Meneropong Perjalanan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Sebagai dasar dari seluruh aktivitas Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) di Jawa Barat, tentunya kita tak bisa berpaling dari pijakan utama: UU 28/2009 tentang Pajak Derah dan Retribusi Daerah (PDRD).

34 kantor cabang Dispenda Provinsi Jawa Barat, sekalipun implementasinya bisa bervariasi tergantung lokasi yang berbeda-beda, namun seluruhnya berpijak kepada UU 28/2009 tersebut.

Menarik ditelusuri, karena sebenarnya regulasi ini sudah melewati berbagai fase dan kondisi sebelum akhirnya jadi rujukan utama saat ini. Sebelum era reformasi, sudah UU yang menjadi pijakan pembagian kewenangan keuangan ini.

Pasca reformasi, tepatnya tahun 2000, konstitusi ini berganti menjadi UU 34/2000. Namun lima tahun dijalankan, aspirasi revisi bergaung, sehingga akhirnya revisi jalan lagi dan berubah menjadi UU 28/2009.

Selain UU, pedoman penyusunan perda pajak dan retribusi daerah adalah PP 65/2000 tentang Pajak Daerah dan PP 66/2000 tentang Retribusi Daerah. Sekalipun sudah hampir lima tahun dijalankan, ada beberapa hal menarik darinya.
Pertama, UU 28/2009 sejak sebelum lahir, sudah dinilai bisa membatasi secara efektif akan jenis pajak dan retribusi daerah yang boleh ditarik pemerintah kabupaten-kota.
Atau dalam bahasa hukumnya menggunakan mekanisme daftar tertutup (closed list). Jenis-jenis pajak dan retribusi sudah disebutkan, demikian juga besaran tarifnya. UU tersebut sudah mematok jumlah nominal sebagai batas maksimum.

Tidak ada lagi peluang bagi pemda membuat perda pajak dan retribusi di luar yang telah ditetapkan pemerintah pusat tersebut. Jadi, daerah hanya diberi sedikit kewenangan menentukan besaran tarif.

Dalam UU 34/2000 pemerintah provinsi diberi hak menarik empat jenis pajak. Yaitu, pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, dan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Selain jenis pajak tersebut, provinsi tidak diperbolehkan menambah jenis pajak baru.

Sedangkan pemerintah kabupaten-kota diberi hak untuk menarik tujuh jenis pajak. Yaitu pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan bahan galian golongan C, dan pajak parkir.

Untuk jenis retribusi, UU 34/2000 menetapkan secara eksplisit. Namun, UU itu juga membuka peluang bagi provinsi maupun kabupaten-kota untuk terus menggali sendiri objek retribusi di luar yang telah disebutkan. Namun hal ini malah memicu munculnya perda-perda retribusi yang cenderung bermasalah.

Urgensi revisi UU PDRD itu tak lain disebabkan maraknya perda-perda bermasalah. Kebanyakan di antara perda-perda itu merupakan perda retribusi yang bernuansa pungutan. Pungutan-pungutan itu tidak saja memberatkan masyarakat, tetapi juga memberatkan dunia usaha.

Kita ambil contoh beberapa tahun silam. Hingga 20 Agustus 2008, Kementerian Keuangan telah menerima 10.504 perda. Yang sudah dievaluasi 7.298 perda, dimana 2.091 perda direkomendasikan dibatalkan atau direvisi.

Departemen Keuangan juga menerima 1.855 rancangan perda (raperda). Dari yang sudah dievaluasi 1.835 reperda, diputuskan 1.204 raperda ditolak dan harus direvisi. Sedangkan 631 raperda yang lain dianggap tidak bermasalah.

Kedua, sekalipun dinilai sudah membenahi banyak hal, namun tidak otomatis sempurna. Saat ini, aspirasi penyempurnaan UU 28/2009 tetap bermunculan seperti disuarakan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI).

Belum lama ini, DPD RI mengusulkan revisi dengan usulan memeratakan penarikan retribusi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Sebab, banyak daerah yang belum menikmati BPHTB sebagai sumber PAD akibat pembatasan (patokan) minimum transaksi penjualan tanah dan bangunan sebesar Rp 60 juta sebagai objek BPHTB dengan tarif maksimal 5% yang berlaku secara nasional. Sedangkan untuk warisan/hibah wasiat minimum Rp 300 juta.

DPD menilai patokan nilai transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan minimal Rp 60 juta untuk menjadi objek BPHTB menyebabkan sejumlah daerah tidak dapat mengutip BPHTB. Sebab, di sejumlah daerah khususnya yang masih terpencil masih jarang ditemukan transaksi penjualan tanah dan bangunan bernilai Rp 60 juta.

Padahal, salah satu tujuan UU PDRD yang mengalihkan sebagian pajak pusat ke daerah untuk menambah sumber PAD bagi daerah guna meningkatkan pendapatan daerah sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Memang…tiada gading yang tak retak di dunia ini. Namun sebenarnya kita bisa melihat batasan mana yang memang benar-benar harus direvisi dan tidak. Kestabilan regulasi jelas diperlukan agar roda pemerintah dimanapun berjalan stabil. ***