Mengelola Pajak Melalui TIK
Di hari ini, betapa banyak perubahan kebutuhan masyarakat atas sebuah layanan. Dulu sekali, melayani kustomer selalu dengan kustomer yang harus mendatangi institusi.
Kini, mereka yang berprinsip seperti itu akan terasa kuno. Kustomer (baca: masyarakat) meminta lebih, semakin lengkap layanan tentu saja kian baik nan modern. Layanan konter haruslah dilengkapi saluran layanan berbasis teknologi informasi komunikasi (TIK), mulai dari laman, surel, akun media sosial, dan banyak lagi.
Hal ini pun berlaku di sektor perpajakan. Jika dulu urusan pembayaran dan registrasi harus selalu datang ke kantor pengelola, beberapa tahun terakhir ini tidak lagi. Anda sambil duduk santai di sofa rumah, SPT bisa terkirim lewat internet, misalnya.
Dengan semakin berkembangnya media layanan yang bisa diakses oleh Wajib Pajak, kebutuhan terhadap informasi perpajakan dilayani lewat beberapa media layanan yang memanfaatkan TIK.
Pun demikian, bukan soal lebih canggih. Isu keamanan dan privasi juga jadi perhatian, terlebih Pasal 34 dalam Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), menggariskan seluruh database seperti surat pemberitahuan, laporan keuangan, dan data lain yang dilaporkan Wajib Pajak, termasuk data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan, data Wajib pajak yang diperoleh dari pihak ketiga, hingga dokumen dan rahasia Wajib Pajak, adalah bersifat rahasia dan merupakan rahasia jabatan bagi seluruh pegawai DJP.
Konsep Pelayanan
Dengan tuntutan peningkatan pelayanan namun tetap terjaga privasinya,maka ada beberapa poin penting akan implementasi TIK dalam perpajakan di Indonesia.
Pertama, implementasi harus berbasis konsep matang meliputi perumusan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi dan pelaksanaan dalam bidang pemantauan sistem dan infrastruktur, pemberian dukungan dan layanan operasional, serta pembinaan pengolahan data dan dokumen.
Kedua, aplikasi TI di perpajakan harus didukung pelayanan operasional yang mencakup informasi, aplikasi, dukungan teknis dan jaringan komunikasi data, termasuk bimbingan sistem, pemutakhiran data tampilan, pertukaran data elektronik, hingga pengelolaan intranet dan internet.
Ketiga, aplikasi TIK perpajakan juga akan optimal jika ditopang optimalisasi penyediaan data dan informasi terkait Wajib Pajak. Karenanya, perlu dijalin kerjasama dalam bentuk pertukaran data dan informasi dengan sejumlah instansi terkait seperti Bank Indonesia, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Badan Pusat Statistik, Ditjen Imigrasi, seluruh Eselon I Kementerian Keuangan (Ditjen Bea dan Cukai, Ditjen Perbendaharaan, Ditjen Keuangan, dan lainnya), dst.
Keempat, meningkatnya kebutuhan terhadap informasi perpajakan harus dilayani beberapa media layanan yang memanfaatkan teknologi informasi dan layanan konvensional seperti website pajak.go.id, call center 500200, dan melalui kantor pajak di seluruh Indonesia. Semua layanan tersebut menjabarkan visi pengelola pajak sebagai institusi pemerintah penyelenggara sistem administrasi perpajakan modern yang efektif, efisien, dan dipercaya masyarakat karena integritas dan profesionalisme. Karena itulah, diperlukan dukungan penerapan teknologi informasi yang memadai yang selalu dievaluasi dan disempurnakan secara berkesinambungan.
Last but not least, terus dikuatkan keamanan database perpajakan yang aman dari gangguan, termasuk gangguan seperti ‘hacker’ dari luar.
Perlu ada jaminan simultan mengenai langkah pengamanan lewat beberapa tingkat keamanan. Seperti database perpajakan core yang bersifat transaksional yang disimpan terpusat dan hanya bisa diakses oleh pegawai yang berwenang. Penyimpanan database tersebut terpisah dari database yang dimanfaatkan untuk analisis.
Database perpajakan dilindungi dengan firewall dan pengaman lainnya. Bahkan akses ke dalam database perpajakan selalu dipantau oleh pegawai terlatih dan berpengalaman dalam tugas tersebut. Jadi tidak semua pegawai dapat mengakses database perpajakan. Akses hanya diberikan kepada pegawai yang telah mendapatkan otorisasi melalui SOP dan sesuai dengan kewenangannya.
Pada akhirnya, sebagai sebuah kesimpulan,sistem perpajakan yang berbasis TIK harus mengacu siklus yang dimulai dari perencanaan, perancangan, development, testing dan terakhir adalah pelayanan operasional kepada user.
Jika langkah demi langkah ini sudah diterapkan dengan benar, akan ada banyak lompatan pelayanan. Misal kalau dulu server bersifat fisik, satu aplikasi membutuhkan satu server, dengan makin berkembangnya teknologi, server yang fisiknya cuma satu bisa divirtualisasikan menjadi beberapa server logical, sehingga pelayanan efektif,efisien, dan memudahkan masyarakat. (***)