PJT PUNGUT 400 JT PER TAHUN | DASAR PUNGUTANNYA APA YAH?
BANDUNG – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) melanjutkan pembahasan hasil sidak PT Tirta Investama Subang (Danone Aqua) di Gedung Sate. Setelah menyoroti transaksi bulanan Rp 600 juta ke PDAM, kali ini KDM mengorek dasar hukum pungutan tahunan dari Perusahaan Jasa Tirta (PJT) dan mempertanyakan komitmen perusahaan dalam mengganti armada truk besar yang menjadi penyebab kerusakan jalan dan kecelakaan.
PJT Pungut Rp 400 Juta/Tahun: Dasar Hukum Dipertanyakan
Dalam pertemuan tersebut, perwakilan PJT mengungkapkan bahwa PT Tirta Investama juga membayar rata-rata Rp 400 juta per tahun kepada PJT.
PJT menjelaskan bahwa pungutan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air sebagai BJPSDA (Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air). PJT mengklaim dana tersebut dikembalikan untuk kegiatan OP (Operasi dan Pemeliharaan) dan konservasi di wilayah DAS Cipunagara, termasuk pembersihan saluran irigasi. PJT mengategorikan pungutan ini sebagai PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).
Namun, Dedi Mulyadi kembali menyoroti kejanggalan hukum: air yang diambil pabrik saat ini bersumber dari sumur bor dalam sedalam 130 meter, yang secara definisi bukan merupakan mata air.
“Ini kategorinya mata air bukan? Katanya bukan mata air. Tadi kan 130 meter sipa yang kami aktifkan sekarang ya enggak ada yang mata air. Berarti bukan mata air, Pak. Berarti tidak masuk dalam kategori yang dimaksud oleh Bapak yang diatur oleh kementerian itu.” ujar Dedi Mulyadi.
Kritik KDM: Konservasi Mandiri dan Kejelasan Anggaran
Dedi Mulyadi mengusulkan agar pungutan BJPSDA dan transaksi lainnya dapat disubstitusi dengan kontribusi langsung perusahaan dalam bentuk konservasi dan perbaikan infrastruktur, mengacu pada logika diskon pajak.
Bupati Subang, Reynaldi Putra mengatakan sebagian dana yang dihimpun saat ini (sekitar Rp 10 miliar per tahun) telah difokuskan untuk perbaikan jalan kabupaten (4 km), perbaikan sekolah, dan Rutilahu di daerah terdampak, Dedi Mulyadi tetap menegaskan bahwa dana tersebut harus jelas peruntukannya.
“Jadi setiap pemanfaat air yang mengambil air dari air permukaan termasuk air mata air itu diwajibkan untuk membayar yang namanya BJPSDA (Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air…” ungkap perwakilan PJT.
Polemik Logistik: Truk Besar, Kecelakaan, dan Upah Rendah
Masalah lain yang diangkat KDM adalah penggunaan truk besar pengangkut air kemasan. KDM telah mengeluarkan surat edaran yang mewajibkan perusahaan mengganti armada truk besar menjadi sumbu dua pada 2 Januari. Dedi Mulyadi menilai penggunaan truk besar telah menyebabkan kerusakan parah pada Jalan Provinsi Tipe C/D dan sering menimbulkan kecelakaan fatal.
Pihak perusahaan/distributor meminta kelonggaran waktu karena transisi nasional penggantian truk dijadwalkan hingga tahun 2027. Mereka beralasan, penggantian mendadak akan menimbulkan masalah pasokan truk, tempat parkir, dan antrian di pabrik.
KDM juga menyoroti bahwa di samping merusak jalan dan menyebabkan kecelakaan, truk besar tersebut dioperasikan oleh sopir dengan upah rendah (di bawah UMK) karena distributor mengambil keuntungan terlalu besar.
“Yang jelas di Pudunan itu sudah lima meninggal. Dua oleh truk pengangkut bahan tambang, tukang becak dan satu lagi orang yang punya warung. Yang tiga adalah kemarin enggak boleh lagi ada yang berikutnya karena apes itu enggak ada kalendernya.” ujar Dedi Mulyadi.
Kesimpulan dan Tindak Lanjut: Audit Menyeluruh
Sebagai penutup, Dedi Mulyadi menegaskan bahwa ia akan membentuk tim independen untuk melakukan audit menyeluruh
– Audit Keuangan: Menguji legalitas pembayaran (baik yang Rp 600 juta ke PDAM maupun Rp 400 juta ke PJT) secara hukum
– Audit Lingkungan: Menguji dampak pengambilan air terhadap lingkungan, yang berlaku bagi semua perusahaan pengguna sumber air di Jawa Barat.



