Cukai Hasil Tembakau dan Pajak Rokok
Indonesia merupakan negara dengan populasi petani tembakau terbesar di Asia Tenggara yakni lebih dari 527 ribu jiwa. Jumlah tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan Vietnam yang memiliki petani tembakau sebanyak 220 ribu jiwa, dan Filipina dengan jumlah 55 ribu jiwa. Para petani tembakau di Indonesia tersebar di 15 daerah penghasil tembakau dengan jumlah terbesar di Jawa Timur, terbesar kedua di Jawa Tengah, terbesar ketiga di Jawa Barat.
Industri rokok mempengaruhi geraknya perekonomian diantaranya adalah menumbuhkan industri-industri yang berhubungan dengan industri rokok, menyediakan lapangan usaha sekaligus lapangan kerja bagi masyarakat di daerah penghasil rokok. Selain itu sumbangsih industri rokok terhadap perekonomian negara menyumbang 1,66% dari total Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan devisa negara melalui ekspor yang pada tahun 2013 lalu nilainya mencapai US$700 juta. Karenanya, industri rokok memiliki peranan penting dalam menggerakkan perekonomian Indonesia.
Rokok merupakan salah satu komoditi yang dikenai cukai karena memiliki karakteristik atau sifat yang telah ditetapkan dalam Undang-undang. Cukai merupakan pungutan negara yang dikenakan terhadap hasil tembakau berupa sigaret, cerutu, dan rokok daun sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang cukai yang dapat berupa persentase dari harga dasar (advalorum) atau jumlah dalam rupiah untuk seiap batang rokok (spesifik) atau kombinasi dari keduanya. Tembakau iris yang dibuat dari tembakau dalam negeri dan tidak dikemas untuk penjualan eceran atau dikemas untuk penjualan eceran dengan bahan pengemas tradisional yang lazim dipergunakan tidak dikenai cukai, terkecuali apabila dalam pembuatan tembakau iris tersebut tidak dicampur atau ditambah dengan tembakau impor dan tidak dicampur atau ditambahkan dengan bahan lain seperti saus, aroma, atau air gula. Selain adanya pencampuran atau penambahan zat lain, tembakau iris juga tidak akan dikenai cukai apabila tidak dibubuhi, dilekatkan, atau dicantumkan cap dan merek dagang yang dapat membedakan tembakau iris yang satu dengan yang lain.
Setoran cukai ke kas negara pada dua triwulan tahun 2016 hanya sebesar Rp43,72 triliun mengalami penurunan sebesar 27,26 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Dengan target penerimaan sebesar Rp148,09 triliun di Anggaran Pendapatan Belanja dan Negara Perubahan (APBNP) 2016, setoran cukai pada paruh pertama tahun 2016 masih jauh dari harapan karena hanya baru mencapai 29,52 persennya saja.
Penurunan setoran cukai ini salah satunya dipengaruhi oleh merosotnya pemasukan negara dari Cukai Hasil Tembakau (CHT), dimana realisasi penerimaan CHT pada paruh pertama tahun 2016 ini hanya sebesar Rp41,38 triliun atau hanya sebesar 29,20 persen dari target di APBNP 2016 sebesar Rp141,7 triliun. Jumlah tersebut turun 29.03 persen jika dibandingkan dengan pencapaian tahun lalu sebesar Rp58,30 triliun. Turunnya CHT ini disebabkan oleh kenaikan cukai rokok yang mulai berlaku per 1 Januari 2016, selain itu pelunasan pita cukai yang wajib dipesan sebelum 31 Desember 2015 juga turut mengurangi potensi penerimaan.
Bagi hasil CHT tahun 2016 ini telah dilaksanakan sesuai dengan keputusan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 47/PMK.07/2016 yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan pada tanggal 24 Maret 2016 dimana ada sebanyak 16 provinsi dan kabupaten/kota yang berada dibawahnya mendapatkan alokasi dana bagi hasil tersebut. Provinsi Jawa Timur dengan 39 kabupaten/kota yang ada di wilayahnya mendapatkan dana sebesar Rp1,43 triliun, sedangkan Jawa Tengah mendapatkan dana sebesar Rp633,68 milliar dan provinsi Jawa Barat mendapatkan sebesar Rp318,59 milliar.
Menurunnya setoran CHT yang diterima oleh pemerintah pusat berdampak juga terhadap menurunnya penerimaan bagi hasil CHT yang diterima oleh pemerintah provinsi Jawa Barat. Selain dari menurunnya setoran CHT yang diterima oleh pemerintah pusat, menurunnya penerimaan bagi hasil CHT yang diterima oleh Jawa Barat juga karena adanya perbedaan data jumlah penduduk yang digunakan dalam skema bagi hasil. Data penduduk yang digunakan adalah data berdasarkan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) sebesar 43 juta jiwa bukan data Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 47 juta jiwa.
Selain CHT, industri rokok juga “menyumbang” dalam bentuk pajak rokok ke kas pemerintah. Berbeda dengan CHT, dasar pengenaan pajak rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap rokok. Besarnya tarif pajak rokok telah ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok dan dipungut oleh instansi pemerintah yang berwenang memungut cukai dan disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.
Pajak rokok ini ditujukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat karena sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 mengenai PDRD pasal 31 bahwa penerimaan pajak rokok baik provinsi maupun kabupaten/kota paling sedikit dialokasikan sebesar 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat. Selain peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat, pajak rokok juga digunakan untuk penegakan hukum oleh aparat yang berwenang untuk mengawasi dan menindak peredaran rokok ilegal di masyarakat.
Pajak rokok yang dipungut disetorkan ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk contohnya adalah di kabupaten Sumedang yang pada tahun 2016 ini mendapatkan Rp41 miliar dari pajak rokok dimana pada tahun sebelumnya Sumedang hanya mendapatkan Rp33 miliar dari pajak rokok sehingga ada kenaikan sebesar Rp8 miliar. Mengingat bahwa pajak rokok dibagi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk maka dapat dikatakan bahwa ada peningkatan jumlah penduduk di kabupaten Sumedang sehingga kabupaten Sumedang mengalami peningkatan pajak rokok. Upaya untuk mensosialisasikan hidup tanpa asap rokok dan mengubah perilaku untuk tidak merokok di dalam rumah, perkantoran dan sarana publik terus dilakukan oleh pihak Dinas Kesehatan kab Sumedang, hasilnya ada peningkatan sebesar 20% rumah yang tidak ada asap rokoknya dimana sebelumnya hanya 27% saja rumah yang tidak ada asap rokoknya saat ini telah mencapai 47%.
Rokok merupakan salah satu produk tembakau yang dibakar dan dihisap asapnya dan mengandung zat adiktif dan bahan berbahaya lainnya bagi kesehatan baik secara langsung maupun tidak langsung seperti resiko terkena kanker paru yang 7,8 kali lebih besar berpotensi menyerang perokok jika dibandingkan bukan perokok dan juga resiko gangguan fertilitas dan impotensi yang berpotensi terjadi pada wanita yang aktif dan pasif merokok. Namun demikian, rokok juga memiliki peranan penting bagi pemerintah karena cukai dan pajak rokok yang disetorkan oleh industri rokok kepada pemerintah dapat digunakan untuk melakukan pembangunan dan peningkatan layanan kesehatan masyarakat.