Mari Sikapi UU No.11 Tahun 2008 Tentang ITE Dengan Bijak

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atau lebih kita kenal dengan sebutan UU ITE telah berlaku sejak diundangkan pada tahun 2008. Sejak diberlakukan, UU ITE telah mendapat banyak masukan dan aspirasi dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi, praktisi dan juga masukan dari masyarakat. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menjawab masukan-masukan tersebut dengan melaksanakan revisi UU ITE dengan skema revisi terbatas, yang dimaksud dengan skema revisi terbatas adalah revisi yang dikonsentrasikan kepada pasal-pasal tertentu sehingga memberi ruang tidak ada lagi kriminalisasi sebagaimana diaspirasikan. Revisi juga memberi ruang untuk memberikan perlindungan hukum, ekosistem yang berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Berikut tujuh poin revisi UU ITE yang berlaku mulai tanggal 28 November 2016:
Poin pertama, untuk menghindari multi tafsir terhadap ketentuan larangan mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau memungkinkan informasi elektronik dapat diakses yang mengandung penghinaan dan/atau pencemaran nama baik pada ketentuan Pasal 27 ayat (3), dilakukan tiga perubahan sebagai berikut:
a. Menambahkan penjelasan terkait istilah “mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau memungkinkan informasi elektronik dapat diakses”.
b. Menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan, bukan delik umum.
c. Menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.
Kedua, menurunkan ancaman pidana dengan dua ketentuan, yakni:
a. Pengurangan ancaman pidana penghinaan atau pencemaran nama baik dari pidana penjara paling lama enam tahun menjadi empat tahun. Sementara penurunan denda dari paling banyak Rp1 miliar menjadi Rp750 juta.
b. Pengurangan ancaman pidana pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dari pidana penjara paling lama 12 tahun menjadi empat tahun. Pun begitu dengan denda yang dibayarkan, dari paling banyak Rp 2 miliar menjadi Rp 750 juta.
Ketiga, pelaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap dua ketentuan sebagai berikut:
a. Mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) yang semula mengamanatkan pengaturan tata cara intersepsi atau penyadapan dalam Peraturan Pemerintah menjadi dalam Undang-Undang.
b. Menambahkan penjelasan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) mengenai keberadaan informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah.
Keempat, melakukan sinkronisasi ketentuan hukum acara pada Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6) dengan ketentuan hukum acara pada KUHAP, sebagai berikut:
a. Penggeledahan atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, kini disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
b. Penangkapan penahanan yang dulunya harus meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 1×24 jam, kini disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
Kelima, memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam UU ITE pada ketentuan Pasal 43 ayat (5):
a. Kewenangan membatasi atau memutuskan akses terkait dengan tindak pidana teknologi informasi.
b. Kewenangan meminta informasi dari Penyelenggara Sistem Elektronik terkait tindak pidana teknologi informasi.
Keenam, menambahkan ketentuan mengenai “right to be forgotten” alias hak untuk dilupakan pada ketentuan Pasal 26 yang terbagi atas dua hal, yakni:
a. Setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menghapus konten informasi elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
b. Setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan informasi elektronik yang sudah tidak relevan.
Ketujuh, memperkuat peran pemerintah dalam memberikan perlindungan dari segala jenis gangguan akibat penyalahgunaan informasi dan  transaksi elektronik dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40:
a. Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan informasi elektronik yang memiliki muatan yang dilarang;
b. Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.
Dengan adanya revisi UU ITE ini, pasal pencemaran nama baik yang dulunya adalah delik umum berubah menjadi delik aduan, artinya hanya dapat diproses secara hukum jika dilaporkan oleh korban atau seseorang yang merasa menjadi sasaran. Selain perubahan tersebut, perubahan lain terkait pasal pencemaran nama baik adalah diturunkannya ancaman hukuman yang semula maksimal enam tahun menjadi empat tahun. Dengan demikian tersangka pelaku pencemaran nama baik tidak akan ditahan karena dalam KUHP disebutkan bahwa penahanan perlu dilakukan jika ancaman penjara di atas lima tahun.
Selain perubahan pada pasal pencemaran nama baik, revisi pada UU ITE ini juga menambahkan ketentuan mengenai right to be forgotten atau hak untuk dilupakan dengan menghapus konten informasi elektronik yang tidak benar berdasarkan keputusan pengadilan. Mengutip pernyataan dari Juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informasi, Noor Iza bahwa penghapusan konten dilakukan untuk semua data di internet setelah dibuktikan di pengadilan karena bertujuan untuk membersihkan nama baik seseorang. “Agar konten-konten itu tidak dapat diakses, dikeluarkan dari sistem yang terbuka atau konten-konten itu dihapus. Tidak dapat di-search juga, jadi search engine harus menghilangkan dan juga server-server harus menutup konten-konten itu agar tidak dapat diakses”.
Indonesia adalah negara pertama di Asia yang menerapkan ketentuan right to be forgotten, namun sudah banyak diterapkan di negara-negara lain khususnya di belahan barat. Hak untuk dilupakan ini merupakan konsep yang telah didiskusikan sejak tahun 2006 di Uni Eropa dan Argentina. Hak untuk dilupakan ini muncul karena adanya keinginan untuk menjalani hidup secara anonymous tanpa adanya diskriminasi dari masyarakat terkait apa yang telah mereka lakukan di masa yang lampau. Mulai bulan Februari 2016, perusahaan mesin pencari raksasa Google telah mulai melakukan pemblokiran terhadap hasil pencarian yang berasal dari wilayah Uni Eropa sebagai imbas dari implementasi Hak untuk Dilupakan. Dengan adanya peraturan Hak untuk Dilupakan membuat warga Uni Eropa dapat meminta penghapusan informasi yang terdapat pada hasil pencarian terkait dengan diri mereka yangmana informasi yang ada pada hasil pencarian tersebut dirasa telah usang atau kurang sesuai dengan keadaan mereka sebenarnya.
Revisi UU ITE yang berlaku mulai 28 November 2016 ini mengharuskan warga Indonesia yang aktif menggunakan sosial media untuk lebih berhati-hati dalam mengekspresikan pendapat mereka maupun ketika berbagi berita atau cerita dari laman Facebook milik orang lain. Karena bila ada yang merasa menjadi korban atas pendapat kita atau cerita yang kita bagikan maka orang tersebut dapat menuntut kita. Akan lebih baik bila kita belajar untuk membaca seluruh cerita atau berita sebelum kita bagikan di laman Facebook kita.