Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Sebagai Sumber PAD

Tanah merupakan salah satu barang berharga yang setiap tahun harganya semakin merangkak naik. Oleh karena itulah, orang-orang kaya akan memilih tanah sebagai salah satu instrumen investasi jangka panjang mereka. Bukti kepemilikan atas tanah berupa akta tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Tanah. Dengan memiliki akta tanah, maka secara hukum dinyatakan Anda memperoleh hak atas tanah tersebut. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang dibidang

pertanahan dan bangunan.

Perolehan hak atas tanah adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Perolehan hak atas tanah yang dimaksudkan adalah pemindahan hak atas tanah karena :

1) jual beli;

2) tukar menukar;

3) hibah;

4) hibah wasiat;

5) waris;

6) pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;

7) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;

8) penunjukan pembeli dalam lelang;

9) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

10) penggabungan usaha;

11) peleburan usaha;

12) pemekaran usaha; atau

13) hadiah.

Selain pemindahan hak atas tanah, ada juga pemberian hak baru atas tanah yang terjadi karena:

1) kelanjutan pelepasan hak; atau

2) di luar pelepasan hak.

Kita sering melihat tulisan Sertifikat Hak Milik (SHM) atau Hak Guna Bangunan (HGB) apabila melihat iklan sewa menyewa atau iklan jual beli tanah. Selain SHM dan HGB ada empat hak atas tanah lain yang perlu kita ketahui, sehingga seluruhnya ada enam hak atas tanah yaitu :

a. hak milik;

b. hak guna usaha;

c. hak guna bangunan;

d. hak pakai;

e. hak milik atas satuan rumah susun; dan

f. hak pengelolaan.

Selain memperoleh hak atas tanah, ada juga kewajiban yang harus dipenuhi atas diperolehnya hak tersebut. Kewajiban itu adalah membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) . Definisi dari BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, dimana subjek dan wajib pajak BPHTB ini adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan atau bangunan. Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dalam hal jual beli adalah harga transaksi, jadi bila kita membeli tanah dengan harga Rp.200.000.000 maka yang menjadi dasar pengenaan BPHTB adalah Rp.200.000.000. Namun, jika NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada tahun terjadinya perolehan hak maka dasar pengenaan BPHTB yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak PBB. Tarif BPHTB ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan paling tinggi sebesar 5% (lima persen).

Secara umum besarnya BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) yang diperoleh dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP), atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus dibawah ini:

Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)                                                        xxxxxxxxxx

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)             xxxxxxxxxx

Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP)                            xxxxxxxx

Besarnya BPHTB terutang = 5 % X NPOPKP

BPHTB merupakan pajak yang dikelola oleh Kabupaten / Kota, sebagai gambaran untuk tahun 2015 lalu pendapatan pajak dari sektor BPHTB Kabupaten Bandung Barat sebesar Rp71 miliar lebih besar Rp10 miliar dari target. Sedangkan di kota Depok realisasi penerimaan BPHTB tahun 2015 adalah sebesar Rp225,17 miliar dari target Rp210 miliar. Besarnya penerimaan BPHTB tidak lepas dari semakin mengeliatnya laju pertumbuhan ekonomi di masing-masing Kabupaten / Kota dimana perolehan hak atas tanah dan atau bangunan semakin banyak.