Keislaman dalam Kebijakan: Refleksi Tentang Integritas dan Kepemimpinan

“Sampai sekarang saya persisten, keislaman saya jangan dilihat pada pribadi saya,” ujar seorang pemimpin dengan tegas. Ia menegaskan bahwa keislaman seseorang tidak semestinya dinilai dari perilaku personal semata, melainkan dari dampak nyata kebijakan yang dibuat bagi kemaslahatan masyarakat.

Bagi dirinya, manfaat yang sesungguhnya tidak datang dari figur individu, melainkan dari keputusan-keputusan yang membawa kesejahteraan bagi rakyat.

“Nilailah keislaman saya pada kebijakan yang ada pada anggaran yang saya pegang,” lanjutnya. Pernyataan ini menggambarkan sikap seorang pemimpin yang memandang amanah anggaran publik sebagai wujud nyata pengabdian dan tanggung jawab moral.

Pemimpin tersebut mengungkapkan bahwa dari total anggaran yang semula mencapai Rp31 triliun, kini tersisa Rp27 triliun. Namun, ia tidak berhenti pada angka semata — melainkan menggugah pertanyaan reflektif:

“Apakah anggaran itu menyelesaikan kemiskinan? Apakah anggaran itu menyelesaikan kebodohan? Apakah anggaran itu melindungi orang-orang yang sakit, yang dalam keadaan koma sekarang? Apakah anggaran itu bisa membuat optimisme bagi masyarakat berjawaban?”

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mencerminkan introspeksi yang dalam terhadap fungsi anggaran sebagai instrumen perubahan sosial. Ia menegaskan bahwa keislamannya terletak pada sejauh mana anggaran mampu menghadirkan keadilan, kesejahteraan, dan harapan bagi masyarakat.

“Jangan menjadi politik kamuflase,” tegasnya lagi. Ia mengkritik praktik politik yang menggunakan agama sebagai alat pencitraan. Menurutnya, politik kamuflase adalah tindakan menghabiskan anggaran atas nama agama hanya untuk kepentingan kelompok atau individu tertentu, sementara rakyat tetap terlantar.

Pemimpin tersebut menolak keras pendekatan seperti itu. Ia menegaskan komitmennya pada politik yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat, bukan pada simbolisme atau popularitas semu.

Baginya, komitmen terhadap rakyat bukan sekadar janji, melainkan prinsip hidup yang harus diwujudkan melalui tindakan nyata. Ia menegaskan:

“Tidak boleh ada orang sakit yang tidak tertangani. Tidak boleh ada anak-anak yang tidak sekolah. Tidak boleh ada jalan yang rusak. Tidak boleh ada irigasi yang rapat. Tidak boleh negara tidak hadir dalam setiap kesulitan rakyat.”

Pernyataan tersebut menjadi refleksi dari pandangan seorang pemimpin yang memaknai agama sebagai kekuatan moral untuk melayani manusia. Keislaman, dalam konteks ini, bukan sebatas identitas, melainkan nilai-nilai yang diterapkan dalam kebijakan publik — nilai kemanusiaan, keadilan, dan kepedulian.

Dari tutur dan sikapnya, tergambar sebuah filosofi kepemimpinan yang kuat: agama dan politik bukan dua hal yang terpisah, namun harus saling menguatkan untuk kebaikan bersama. Ia mengajak masyarakat menilai pemimpin bukan dari seberapa sering ia berbicara tentang agama, melainkan seberapa nyata kebijakannya menghadirkan keadilan sosial.

Keislaman sejati, sebagaimana yang diungkapkannya, tidak berhenti pada simbol, tetapi hidup dalam keputusan-keputusan yang menyembuhkan luka bangsa dan menumbuhkan harapan rakyat.

 

@dedimulyadiofficialTidak boleh negara tidak hadir dalam setiap kesulitan warga

♬ suara asli – KANG DEDI MULYADI