ISI KULIAH KEBANGSAAN DI SESPIM POLRI | KDM BIKIN NGAKAK SEISI GEDUNG
LEMBANG – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (KDM), memberikan Kuliah Kebangsaan di Sekolah Staf dan Pimpinan (SESPIM) POLRI, Lembang, yang diwarnai suasana cair dan humor khas. Di hadapan para perwira pilihan, KDM menyampaikan pandangan filosofis kepemimpinan Indonesia yang tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan teknokratis, tetapi harus berbasis rasa dan kemanusiaan untuk mewujudkan keadilan.
KDM membuka pidatonya dengan humor, menyatakan posisinya berubah dari yang biasa diperiksa polisi menjadi memberi kuliah kepada perwira polisi. Ia juga berkelakar menyebut SESPIM sebagai “Sekolah Penantian Memimpin” dan juga SESPIM MANTAP sebagai “Sekolah Penantian Memimpin Makan Tabungan” karena keterbatasan gaji perwira selama masa pendidikan.
Memimpin Adalah Manunggal, Bukan Teknokrasi Murni
KDM menekankan bahwa kepemimpinan di Indonesia didasarkan pada konsep Manunggal (penyatuan), sebuah “kalimat senyawa” yang tidak bisa dipisahkan, layaknya simbiosis mutualisme.
KDM memperingatkan agar para perwira tidak terjebak pada pendekatan teknokratis semata. Ia menilai kepemimpinan di Indonesia harus memadukan:
– Vertikal (Teologis): Taat pada sendi-sendi ketuhanan (Iman).
– Horizontal (Sosiologis/Humanis): Taat pada nilai kausalitas alam dan masyarakat.
“Maka kepemimpinan kepolisian… tidak cukup otak kiri, dia harus ada otak kanan. Tidak cukup hanya pertimbangannya kepala yang diikat.” ujar Dedi Mulyadi.
Ia mengutip falsafah Sunda “cing caricing, cing pageuh kancing set saringset pageuh iket” (tenang, teguh integritas, menyatu) sebagai pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan rasa atau hati.
Implementasi Keadilan: Hukuman Sosial untuk Rakyat Kecil
Pendekatan rasa ini harus terimplementasi dalam penegakan hukum. KDM mengadvokasi penerapan Restorative Justice untuk kejahatan skala kecil yang didorong oleh keterdesakan ekonomi.
Ia mencontohkan, kasus pencurian kambing tidak semestinya dihukum 3 tahun penjara, yang justru membebani negara dan tidak mendidik. Solusinya adalah hukuman sosial seperti kerja bakti atau pekerjaan yang membuat pelaku menjadi lebih baik.
KDM juga meminta dosen SESPIM untuk menggunakan pendekatan seorang ibu saat memberikan penilaian, bukan hanya pendekatan seorang ayah.
“Kalau salah salah dikit mohon diampuni karena Ibu adalah pemaaf. Kalau hanya kekurangan titik koma luluskanlah kami.” ucap Dedi Mulyadi.
Stratifikasi Sosial dan Tugas Negara
KDM secara eksplisit menjelaskan stratifikasi manusia (Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra) dalam teologi kebudayaan dan mengaitkannya dengan tugas pemimpin.
– Kaum Sudra (Rakyat Jelata): Kebahagiaan hanya terletak pada dua hal: mulut/perut (beuteung) dan alat vital (kanjut).
– Tugas Negara: Tugas negara adalah memenuhi kebutuhan perut sudra (makanan) dan memastikan kebutuhan kanjut (seksual) mereka tidak dihambat agar tidak terjadi kriminalitas seperti pemerkosaan.
KDM memperingatkan para perwira bahwa bahaya terbesar di Indonesia adalah jika seorang pemimpin yang sudah berpangkat tinggi (Satria) memiliki perilaku Sudra yang hanya memikirkan perut dan kanjut.
Efisiensi Anggaran dan Kekuatan Pengalaman
KDM menyebut SESPIM sebagai “Candra Di Muka” (tempat pertapaan) yang mengubah karakter sudra menjadi satria. Ia menceritakan pengalaman pribadinya: tidak naik kelas di SD, gagal tes militer, dan gagal dalam rumah tangga, yang justru membuatnya menjadi seorang gubernur. Ia menekankan bahwa kegagalan adalah bagian dari siklus alam yang membangun karakter.
Kontras dengan Barat yang kuat dalam membaca dan teknologi, KDM menyebut kekuatan Timur terletak pada pengalaman (rasa). Oleh karena itu, ia menyarankan agar calon pemimpin diperbanyak kesulitannya (depresi) dan bukan kemudahannya.
KDM juga menyinggung efisiensi anggaran pemerintah daerah berkat aktivitasnya sebagai konten kreator. Ia berhasil memindahkan anggaran belanja iklan Pemprov Jabar sebesar Rp 47 miliar untuk pembangunan jalan, tanpa mengurangi tingkat keterkenalan Pemprov.
KDM menutup kuliahnya dengan pesan untuk tidak malu dan rendah diri dalam menampilkan originalitas dan kebudayaan. Ia mengajak para perwira SESPIM untuk berani memulai, layaknya dia yang berani menggunakan iket (ikat kepala Sunda) sebagai identitas birokrat yang sempat dikritik namun akhirnya diikuti banyak orang. Ia menegaskan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang mandiri, merdeka, dan tidak menggantungkan nasibnya pada mutasi atau atasan.



