PERMINTAAN PASAR TINGGI | KENAPA UPAH PEGAWAI MASIH DIBAYAR HARIAN?

Kang Dedi Mulyadi (KDM) melakukan kunjungan ke perusahaan peternakan besar, Popan, yang merupakan anak perusahaan grup Thailand dan memiliki operasional di Subang. Kunjungan ini bertujuan untuk melihat secara langsung kondisi ketenagakerjaan di sektor yang memiliki permintaan pasar tinggi. Ironisnya, di tengah kemajuan pesat dan kecukupan kapital perusahaan yang diakui KDM, ia menemukan praktik pengupahan yang menekan kesejahteraan karyawan.

KDM menemukan bahwa mayoritas pekerja kandang dan angkut di perusahaan tersebut bukanlah karyawan tetap perusahaan, melainkan tenaga kerja kontrak yang dipekerjakan melalui Yayasan atau PT penyedia jasa tenaga kerja (Outsourcing) seperti PT Diva Jaya Persada atau AGP. Dengan status ini, para pekerja dibayar dengan skema upah harian.

Di perusahaan tersebut, karyawan tetap (staf) hanya berjumlah sekitar tujuh orang, sementara sisanya adalah pekerja kontrak. Pekerja harian ini hanya dihitung 20 hari kerja dalam sebulan, sehingga upah bulanan mereka menjadi sangat minim. Seorang pekerja bahkan hanya menerima upah Rp 2.600.000 setelah potongan, yang disamakan KDM dengan upah kuli macul atau kuli nembok yang bekerja secara mandiri.

KDM menuding kebijakan upah harian ini sebagai upaya perusahaan untuk menekan biaya produksi (operasional) guna menjaga kecukupan kapital dan keuntungan, terutama karena harga industri peternakan cenderung stabil dan bagus. Lebih lanjut, KDM menemukan bahwa iuran BPJS Ketenagakerjaan yang merupakan hak pekerja, justru dibagi dua antara pekerja dan yayasan, yang dinilai sebagai pelanggaran terhadap hak-hak normatif pekerja.

KDM juga menyinggung gaji manajer perusahaan yang disebut masih “satu digit” (di bawah Rp 10 juta), namun memiliki bonus yang signifikan. Hal ini menunjukkan adanya kontras besar antara kesejahteraan staf tingkat atas (yang masih mendapat bonus walau gaji pokok standar) dan pekerja harian yang nasibnya sangat rentan dan tergantung pada sistem outsourcing yang menekan upah.

KDM menegaskan bahwa kemudahan investasi asing (Thailand) harus diikuti dengan perlindungan hak-hak pekerja. KDM khawatir praktik upah murah ini bisa menimbulkan polemik dan melanggar hak kerja jika sampai terdengar di luar negeri. Perusahaan besar seharusnya menjadi contoh dalam memberikan upah yang layak, bukan malah memanfaatkan sistem outsourcing untuk menghindari tanggung jawab ketenagakerjaan.

KDM menekankan bahwa status pekerja kontrak dengan upah harian di perusahaan sekelas Popan adalah sebuah kemunduran. KDM mendesak agar manajemen perusahaan mengubah sistemnya, khususnya setelah kunjungan ini, agar para pekerja mendapatkan upah yang sesuai dan status yang lebih jelas, tidak lagi bergantung pada skema yang merugikan dan menekan kesejahteraan mereka.

Poin-Poin Utama

  • Status Karyawan: Mayoritas pekerja (kandang dan angkut) adalah tenaga kerja kontrak melalui PT/Yayasan outsourcing (PT Diva Jaya Persada/AGP), bukan karyawan tetap perusahaan.
  • Sistem Upah: Pekerja dibayar dengan skema upah harian, dihitung hanya 20 hari kerja per bulan.
  • Upah Rendah: Upah bersih pekerja (setelah potongan) hanya sekitar Rp 2.600.000, dinilai setara dengan upah kuli harian*
  • Pelanggaran BPJS: Pembayaran iuran BPJS Ketenagakerjaan dibagi dua antara pekerja dan Yayasan, yang merugikan pekerja.
  • Motif Perusahaan: Praktik upah murah ini diduga keras untuk menekan biaya produksi/operasional dan menjaga kecukupan kapital perusahaan.
  • Jumlah Karyawan Tetap: Karyawan tetap perusahaan hanya berjumlah tujuh orang (staf).
  • Desakan KDM: Perusahaan dituntut untuk mengubah kebijakan, memberikan upah layak, dan status kepegawaian yang lebih jelas kepada para pekerja.