Pajak Sebagai Penopang Otonomi Daerah

Setelah era reformasi, dorongan perubahan tak hanya kental berada di tangan masyarakat. Pemerintah daerah sebagai pelaksana roda pembangunan pun mengharapkan berbagai perubahan, termasuk dalam pengelolaan kewenangan dan keuangan secara mandiri.

Tak sebatas teknis operasional, reformasi pun memunculkan dorongan berdikari dari daerah induknya. Inilah yang kita sebut dengan otonomi daerah, dimana wilayah baru (biasa dipanggil daerah operasi baru/DOB) bermunculan di Indonesia ingin mengelola tanah dan airnya sendiri.

DOB ini bukan main banyaknya. Data dari Kementerian Hukum dan HAM, hingga akhir tahun lalu, jumlah DOB sudah mencapai 529 daerah. Jumlah itu terdiri dari 34 provinsi, 402 kabupaten, dan 93 kota. Betapa semua orang ingin mandiri karena merasa mampu mengelola.

Benang merahnya adalah spirit penyerahan sejumlah kewewenangan (urusan) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah kian hari kian besar. Termasuk di dalamnya, dan mungkin menjadi motivasi utama, adalah soal penyerahan dan pengalihan pembiayaan.

Terwujudnya otonomi daerah terjadi melalui proses penyerahan sejumlah kekuasaan/ kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah di mana implementasi desentralisasi memerlukan kemampuan daerah membiayai pelaksanaan kekuasaan/ kewenangan yang dimilikinya.

Sumber pembiayaan yang paling penting adalah sumber pembiayaan yang disebut PAD (Pendapatan Asli Daerah), dimana komponen utamanya adalah penerimaan yang berasal dari komponen pajak daerah dan retribusi daerah.

Terdapat banyak instrumen yang dapat dipergunakan oleh pemerintah daerah untuk membiayai seluruh pengeluaran yang dibebankan kepada pemda akibat didelegasikannya proses pemerintahan.

Seluruh jenis pendapatan yang diterima oleh pemerintah daerah serta seluruh jenis pembiayaan daerah yang dilakukannya dalam menjalankan tugas pemerintahan dan program pembangunan secara jelas tercantum dalam suatu anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Secara garis besar, sumber pendapatan ini dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori sumber pembiayaan. Kategori pertama adalah pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah dari sumber-sumber di luar pemerintah daerah (external source). Kategori kedua adalah pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah dari sumber-sumber yang dikelola pemerintah daerah itu sendiri (local source). Kategori pendapatan yang kedua ini merupakan pendapatan yang digali dan ditangani sendiri pemerintah daerah dari sumber-sumber pendapatan yang terdapat dalam wilayah yurisdiksinya.

Pajak daerah, sebagai salah satu komponen local source, merupakan pajak yang dikenakan oleh pemerintah daerah kepada penduduk yang mendiami wilayah yurisdiksinya, tanpa langsung memperoleh kontraprestasi yang diberikan oleh pemerintah daerah yang memungut pajak daerah yang dibayarkannya

Retribusi daerah, komponen lainnya local source, juga merupakan penerimaan yang diterima oleh pemerintah daerah setelah memberikan pelayanan tertentu kepada penduduk mendiami wilayah yurisdiksinya.

Titik Renungan
Perbedaan yang tegas antara pajak daerah dan retribusi daerah terletak pada kontraprestasi yang diberikan oleh pemerintah daerah. Jika pada pajak daerah kontraprestasi tidak diberikan secara langsung, maka pada retribusi daerah kontribusi diberikan secara langsung oleh pemerintah daerah kepada penduduk yang membayar retribusi tersebut.

Baik pajak daerah maupun retribusi daerah, keduanya diatur dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan disetujui oleh lembaga perwakilan rakyat serta dipungut oleh lembaga yang berada di dalam struktur pemerintah daerah yang bersangkutan.

Jenis-jenis pajak dan retribusi yang dipungut di daerah sangat beragam. Pemungutan pajak daerah ini harus mengindahkan ketentuan bahwa lapangan pajak yang akan dipungut belum diusahakan oleh tingkatan pemerintahan yang ada diatasnya.

Daerah propinsi memiliki 5 (lima) jenis pajak daerah, yaitu Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok.

Untuk Daerah Kabupaten/Kota, pajak daerah yang dipungut berjumlah 11 buah antara lain Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan serta yang terakhir Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Secara makro,Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari Hasil Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Pendapatan dari Laba Perusahaan Daerah dan lain-lain PAD Yang Sah. Rumus untuk menghitung Pendapatan Asli Daerah (PAD) yaitu : PAD = Pajak daerah + Retribusi daerah + Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan + Lain-lain PAD yang Sah.

Lebih luas lagi : Pendapatan Daerah = PAD (Pajak daerah + Retribusi daerah + Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan + Lain-lain PAD yang Sah) + Dana Perimbangan (Dana Bagi Hasil Pajak/ Hasil Bukan Pajak + Dana Alokasi Umum + Dana Alokasi Khusus) + Lain-lain Pendapatan yang Sah

Faktanya di lapangan, belum semua kota/ kabupaten/ provinsi baru ini disertai kemampuan pengeloaan keuangan daerah mumpuni. Belum banyak yang benar-benar bisa optimalkan potensi pendapatan di wilayahnya. Alih-alih ingin berdikari dalam mengelola keuangan, faktanya tetap masih banyak yang bergantung kucuran dana dari pemerintah pusat.

Padahal, seperti pernah diungkapkan dalam riset World Bank, jika sebuah DOB tidak punya pendapatan asli daerah 20% dari total APBD, maka sebenarnya otonomi daerah akan sulit dijalankan. Minimal 20% pendapatan asli daerah harus ada di tangan, barulah DOB bisa efektif berjalan.

Oleh karena itu, dalam kesempatan refleksi kali ini, akan menjadi titik yang baik manakala otonomi daerah mampu melihat seberapa besar kontribusi pajak dan retribusi terhadap wilayahnya. Apakah memang sudah benar-benar mampu menopang (sedikitnya 20%), atau masih jauh dari kebutuhan sesungguhnya?

Kita tak bisa menutup mata jika kota/kabupaten/provinsi baru kerap menjadi komoditas kepentingan politik elitis yang tidak disertai sikap realistis akan potensi sendiri. Juga, hanya karena didorong ego besar, keinginan mandiri muncul namun sebetulnya belum saatnya jika dilihat kemampuan PAD-nya.

Sebab itu, bagi para kepala daerah, pajak dalam era otonomi daerah, selayaknya diposisikan secara jujur dan obyektif. Jika tidak, yang banyak terjadi adalah memaksakan diri sehingga Kementerian Dalam Negeri berencana menghapuskan DOB yang gagal mandiri mulai tahun 2017 mendatang. Nah lho! (***)