Menimbang Pajak Rokok di Jawa Barat

oleh: Muhammad Sufyan (Dosen dan Technopreneur di Bandung) 

Sekalipun kesadaran akan bahaya rokok kian meninggi, salah satunya dengan terbatasnya masa beriklan rokok di media massa serta tulisan provokatif ‘Merokok Membunuhmu’ di berbagai medium kemasannya, kita tak bisa menutup mata akan kuantitas besar di dalamnya. 

Betapa masyarakat Indonesia, termasuk di Tatar Sunda ini, masih sangat candu akan lintingan tembakau ini. Bahwa fakta tak terelakkan jika batangan kretek/filter ini sudah jadi keseharian yang demikian intim bagi sebagian orang, mulai dari bangun tidur hingga akan tidur selalu terafiliasi rokok.

Maka itu, jadi tak perlu heran jika rantai ekonomi di baliknya demikian dahsyat. Memang Jabar tak punya kawasan penghasil rokok semacam Kudus di Jawa Tengah atau Surabaya di Jawa Timur. Masyarakat menggantungkan hidup, bahkan satu kota/kabupaten bertumpu pada industri rokok.

Di Jabar tak ada semacam itu, akan tetapi kita tak bisa menafikan bahwa sebagian dari pendapatan asli daerah (PAD) dari setoran pajak rokok tahun 2014 diprediksi mencapai Rp1,57 triliun! Untuk triwulan pertama tahun 2014 ini saja setoran pajak rokok mencapai Rp400 miliar. Dari setoran tersebut,

Sekalipun penerimaannya baru masuk di bulan Mei, namun kita melihat kontribusinya relatif signifikan. Sebab, dari PAD triwulan I 2014 bagi Pempro Jabar sebesar Rp4,68 triliun, ternyata nyaris 10 persennya (Rp400 miliar) disumbangkan dari pajak rokok daerah ini.

Secara keseluruhan, target pajak daerah tahun ini sebesar Rp12,215 triliun, retribusi daerah Rp57,667 miliar, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Rp273,408 miliar, sehingga total PAD dari ketiganya ditargetkan sebesar Rp13,037 triliun. Sementara dana perimbangan ditargetkan Rp2,820 trilun, pendapatan yang sah lainnya ditargetkan Rp4,050 triliun atau total keduanya mencapai Rp6,870 triliun.

Maka, dengan total PAD Rp19,907 triliun, kontribusi pajak rokok sekira 10%. Suka tidak suka, mau tidak mau, kontribusi sebesar itu memang berasal dari para perokok, dari golongan masyarakat sekitar kita yang kesehariannya tak bisa lepas dari gulungan tembakau tersebut.

Jabar menjadi provinsi dengan penduduk terbanyak, maka porsi pajak rokok yang didapat paling besar di antara yang lain. Dari setoran tersebut, mengacu Undang-Undang Nomor 28 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah, pajak rokok ini selanjutnya akan dibagikan 30% untuk provinsi dan 70% untuk kabupaten/kota.

Pasal 14 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.07/2013 yang menyatakan penyetoran penerimaan pajak rokok ke RKUD provinsi dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan pajak rokok pada periode tertentu. Jadi, bagi hasil dihitung berdasarkan rasio jumlah penduduk masing masing kabupaten/kota.

Mengacu angka estimasi setoran Rp1,57 triliun, maka akan dibagikan ke 27 Kabupaten/Kota sebesar Rp1,07 triliun sementara Provinsi Jabar mendapat Rp499,32 miliar.

Kebijakan dari Pajak Rokok

Sekalipun angkanya sangat besar, bukanlah berarti jika rokok kemudian menjadi sandaran PAD. Apapun alasannya, jika ditilik dari kesehatan, tetap lebih banyak keburukan yang dihasilkan olehnya.

Kita harus meyakini bahwa kebijakan pajak rokok ditujukan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Seperti menekanperedaran rokok ilegal, sekaligus melindungi masyarakat dari bahaya rokok.

Pertimbangan lain adalah pemberlakukan pajak rokok antara lain karena Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCT) tidak memberikan keadilan bagi daerah yang terkena dampak rokok atau tembakau. Hal itu karena DBHCT hanya diberikan kepada daerah penghasil rokok dan penghasil tembakau saja.

Itu juga sebabnya, seperti digariskan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD, walaupun dinyatakan bahwa objek pajak rokok adalah konsumsi rokok namun basis pajak rokok bukanlah konsumsi rokok melainkan cukai yang ditetapkan atas produk rokok (CHT).

Sementara jika mengacu  pasal 2 UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang cukai, pajak rokok pun dikenakan dengan empat pertimbangan sama baiknya. Yakni: (1) mengendalikan konsumsi produk-produk hasil tembakau; (2) mengawasi peredaran produk-produk hasil tembakau; (3) mengurangi dampak negatif produk-produk hasil tembakau terhadap masyarakat dan lingkungan hidup; dan (4) Menambah beban konsumsi produk-produk hasil tembakau untuk keadilan dan kesimbangan.

Menurut riset Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 2010 oleh Muhammad Yusmal Nikho, FE UI, 2010, CHT di lapangan lebih bersifat sebagai alat pengawasan dan pengendalian peredaran barang-barang kena cukai ketimbang sebagai fungsi penerimaan negara.

Instrumen yang digunakan dalam melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap barang kena cukai adalah berupa perizinan, pengawasan pabrik, dan tarif.

Untuk tahun 2010 misalnya, penerimaan CHT dalam APBN dianggarkan sebesar 55,86 triliun rupiah dengan tingkat produksi rokok sebesar 248,7 miliar batang. Pada tahun 2010, produksi Jenis rokok SKM diproyeksikan mencapai 144,44 miliar batang dengan penerimaan CHT sebesar 38,4 triliun rupiah, SPM 17 miliar batang dengan penerimaan sebesar 4,2 triliun rupiah, dan SKT 87 miliar batang dengan penerimaan sebesar 13,26 triliun.

Dengan demikian, jelaslah duduk perkaranya, bahwa keberadaan pajak rokok bukanlah sebagai legitimasi aktifitas merokok. Sekalipun angkanya besar, namun janganlah dimaknai sebagai bentuk pembenaran akan kegiatan yang jelas tidak baik untuk kesehatan ini.

Betul memang kita tak bisa menafikan manfaat besar dari setoran pajak rokok ke daerah maupun provinsi di Jabar. Namun ingatlah selalu, bukan konsumsi rokoknya yang jadi patokan, namun justru pembatasan kesehatan lah yang jadi konsideran utamanya. (**)