Mengantisipasi Masalah Pajak Pada Era MEA di Jawa Barat

Dalam hitungan beberapa bulan ke depan, Jawa Barat akan segera mengalami fase ekonomi baru yakni penerapan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), yang membuat semua berada dalam posisi peluang yang setara.
Salah satu hal yang sangat terkait perpajakan adalah praktek bisnis yang memungkinkan menguntungkan di era ini karena proses distribusi barang dan jasa menjadi lebih dinamis ke depan.
Akan tetapi, sebagaimana pengalaman menunjukkan, bahwa proses perpajakan pada zaman MEA nanti juga sangat mungkin menciptakan berbagai petaka bagi Jawa Barat khususnya dan Indonesia umumnya.
Salah satu bencana itu adalah praktek transfer pricing, alias transaksi barang dan jasa antara beberapa divisi pada suatu kelompok usaha dengan harga yang tidak wajar. Bisa dengan menaikkanatau menurunkan harga, kebanyakan dilakukan oleh perusahaan global.
Hal ini dilakukan guna mengurangi jumlah profit sehingga pembayaran pajak dan pembagian dividen menjadi rendah. Motif lainnya adalah menggelembungkan profit untuk memoles laporan keuangan.
Modus transfer pricing, seperti dihimpun berbagai sumber, dapat terjadi atas harga penjualan, harga pembelian, overhead cost, bungashareholder-loan, pembayaran royalti, imbalan jasa, dan penjualan melalui pihak ketiga yang tidak ada usaha (special purpose company).
Dalam menjalankan modus ini, prakteknya pengusaha mendirikan perusahaan perantara di negara bertarif pajak rendah seperti Singapura, sebelum menjual ke pengguna akhir.
Contohnya PT.X memproduksi mobil dengan biaya Rp.700 dan menjualnya ke PT.Y (perusahaan afiliasi) ke Singapura seharga Rp.725.
PT.Y ini hanya perusahaan akal-akalan yang berada di negara berpajak rendah (tax haven country). Dari PT.Y, mobil dijual ke PT.Z dengan harga Rp.1.000. Karena PT.Y tidak ada usaha riil, yang terjadi adalah penjualan mobil dari PT.X kepada PT.Z.
Profit PT.X yang dilaporkan dalam SPT adalah Rp.725-700 atau Rp.25 per mobil. Seharusnya profit PT.X adalah Rp.1000-700=Rp.300. Selisih harga jual ini merupakan bentuk transfer pricing berupa penurunan harga, karena seharusnya pajak dikenakan atas profit sebesar Rp.300 per mobil.
Dalam akuisisi usaha juga bisa terjadi transfer pricing. Penjualan pabrik hanya dinilai dari nilai aset dan lahan pabrik. Faktor kelangsungan usaha seperti tenaga kerja, merek, dst, tidak dilaporkan sebagai nilai asset perusahaan, sehingga nilai jual perusahaan sangat rendah. Akibatnya pajak dirugikan karena pajak penghasilan atas akuisisi menjadi rendah. Pada era MEA, diduga akan banyak akuisisi untuk pertumbuhan usaha anorganik.
Praktek lainnya membayar royalti ke induk usaha. Contoh PT.A di Indonesia, selaku anak usaha XYZ Limited, mendapat lisensi untuk menjualan produk XYZ Limited di Thailand. Selain itu XYZ Limited juga memberi lisensi ke perusahaan non afiliasi di Indonesia, yaitu PT.B. Atas lisensi ini, PT.A membayar fee ke XYZ Limited sebesar Rp.10 milyar.
Dengan jumlah omset hampir sama, PT.B hanya membayar royalti ke XYZ Limited sebesar Rp.2,5 milyar. Atas perbedaan tarif royalti, kemungkinan pembayaran royalti PT.A adalah pembayaran dividen terselubung dari PT.A ke XYZ Limited selaku pemegang saham.
Lalu, bagaimana menangkal berbagai praktik ini terjadi? Bagaimana potensi dari MEA agar jadi keuntungan bersama, bukan malah merugikan semua dari kita, terutama masyarakat dan provinsi Jawa Barat??
Dilansir pajak.go.idterdapat sejumlah cara menangkalnya. Pertama, mengaktifkan peran akuntan publik. Ketentuan paragraf 9 huruf d Standar Professional Akuntan Publik (SPAP) No. 34 mengatur peranan auditor untuk menguji kewajaran perhitungan yang diungkapkan dalam laporan keuangan. Model penilaian usaha untuk pengenaan pajak harus diperluas ke penilaian atas asset non riil seperti goodwill, merek dan lisensi sehingga diketahui berapa nilai transaksi yang ada.
Kedua, memperluas kriteria transfer pricing tidak hanya related parties, tetapi melebar ke semua transaksi yang diindikasikan di bawah harga pasar wajar, termasuk dengan perusahaan non afiliasi.
Ketiga, menggunakan data pembanding Eksternal dari pelaporan DHE (Devisa Hasil Ekspor) untuk mendeteksi aliran dana dan underlying transaksi ekspor. Dalam Peraturan Bank Indonesia No.13/20/PBI/2011, seluruh penerimaan DHE harus melalui Bank Devisa, dimana eksportir wajib menyampaikan informasi tentang DHE meliputi informasi tanggal PEB, kode kantor Bea Cukai, nomor pendaftaran PEB, dan NPWP eksportir.
Keempat, mengumumkan ke publik tentang proses banding oleh wajib pajak yang melakukan transfer pricing, sebagai bentuk tekanan moral. Perlu dicermati, pada pasal 50 ayat (1) UU No.14/2002 tentang Pengadilan Pajak, disebutkan bahwa pengadilan pajak terbuka bagi publik. Dengan Pemerintah mengumumkan jalannya peradilan pajak, akan membuka mata publik bahwa perusahaan-perusahaan terkenal tersebut ternyata melakukan kecurangan untuk menghindari pajak.
Kelima, pembentukan single document window (SDW) antar negara yang telah menerapkan tax treaty, dan forum multilateral, seperti MEA dan APEC. Model SDW efektif mengawasi harga pengiriman barang antar negara produsen dan konsumen. Dengan model SDW, penerbitan invoice oleh perusahaan perantara abal-abal di tax haven country akan terkena pajak, sehingga modus transfer pricing tidak efisien untuk perusahaan tersebut. (**)