah pengusaha yang ada adalah pengusaha pelaku UMKM (industri sekala kecil).

Mereka menyediakan 66% lapangan pekerjaan dengan nilai produksi mencakup lebih dari 88% dari total nilai produksi yang dihasilkan dan meliputi hampir semua sektor usaha: sektor pertanian (57,9%), sektor industri pengolahan (6,9%), sektor perdagangan, rumah makan dan hotel (24%) dan sisanya bergerak dibidang lain.
Data ini semakin meningkat setelah tahun 1998. Perkembangan pelaku UMKM pasca 1998 disebabkan sebagian besar pelaku UMKM dapat bertahan dalam krisis ekonomi 1997-1998 dan bahkan jumlahnya cenderung bertambah.

Menurut Partomo (1994), ada beberapa faktor yang ditengarai menyebabkan pelaku UMKM pasca krisis ekonomi malah tetap tumbuh sbb:

Pertama, produk UMKM umumnya barang konsumsi dengan elastitas permintaan terhadap pendapatan yang rendah sehingga ketika terjadi perubahan tingkat pendapatan (penurunan) akibat krisis ekonomi tidak banyak berpengaruh terhadap permintaan barang yang dihasilkan.

Kedua, sebagian besar UKM tidak mendapat modal dari bank sehingga mereka terhindar dari beban biaya bunga tinggi akibat adanya peningkatan suku bunga ketika terjadi krisis di sektor perbankan.

Ketiga, hambatan keluar-masuk dalam industri yang ditekuni pelaku UMKM hampir tidak ada.

Keempat, dengan adanya krisis ekonomi menyebabkan sektor formal banyak memberhentikan pekerjanya. Para penganggur ini akhirnya memasuki sektor informal, melakukan kegiatan usaha yang umumnya berskala kecil, akibatnya jumlah pelaku UMKM meningkat.

Namun di balik empat kekuatan tadi, kendala klasik UMKM adalah biasanya terkait dengan pengelolaan usaha (manajemen), skala ekonomi usaha, dan keterbatasan akses ke pasar dan modal.

Tantangan lainnya adalah pelaku UMKM kerap tidak punya catatan yang ada atas pelaku dan transaksi yang dilakukannya relatif tidak ada. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi administrasi pajak untuk mengawasi kepatuhan pajak.

Karena bergerak di sektor informal, ini juga menyebabkan minimnya kesadaran pelaku untuk berkontribusi pada penyediaan barang dan jasa publik yang berdampak pada rendahnya kepatuhan pajak.

Rendahnya kepatuhan pajak dari pelaku usaha mikro sementara mereka mendominasi peran dalam perekenomian menimbulkan efek pada rasa keadilan.

Pengusaha mikro yang tidak terdaftar dalam administrasi pajak, misalnya, akan menjual barang yang sama dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan pelaku usaha lain yang terdaftar.

Pelaku usaha yang terdaftar harus memungut PPN yang akan menambah harga jual ke konsumen, sementara pelaku usaha yang tidak terdaftar tidak harus melakukannya, untuk barang yang sama.

Di pihak laim, pelaku usaha yang terdaftar harus menyisihkan penghasilan yang diperoleh untuk membayar PPh terutang, padahal pelaku usaha yang tidak terdaftar dapat menikmati seluruh penghasilan yang diperolehnya.

Distorsi yang terjadi antara pelaku usaha yang terdaftar dengan pelaku usaha yang tidak terdaftar ini, dalam jangka panjang, akan mengurangi kemampuan pelaku usaha yang terdaftar dalam persaingan di pasar.

Hal ini juga akan menimbulkan disinsentif bagi kepatuhan pajak pelaku usaha terdaftar. Untuk mampu bersaing dalam pasar dengan pelaku usaha yang tidak terdaftar, mereka akan cenderung untuk menyelewengkan kewajiban perpajakan, misalnya tidak memungut PPN atau tidak membayar pajak terutang.

Menjadi tantangan bagi administrasi pajak untuk bagaimana membuat para pelaku usaha UMKM yang belum patuh pajak menjadi pelaku yang patuh dan pelaku usaha yang sudah patuh untuk tetap patuh.

Nah, jika kita sudah mengenal dengan baik seluruh ciri dan karakter UMKM tersebut, setidaknya dengan lebih kenal, maka bisa dilakukan penelaahan, inventarisasi, dan terpenting adalah lahirnya kebijakan yang disesuaikan ciri utama tersebut. Maka, menopang Jabar dari UKM bukanlah utopia karena kita bisa membuat regulasi yang sesuai dan kondusif. Betul begitu? ***