DI SANCANG – KDM CERITAKAN KISAH KEBESARAN JIWA PRABU SILIWANGI

GARUT – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) dalam kunjungan budayanya ke Sancang, Garut, menyampaikan kritik pedas terhadap praktik eksploitasi alam di Jawa Barat. Ia tidak hanya menjanjikan pembangunan infrastruktur fisik, tetapi juga mendorong reformasi spiritual dengan mengangkat kisah Prabu Siliwangi dan filosofi Ngahiang (menghilang), yang ia sebut sebagai pilihan jiwa besar untuk menghindari konflik internal.

Bencana Bukan Takdir, Tapi Kegagalan Menghormati Alam

KDM secara tegas membantah narasi bahwa bencana alam seperti longsor dan banjir adalah takdir semata. Menurutnya, bencana adalah akibat langsung dari tindakan manusia yang merusak.

“Longsor dan banjir itu bukan karena hujan… Leuweungna ditaluaran (hutannya ditebangi) oleh kalian, tata ruangnya diubah oleh pemerintah. Tidak ingatkah pada Purwa Daksina (permulaan dan akhir)?”

Ia menekankan bahwa daerah akan makmur jika alam dijaga. Sebaliknya, penambangan dan pengerukan gunung, yang ia saksikan, tidak membuat rakyat di sekitarnya makmur. Ia mengkritik keras fenomena keserakahan:

“Yang makmur itu paling para pejabatnya. Nu terus-terusan ngala wae berarti henteu cukup (yang terus-terusan mengambil berarti tidak cukup). Yang tidak cukup itu lapar. Orang lapar itu sengsara,” ujar KDM, menegaskan bahwa keserakahan hanya membawa kemiskinan.

Filosofi Siliwangi dan Konflik “Tulang Panyesaan”

KDM kemudian menjelaskan makna mendalam di balik lagu ciptaannya, “Ngahiang,” yang ia kaitkan dengan pilihan spiritual Prabu Siliwangi di Sancang.

Filosofi Ngahiang lahir dari kegelisahan seorang pemimpin (pamimpin guligah) ketika rakyatnya sudah berubah, terpecah belah, dan terpengaruh ajaran atau sistem baru. Dalam kondisi tersebut, KDM menggambarkan keadaan rakyat seperti:

“Rageg anjing diburuan muru tulang panyesaan (ramai anjing diburu mengejar sisa tulang). Berebut apa? Berebut makanan sisa, uang kecil. Sedangkan daging dibawa ku deungeun (daging dibawa oleh orang asing), yang artinya emas, intan, berlian, dan kayu bagus sudah dibawa keluar,” jelasnya.

Prabu Siliwangi memilih menghilang dan meninggalkan ajaran Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh daripada hidup dalam pertengkaran dan konflik (pacengkadan) dengan sanak saudara.

Mengembalikan Jati Diri dan Meniru Orang Baduy

Untuk memulihkan bangsa Sunda, KDM mengatakan tugas terbesarnya bukanlah membangun jalan (yang menurutnya mudah dan hampir selesai dalam dua tahun), melainkan mulangkeun urang Sunda ka sarakan pangbalikanana (mengembalikan orang Sunda ke asal muasalnya).

Ia mengutip temuan manuskrip Pujangga Manik di Inggris sebagai bukti kebesaran peradaban Sunda, dan mengkritik masyarakat kini yang kehilangan identitas (jati kasilih ku cunti). KDM bahkan mencontohkan Suku Baduy sebagai model kehidupan sehat:

“Kenapa orang Baduy panjang umur? Tidak pakai rumah sakit? Tidak dioperasi? Karena orang Baduy ngadahar-dahareun nu asal tinu taneuh di mana manehna lahir (memakan makanan yang berasal dari tanah tempat dia dilahirkan),” ungkapnya.

KDM berjanji bahwa ke depan, Pemprov Jabar akan menganggarkan kebijakan untuk membeli daerah-daerah strategis yang memiliki pohon dengan nilai historis, komunal, dan ekosistem, menjadikannya “pohon abadi” untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat.