Tiga Pemahaman Penting Soal Pajak

Manakala kita mengendarai sepeda motor, lantas bertemu jalan bolong, ataupun terjebak banjir cileuncang di tengah jalan, maka kita kerapkali dongkol dengan disertai aneka sumpah serampah.
Termasuk di dalamnya adalah racauan, kekesalan, dan pertanyaan, kemanakah pajak yang tiap bulan dibayar (terutama bagi para pegawai negeri/swasta yang langsung dipotong pajak penghasilannya) ?
Di satu sisi hal ini wajar terjadi. Namun demikian, di sisi lain, terdapat beberapa hal yang perlu diluruskan atas pemahaman konvesional akan perpajakan (pusat/daerah) tentang perpajakan.
Kita awali dengan dasar hukumnya. Yakni Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir kali Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007, bahwa pajak didefinisikan sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang.
Kemudian, masih dari definisi tersebut, pembayar pajak tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pakar ilmu hukum perpajakan, Prof.Dr. P.J.A. Adriani, menegaskan, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (Undang-Undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk. Dan, gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Maka, sebagai sebuah pemahaman penting, ada tiga karakteristik yang harus ditekankan. Pertama, karakteristik pertama, pajak merupakan kontribusi wajib dan bersifat memaksa.
Karakteristik pertama pajak ini akan menarik apabila dibedah dengan teori kontrak sosial menurut John Locke. Dalam kerangka pemikiran John Locke, ada tiga pihak dalam kontrak sosial yaitu pencipta kepercayaan (the trustor), yang diberi kepercayaan (the trustee), dan yang menerima manfaat dari pemberian kepercayaan tersebut (the beneficiary).
Pencipta kepercayaan atau the trustor dan yang menerima manfaat dari pemberian kepercayaan atau the beneficiary adalah masyarakat. Sehingga masyarakat berperan penting dalam pembuatan kontrak sosial karena mereka juga yang merasakan dampak baik/buruk dari kepercayaan tersebut.
Sedangkan pihak yang diberi kepercayaan atau the trustee adalah  pemerintah atau pemegang kekuasaaan dimana ia harus bertanggung jawab kepada masyarakat atas kewenangannya tersebut.
Jadi, pajak merupakan bentuk kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Hal itu berarti, semakin banyak pajak yang dapat dikumpulkan, maka semakin besar legitimasi pemerintah. Dan juga berarti pemerintah yang legitimate mampu menciptakan tatanan kehidupan bermasyarakat yang lebih baik.
Namun faktanya, sulit untuk mengharapkan masyarakat membayar pajak dengan sukarela, sehingga pemerintah perlu mewajibkan serta memaksa masyarakat untuk membayar pajak.
Kedua, karakteristik pemungutan pajak dilakukan berdasarkan undang-undang. Tujuannya memberikan kepastian hukum serta mencegah pemerintah berlaku sewenang-wenang.
Di Indonesia, pemungutan pajak secara eksplisit terdapat pada Pasal 23 A UUD 1945 yang berbunyi, ”Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.
Pasal 23 A UUD 1945 memberikan amanat bahwa pemerintah memungut pajak harus berdasarkan undang-undang. Sehingga dibentuk Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak Penghasilan, dan Pajak Pertambahan Nilai.
Konsekuensi hukum dari dibentuknya paket undang-undang perpajakan tersebut adalah timbulnya hutang pajak bagi Wajib Pajak apabila telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kewajiban membayar pajak timbul akibat adanya undang-undang.
Ketiga, karakteristik pajak tidak memberikan kontraprestasi secara langsung. Sebetulnya pajak yang dipungut langsung masuk ke kas negara, sedangkan pegawai pajak hanya mengadministrasikannya.
Kemudian pemerintah menggunakan pajak yang dipungut untuk kebutuhan belanja seperti belanja bunga hutang, belanja subsidi, belanja kementrian/lembaga, transfer ke daerah, dana desa, dan belanja lainnya.
Oleh karena itu, penggunaan pajak tidak dapat dirasakan secara langsung, namun masyarakat tetap dapat menikmatinya dalam bentuk subsidi BBM, pembangunan jalan, dll.
Pajak juga dapat menjadi instrumen untuk mencapai kemakmuran rakyat. Contohnya, pembebasan hasil pertanian dan atau perkebunan dari Pajak Pertambahan Nilai.
Pemerintah memiliki keinginan agar petani tidak terbebani pajak sehingga dapat meraup keuntungan yang maksimal. Atau dalam rangka  meningkatkan ekspor ke luar negeri, pemerintah memberikan insentif dengan memberlakukan tarif 0%.
Nah, demikianlah tiga pemahaman penting soal pajak, yang sekiranya bisa menjelaskan dan mendudukkan persoalan dengan proporsional, berimbang, sekaligus menguntungkan banyak pihak yang terkait. **