Samsat Drive Thru, Mantap!

PERPANJANGAN STNK di Samsat Drive Thru memang mantap! Cuma 5 menit, beres!” Begitulah salah satu testimoni yang disampaikan Ogy Permana, warga Ujung Berung, Bandung, yang membayarkan kewajiban pajak kendaraan bermotornya pada Rabu (18/3/2014).

Testimoni serupa bukan hanya dilontarkan oleh Ogy. Pria berumur 35 tahun itu hanya satu dari sekian banyak wajib pajak yang mengaku puas dengan kecepatan layanan Samsat Drive Thru. Umumnya, pengguna Samsat Drive Thru menilai  pelayanan fasilitas yang satu ini tidak berbelit-belit, mudah, dan cepat.

Sesuai dengan konsepnya, layanan ini memungkinkan pemilik kendaraan/wajib pajak melakukan transaksi pembayaran pajak kendaraan bermotor tanpa harus turun dari kendaraannya. Persis layanan yang ditawarkan restoran cepat saji.

Pintu keluar Parkir Samsat Bandung Timur, Jln. Soekarno Hatta No. 528, Bandung, adalah salah satu titiknya. Layanan Drive Thru ini beroperasi setiap Senin sampai Jumat mulai pukul 8.00-15.00 WIB dan Sabtu pukul 8.00-12.00 WIB.

Untuk menggunakan layanan ini, wajib pajak harus membawa persyaratan dengan lengkap, mulai dari kartu identitas asli pemilik yang sah, STNK asli, BPKB asli, bukti pelunasan pajak tahun sebelumnya, membawa kendaraan yang akan didaftar ulang, dan tentu saja uang untuk membayar pajak. Jika tidak ada uang cash, tidak perlu khawatir, tinggal mengambil uang melalui ATM yang tersedia disekitar lokasi Samsat Drive Trhu.

Dengan persyaratan yang lengkap, pembayaran pajak kendaraan bermotor pun akan selesai hanya dalam waktu kurang dari lima menit. Sangat mudah, praktis, dan efisien. Tidak heran jika semakin banyak wajik pajak yang menggunakan layanan ini dan mengaku puas.

Keberadaan layanan ini bukan hanya menjawab kebutuhan mereka yang memang diburu waktu, tapi juga wajib pajak yang tidak suka menghabiskan waktunya untuk mengantri. Sebagian besar diantara kita tentu setuju bahwa mengantri adalah pekerjaan yang membosankan, apalagi jika sampai menghabiskan waktu berjam-jam.

Itulah yang terjadi beberapa tahun lalu saat pajak hanya dilayani dengan cara konvensional, mengantri melalui loket di dalam gedung. Loket belum dibuka saja antrian sudah mengular panjang. Ruang tunggu pun akan segera dipenuhi sesak pembayar pajak begitu gedung dibuka.

Berapa waktu yang dihabiskan hanya untuk menunggu giliran membayar pajak? Lima menit? Sepuluh menit? Satu jam? Atau lebih? Jawabannya lebih. Bahkan ada yang harus menghabiskan waktu hingga berjam-jam sekedar untuk membayarkan kewajibannya.

Selain menghabiskan waktu percuma dan menimbulkan kelelahan karena mengantri, sejatinya ada penghamburan potensi nilai ekonomi yang terjadi di sana. Pasalnya, tidak semua mereka yang datang mengantri adalah orang bebas yang tidak terikat pekerjaan dan bisnis.

Tidak jarang ada karyawan yang terpaksa ambil cuti dan meninggalkan pekerjaannya untuk membayar pajak karena memang tidak ada saudara yang bisa mewakilkan. Ada juga pedagang yang harus menutup lapaknya, sehingga harus kehilangan penghasilannya selama mengantri.

Jika dalam satu hari ada 200 orang yang mengantri di suatu Samsat dan 20% saja yang kehilangan penghasilan, katakan rata-rata 50.000 per orang, maka dalam satu hari ada Rp 2.000.000 potensi penghasilan yang hilang karena mengantri. Dalam satu tahun nilainya akan mencapai Rp 624 miliar. Itu baru sebagian kecil dan baru analogi dari satu Samsat. Kenyataannya, potensi ekonomi yang hilang jauh lebih besar dari itu. Apalagi, jika dikalkulasikan untuk seluruh Jabar atau Indonesia. Betapa besarnya nilai inefisiensi di sana.

