ISLAM, KATOLIK DAN PENGHAYAT SUNDA WIWITAN – HIDUP DAMAI DI KAMPUNG SUSURU CIAMIS
Desa Cisuru, Kertajaya (Kab. Ciamis) menjadi contoh hidup harmonis antarumat beragama. Warga di sana menganut beragam keyakinan: Islam, Katolik, dan Sunda Wiwitan, dan hidup berdampingan tanpa konflik. Dulu, banyak warga merupakan pengikut ajaran Madrais (Sunda Wiwitan) yang dibubarkan pada 1959.
Pasca itu, warga berpindah keyakinan: sebagian ke Islam dan Katolik. Kini, sekitar 25 KK masih memeluk Sunda Wiwitan, 115-an umat Katolik, dan mayoritas lainnya Islam. Warga menekankan pentingnya hidup rukun tanpa politisasi agama, karena banyak dari mereka masih satu keluarga meski berbeda keyakinan.
Keragaman Agama dan Kepercayaan
Dulu terdapat ajaran Madrais yang berinduk ke Cigugur (Kuningan), namun dibubarkan pada tahun 1959-1965.
Setelah pembubaran Madrais oleh pemerintah (karena tidak diakui negara saat itu), warga terbagi: sebagian masuk Islam, sebagian Katolik, sebagian tetap menjaga ajaran leluhur (Wiwitan).
Jumlah penganut:
– Katolik: ±115 jiwa
– Wiwitan: ±25 KK
– Islam: mayoritas (jumlah tidak disebutkan)
Kehidupan Sosial dan Toleransi
– Kehidupan berjalan damai dan rukun.
– Tidak ada konflik antar agama/kepercayaan.
– Adik-kakak dan keluarga satu rumah pun berbeda keyakinan.
– Tidak ada politisasi agama.
– Hal ini disebut sebagai salah satu kunci perdamaian.
– Konflik yang kadang muncul bukan karena agama, melainkan urusan warisan atau keluarga, namun jarang dan ditangani secara kekeluargaan.
– Tempat ibadah berdampingan: masjid, gereja (Katolik), balai sarasehan warga Wiwitan.
– Penganut Wiwitan sekarang dapat – mencantumkan “penghayat kepercayaan” di KTP.
Pendidikan dan Ekonomi
– Tersedia madrasah dan SD.
– Anak-anak sekolah hingga ke luar kota (Bekasi, LPK belajar bahasa Jepang).
– Warga umumnya berdagang, usaha kecil, bertani.
– Warga saling membantu, termasuk dalam hal berobat dan kesehatan.
Kesadaran Komunal dan Budaya
– Pendekatan kekerabatan dan kekeluargaan menjadi dasar toleransi.
– Bahasa Sunda digunakan dalam komunikasi sehari-hari dan penamaan tempat.
– Aksara Sunda Cigugur digunakan dalam sarasehan.
– Balai Sarasehan menjadi tempat berkumpul komunitas adat/penghayat.
– Nilai luhur Sunda Wiwitan masih terjaga dalam bentuk budaya dan laku hidup.
Kesimpulan
– Kampung Cisuru merupakan contoh nyata kerukunan umat beragama dan penghayat kepercayaan di Jawa Barat.
– Ini menunjukkan bahwa toleransi berbasis kekerabatan dan kesadaran sejarah lokal mampu membangun masyarakat damai yang inklusif.