Pajak Sebagai Solusi Kesenjangan Politik

Sudah menjadi hal biasa terlihat, di tataran pemerintah manapun, sekalipun itu desa, garansi dan janji kesejahteraan menjadi tekad awal yang dilontarkan sang calon pemimpin. Bahkan, itu seolah mantra utama. 
Kita melihat dalam kampanye pemilihan, mulai dari kepala desa, kepala pemerintah kabupaten/kota, kepala pemerintah provinsi, hingga kepala negara, janji kesejahteraan tercetus sejak awal.
Sebagai bentuk menarik simpati, menjanjikan berbagai keringan hidup seolah menjadi langgam oase yang diyakini banyak calon pemimpin. Sekalipun banyak yang kemudian terasa kurang realistis.
Kita jamak melihat janji calon bupati, walikota, bahkan presiden, yang menawarkan subsidi kesejahteraan bagi RW/desa/kota dan kabupaten dengan angka fantastis. Misal subsidi satu desa Rp1 miliar per tahun!
Selain yang sifatnya benefit fantastis, janji perbaikan aneka hal juga jadi garansi. Mulai dari jalan akan dimuluskan, trotoar diperbaiki, irigasi sawah benar-benar diurus, dan banyak lagi janji lainnya.
Singkat kata, rata-rata menawarkan peningkatan anggaran pemerintah (desa hingga pemerintah pusat) guna meringankan beban hidup masyarakat kebanyakan yang memang banyak yang sudah tidak mudah.
Peningkatan alokasi bujet yang bersifat subsidi bagi masyarakat umum seolah menjadi ciri khas kampanye ataupun yang sudah mentas memimpin di tataran pemerintan manapun di negeri ini.
Kita masih hangat dalam ingatan, betapa kedua capres yang berkampanye Juni lalu, dua-duanya menjanjikan terus hadirnya subsidi bahan bakar minyak (BBM) dari APBN agar rakyat tak kesulitan hidup.
Di tingkat mikro, misalnya pemkab, sudah sering terdengar pula janji memberikan anggaran ke tingkat desa yang lebih baik. Mulai dari gaji RW, gaji guru ngaji, bahkan subsidi desa bermiliaran rupiah saat kampanye berlangsung.
Padahal, di sisi lain, kita ketahui bersama bahwa pos pendapatan pemerintah di level apapun di negeri ini relatif tidak tumbuh signifikan. Artinya, pos bujet penerimaan sebenarnya bisa dibilang itu-itu saja.
Kalaupun ada pengembangan, sifatnya masih penunjang alias belum menjadi pos baru yang belum bisa menopang apalagi menggantikan pos pendapatan pemerintah yang konvensional.
Di sinilah ketimpangan politik terjadi, manakala pos penerimaan dan pendapatan tidak sepenuhnya seimbang. Kesenjangan antara mimpi politis yang akan diberikan dengan realitas anggaran yang dimiliki.
Maka sesungguhnya, guna menjembatani kesenjangan tersebut, sudah selayaknya pajak berada di urutan pertama solusi. Baik pajak pusat, pemerintah provinsi, kota/kabupaten, dan seterusnya.
Kita masih ingat, sebelum era pilkada langsung yang kian menguatkan pola kesenjangan tadi, pajak sebenarnya sudah menjadi opsi solusi pertama setelah krisis berkurangnya penerimaan sektor migas sekitar tahun 1983.
Apalagi setelah periode tersebut, dimana pajak jelas semakin penting dalam mengatasi disparitas kesejahteraan publik dengan alokasi anggaran yang sebenarnya kita miliki.
Pajak memungkinkan terciptanya peran penting dalam mengumpulkan sekaligus mendistribusikan kekayaan negara dan masyarakat, sehingga kesejahteraan tidak berkumpul maupun berputar di situ-situ juga.
Istilahnya, manakala terjadi kemampetan antara harapan dengan kenyataan, maka salah satu yang bisa diandalkan untuk meningkatkan harapan tersebut tentu saja pajak.
Pertanyaannya kemudian, pajak seperti apa? Apa benar kewajiban ini bisa mengatasi kesenjangan politis tadi? Jawabannya sederhana, yakni pajak yang berbasis gotong royong masyarakat.
Artinya, guna mewujudkan program para pemimpin saat berkampanye, maka sebenarnya masyarakat itu sendiri yang bisa membantu mewujudukan. Mendorong terciptanya penerimaan pendapatan pemerintah lebih besar.
Dengan kata lain, konsep dari kita oleh kita dan untuk kita sepenuhnya direalisasikan. Sekiranya kita ingin semua dari kita sejahtera, maka yang bisa membantu tentu saja diri kita sendiri. Pemimpin hanyalah memfasilitasi!
Sebagai penopang terbesar anggaran pendapatan, baik di daerah maupun pusat, pajak menjadi sumber vital bagi kepala daerah dimanapun dalam menciptakan kesesuaian janji kampanye dengan program riilnya.
Jangankan Presiden terpilih Jokowi, sekalipun begawan negara seperti Soekarno dan John F. Kennedy, rasa-rasanya tidak mungkin bisa merealisasikan apapun janji politiknya sekira anggaran stagnan apalagi terus turun.
Mereka menjadi besar dan dikenang hingga sekarang, salah satunya karena mampu menggelorakan spirit berbakti dan berbagi bagi negeri (melalui pajak), sehingga anggaran negara selalu besar.
Untuk itulah, gotong royong memberikan pajak tak boleh terdengar klise. Namun percayalah, dengan realitas pajak masih sebagai kontributor utama APBD/APBN, maka di tangan kita sendiri seluruh kesejahteraan bersama ditentukan! (**)