Di sisi lain, celah ini menjadi peluang besar untuk tumbuh suburnya para calo. Jasa mereka semakin dibutuhkan seiring dengan semakin panjangnya antrean. Bukan hanya mereka yang memang diburu waktu, masyarakat yang sejatinya memiliki banyak waktu luang tapi malas antre pun banyak yang menggunakan jasa mereka.

Jika dianalogikan dari 200 orang tersebut 20% wajib pajak lain menggunakan jasa calo, dan calo mendapatkan imbal jasa Rp 50.000 per transaksi, uang yang mengalir untuk praktek ilegal itu mencapai Rp 2.000.000 per hari dan dalam satu tahun menyentuh angka Rp 624 miliar. Pada kenyataannya, uang jasa calo jauh lebih besar dari itu karena tak jarang ada yang meminta uang jasa hingga lebih dari Rp 100.000 per transaksi, khususnya untuk mobil.

Jika diakumulasikan potensi kerugian penghasilan dari mereka yang tidak bekerja dan mereka yang menggunakan jasa calo, untuk satu Samsat saja, dengan analogi di atas, bisa mencapai lebih dari Rp 1 triliun per tahun. Padahal, sejatinya angkanya jauh lebih besar dari itu. Di seluruh Jabar saja ada puluhan Samsat. Apalagi Indonesia.

Bayangkan, berapa nilai inefisiensi yang seharusnya bisa digunakan untuk kebutuhan lain? Sangat besar. Jika dana tersebut digunakan untuk menggerakan usaha rakyak, berapa banyak pelaku usaha mikro yang bisa terbantu dan berapa besar roda perekonomian yang bisa terungkit?

Namun, hanya dengan sebuah terobosan jeli, mengadopsi konsep Drive Thru dan sejumlah layanan lainnya, termasuk Samsat Online, dll, antrean pun bisa dipangkas dan praktek calo pupus. Kini, tak perlu lagi wajib pajak menghabiskan waktu berjam-jam sekedar untuk membayar pajak.

Sesuai dengan konsep awalnya, Drive Thru adalah bisnis yang melayani pelanggan yang menunggu di kendaraannya, sementara pelayanan disajikan melalui jendela atau mikropon. Cara ini pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1940-an.

Seiring dengan berjalannya waktu, layanan ini menyebar ke berbagai negara dan kini bukan hanya diadopsi oleh restoran cepat saji semata. Layanan ATM sejumlah perbankan di Indonesia kini juga sudah menggunakan konsep Drive Thru. Bahkan, di Las Vegas, Amerika Serikat, ada kapel pernikahan Drive Thru.

Kecepatan waktu dan kepastian layanan Drive Thru mampu menjawab kebutuhan bagi mereka yang diburu waktu dan mereka yang tidak suka menghabiskan banyak waktu untuk mengantri guna mendapatkan pelayanan. Belakangan, Drive Thru juga mulai menjadi bagian dari gaya hidup.

Konsep inilah yang kemudian diadopsi untuk pembayaran pajak kendaraan bermotor, yang untuk wilayah Jabar pertama kali diluncurkan pada Maret 2008 oleh Gubernur Jawa Barat di halaman Dinas Pendapatan Provinsi Jawa Barat. Bersamaan dengan itu juga dilaksanakan penerimaan sertifikat ISO 9001:2000 oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara untuk pelayanan SAMSAT kota Bandung.

Kali pertama diluncurkan, layanan ini dimaksudkan untuk memangkas praktek percaloan dan memberikan layanan prima bagi wajib pajak. Namun faktanya, bukan hanya praktek percaloan yang berhasil dihapus, tapi juga menyelamatkan potensial lost nominal uang yang sangat besar.

Layanan pembayaran pajak memang harus mantap, cepat, dan praktis. Dengan demikian, tidak akan ada lagi terdengar komentar masyarakat yang mengatakan: “Bayar pajak saja dipersulit, apalagi minta uang.” Tapi ke depan yang terdengar adalah kalimat “Cepat, gampang, mantap, deh,” disertai senyum lebar para wajib pajak.***