HADIRI MILAD PESANTREN KIAI JUJUN JUNAEDI | INI PESAN KDM UNTUK SANTRI
GARUT – Suasana di Pondok Pesantren Al Jauhari, Garut, pada perayaan Milad kali ini terasa berbeda. Kedatangan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) bukan sekadar seremonial. Di hadapan ribuan santri dan masyarakat, KDM hadir untuk berbagi tawa, nostalgia dengan Kiai Jujun Junaedi, sekaligus mengkritik filosofis tentang kemurnian pendidikan pesantren dan etos mencari rezeki.
Sejak awal, KDM mengakui bahwa hubungannya dengan Kiai Jujun sudah terjalin lama, bahkan sejak Kiai Jujun masih seorang dai kondang yang laris manis mengisi 17 panggung selama Ramadan. KDM memuji perubahan sahabatnya itu dari “Dai” menjadi “Kiai,” sebuah martabat yang ia sebut sebagai tingkatan luhur dalam tatanan Ki Sunda. Namun, KDM mengingatkan, inti dari segalanya adalah Ikhlas, ketulusan sejati yang menjadi makna dari “Ilah”.
Kritik Tajam untuk “Santri Hotel”
Pesan KDM paling keras tertuju pada praktik yang ia sebut sebagai “santri hotel” di beberapa lembaga modern. Ia menyoroti fenomena di mana pesantren menyediakan layanan serba ada, mulai dari catering, laundry, hingga kebersihan.
KDM mempertanyakan dengan nada retoris: “Lamun masak dipangmasakeun, baju dipangnyeuseuhkeun… rek iraha ngajina (Kapan akan mengaji)?”.
Bagi KDM, santri sejati (santri sajati) adalah mereka yang ditempa oleh kesederhanaan, fokus pada ilmu, dan tidak mengeluhkan lapar karena “lapar adalah jalan menuju Allah”.
Menurut filosofi KDM, ilmu sejati (Ilmiah) tidak ditransfer melalui kertas atau lisan semata, tetapi melalui pengabdian tulus (ngalayanan). Ketika seorang santri dengan ikhlas mengepel lantai atau mencuci baju Kiainya, terjadi transfer energi spiritual atau Ruh yang jauh lebih mendalam.
“Hate Kiai jeung hate anjeun ngahiji. Tertransformasikan pengetahuannya. Teu kudu diajarkeun lisan, teu kudu diajarkeun tulisan. Eta ilmu Kiai pindah ka santrina,” tegas KDM, membandingkannya dengan transfer ruh para dalang legendaris.
Etos “Rezeki Dicari, Bukan Dinanti”
Di tengah ceramah, KDM mengisahkan pengalaman pahitnya sendiri. Ia bercerita bahwa ia pernah *tidak makan selama tiga hari tiga malam* saat kuliah, namun ia memilih untuk tidak menunjukkan kesedihan, melainkan menjaga optimisme.
Pengalaman ini membentuk pesan utamanya tentang rezeki dan etos kerja, sebuah kritik terhadap budaya pasif:
“Ngadoa mah leungeunna namprak, tapi ngala rezeki leungeun ulah namprakeun. Keupatkeun lengkah, nganjur kahirupan,” ujar KDM.
(Berdoa boleh dengan tangan menadah, tetapi mencari rezeki jangan dengan tangan menadah. Langkahkan kaki, jalani kehidupan.)
KDM lantas menceritakan masa kecilnya yang penuh kerja keras, dari berdagang es dan rokok hingga menggembala domba, menegaskan bahwa tidak ada alasan bagi orang miskin untuk tidak maju. Ia bahkan memberikan santunan kepada seorang ibu yang dipangil ke atas panggung dan menasihatinya untuk membelikan anaknya domba agar anak tersebut belajar membentuk karakter melalui kerja keras mengarit.
Ketenaran Bukan di TikTok
KDM juga menyentil fenomena sosial media yang ia nilai menggerus ketulusan. Ia mengkritik mereka yang mencari ketenaran (katangar) di TikTok, bahkan saat mengucapkan kalimat suci.
“Sia nyebut Lailahaillallah sia mah di TikTokun hayang katangar ku batur. Pan Allah mah deukeut, *lain di nu TikTok (Kamu mengucapkan “Lailahaillallah” kamu malah di-TikTok-kan, ingin dikenal (dilihat/diperhatikan) oleh orang lain. Padahal Allah itu dekat, bukan di TikTok),” sentil KDM.
Ia bersaksi bahwa popularitasnya saat ini, dari Wakil Bupati hingga Gubernur, bukan karena media sosial, melainkan karena karakter dan sikap yang tidak pernah berubah.
Di akhir acara, setelah secara simbolis meresmikan Asrama Apandi, KDM menutup pertemuan itu dengan doa agar pesantren menghasilkan insan saleh dan salehah, serta memastikan bahwa Garut dan Jawa Barat akan selalu Hebat dan Istimewa.
sumber : https://www.youtube.com/watch?v=65g6GIw_ykE



