Mari Bangun Negara Dengan Pajak !

SUMBER pendapatan daerah sejatinya bukan hanya berasal dari pajak. Sebagian besar justru berasal dari transfer pemerintah pusat, yang trendnya terus menanjak dari tahun ke tahun. Data 2013 menyebutkan, secara agregat rata-rata komposisi dana transfer dalam penerimaan daerah mencapai 82%.
Angka tersebut menunjukan betapa hingga saat ini masih banyak daerah yang sangat tergantung pada transfer dana pusat akibat minimnya pendapatan asli daerah (PAD). Padahal, untuk membangun kemandirian daerah, pemerintah pusat sudah memberikan kewenangan bagi daerah untuk memungut sejumlah pajak dan retribusi.
Salah satu bentuk penguatan perpajakan yang sudah ditempuh, diantaranya adalah pemberian diskresi penetapan tarif dan pendaerahan beberapa jenis pajak baru seperti Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan – Perkotaan dan Pedesaan (PBB-P2). Bentuk penguatan tersebut tertuang dalam Undang-undang (UU) No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Dalam UU tersebut, pemerintah provinsi diberi kewenangan untuk memungut lima jenis pajak, termasuk pajak kendaraan bermotor, dan pemerintah kabupaten dan kota diberi kewenangan untuk memungut sebelas jenis pajak. Kendati sudah ada pelimpahan, nyatanya hingga saat ini masih banyak potensi pajak daerah yang belum bisa digali optimal karena kendala teknis dan nonteknis.
Masih banyaknya potensi pajak yang belum tergali juga terjadi di wilayah Jawa Barat (Jabar). Setiap tahunnya Jabar kehilangan sedikitnya 30% potensi pajak. Salah satunya adalah dari potensi leasing pajak kendaraan yang terbilang sulit untuk ditelusuri karena pergerakan kendaraan dan objek pajaknya.
Lantas, dengan kehilangan yang cukup besar tersebut, berapa derajat ketergantungan pendapatan Jabar terhadap transfer dana pusat? Apakah Jabar termasuk daerah yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap dana APBN, atau sebaliknya?
Data Kementerian Keuangan Republik Indonesia pada Juni 2013, berdasarkan APBD 2013, rasio PAD terhadap pendapatan Jabar masih lebih besar dibandingkan dengan rasio transfer dana pusat. PAD Jabar menguasai 60% pendapatan provinsi ini dan transfer dana pusat sebesar 40%.
Rasio PAD terhadap pendapatan Jabar jauh berada di atas rata-rata nasional, yang angkanya mencapai 36,3%. Sementara rasio transfer dana pusat terhadap pendapatan Jabar berada di bawah rata-rata nasional, yang pada 2013 persentasenya mencapai 62,6%.
Dilihat dari rasio tersebut, Jabar boleh berbangga. Walaupun derajat kemandiriannya masih jauh di bawah DKI Jakarta, tapi pemerintah Jabar terbilang sudah cukup mandiri dalam membiayai pengeluaran daerahnya. Namun, masih ada sejumlah PR yang masih tersisa.
Salah satu PR terbesar adalah meningkatkan tax rasio (perbandingan jumlah penerimaan pajak dengan Produk Domestik Regional Bruto/PDRB), begitu juga dengan pajak per kapita (nilai pajak dibandingkan jumlah penduduk). Dalam kedua indikator analisis pendapatan daerah tersebut, posisi Jabar masih berada di bawah rata-rata nasional.
Tax ratio Jabar masih berada pada angka 1,1% dari PDRB nonmigas, jauh di bawah rata-rata nasional, yang mencapai 1,59%. Sementara pajak per kapita Jabar terpaut sekitar 30% rata-rata pajak per kapita pemerintah provinsi secara nasional, yang mencapai Rp 334.842.
Posisi Jabar dalam jajaran peringkat tax ratio provinsi di tanah air hanya berada pada posisi 24. Jabar kalah jauh dibandingkan Jakarta yang tax rationya sudah mencapai 9,4%, bahkan Maluku yang sudah mencapai 2,1%. Jabar hanya lebih baik dibandingkan Jatim, yang tax rasionya hanya 0,9%.
Khusus Jakarta, tingginya tax ratio memang dimungkinkan karena mereka bukan hanya memungut pajak provinsi, tapi juga kabupaten dan kota. Akan tetapi, untuk Jabar, Maluku, dan daerah lainnya, tax ratio dalam tulisan ini hanya untuk pajak daerah yang dipungut di tingkat provinsi.
Kondisi ini tentu menjadi raport merah bagi Jabar, walaupun rasio ketergantungan terhadap dana transfer pusat hanya 40% penerimaan. Apalagi, jika menilik potensi pajak Jabar yang sejatinya bisa menghantar Jabar pada tingkat kemandirian yang lebih besar.
Selain upaya pemerintah guna melakukan sejumlah langkah konkret, termasuk jemput bola, untuk meningkatkan PAD, tentu hal ini memerlukan dukungan semua masyarakat Jabar, khususnya wajib pajak. Bagaimanapun Jabar adalah rumah kita yang tentunya akan lebih baik jika kita bangun secara mandiri.
Pajak seharusnya menjadi sumber utama pendapatan daerah untuk membiayai pengeluaran. Namun, pemerintah dan pemangku jabatan juga harus transparan, akuntabel, dan bertanggung jawab dalam menggunakan dana yang bersumber dari masyarakat untuk sebesar-besarnya kesejahteraan penduduk Jabar. Mari, bangun kemandirian bersama dengan taat pajak. ***