Informasi Tanpa Perbedaan

Sekedar pengingat, sebelum kita membincangkan lebih jauh terkait hubungan antara teknologi komunikasi dengan diskriminasi, atau kaitan hubungan Internet dengan kebutuhan Hak Asasi Manusia (HAM). Ada baiknya memahami dahulu apa yang dimaksud dengan HAM itu sendiri?

Merujuk pada pernyataan yang tercantum dalam Undang-Undang (UU) RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, “Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, (yang) oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun”, demikian cantuman dari bagian awal UU tersebut.

Oleh karenanya, distribusi dan konsumsi informasi menjadi urat nadi kemajuan peradaban manusia. Adanya UU tersebut adalah sebagai tindak lanjut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor VII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Isian lebih lanjut berbicara tentang hak berkomunikasi, menyebarkan informasi, juga menerima informasi.

Pada pasal 14 pada UU tersebut, secara jelas memberikan argumentasi hukum terkait hak memperoleh informasi.

Pada ayat pertama berbunyi: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya”. Setidaknya, acuan ini dapat ditafsirkan bahwa hak memperoleh informasi bersanding dengan kewajiban penyertaan manfaat, yakni untuk pengembangan diri dan lingkungan sosial, tentu tidak dapat semena-mena.

Kemudian, ayat kedua menejalskan jika “setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia”. Jelas bahwa, pasal tersebut sejatinya tunduk dan mengacu pada pasal 28F, UUD 1945 Indonesia (Amandemen ke-2, yang ditetapkan pada Agustus 2000) dan pada pasal 19, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Persatuan Bangsa Bangsa (PBB).

Penjabarannya, pada pasal 28F, UUD 1945, dinyatakan bahwa:

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Pasal 19, Deklarasi Universal HAM PBB yang dideklarasikan pada 10 Desember 1948 menegaskan:

“Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, dalam hal ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada pendapat tertentu tanpa mendapatkan gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan ide/gagasan melalui media apa saja tanpa ada batasan”.

Uraian di atas menunjukkan kebebasan bagi siapa saja. Meskipun ada jaminan untuk bebas berpendapat dan berekspresi, perlu pencermatan ebih lanjut terkait pelaksanaan hak tersebut tidaklah tanpa batas. Di Bandung, kita ingat kasus penyalahgunaan kebebasan berpendapat oleh anak muda yang dilaporkan oleh Walikota Bandung karena menyebarkan fitnah, pencemaran nama baik Kota Bandung. Demikian juga dengan kasus Florence Sihombing yang membabi buta menghina Yogyakarta beserta Sultannya.

Kebebasan tanpa batas adalah penafsiran yang keliru, penegakan hukum bukan tindakan diskriminasi, tetapi pengaturan yang lebih tertib dan etis. Lalu apa acuan pembatasan kebebasan tersebut? adalah pasal 29 ayat 2 pada deklarasi universal HAM yang sama, berbunyi:
Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain dan untuk memenuhi persyaratan aspek moralitas, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.

Kebebasan Virtual

Darimana munculnya kebebasan memproduksi, mendistribusikanserta mengkonsumsi informasi? Jawaban mudahnya adalah Internet, dan Internet secara pasti tergolong sebagai media yang mampu menjadi sarana penting dalam pemenuhan hak berpendapat dan berekspresi saat ini.

Apa pasal? Pada Juni 2011, PBB melalui Special Rapporteur bidang Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, Frank William La Rue, penuh semangat mengingatkan negara-negara, “Internet telah menjadi alat yang sangat diperlukan untuk mewujudkan berbagai hak asasi manusia, memberangus ketidakadilan, dan membantu percepatan pembangunan dan kemajuan manusia, maka memastikan (ketersediaan) akses ke Internet haruslah menjadi prioritas bagi semua negara”.

Argumentasi La Rue ini tidak serta merta menginginkan dibukanya kran sebesar-besarnya untuk negara menyediakan akses Internet bagi warganya. Ia tetap memiliki kekhawatian bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat di Internet berdampak pada banyak tantangan. Lebih lanjut, menurutnya, kebebasan berekspresi di Internet di banyak negara, kini banyak dihambat dengan cara menerapkan hukum pidana ataupun menciptakan hukum baru yang dirancang untuk dapat mengkriminalkan para pelaku kebebasan berekspresi di Internet.

La Rue memang bukan orang Indonesia, terlebih bukan Sunda, sehingga memandang kebebasan sebagi hal utama. Berbeda dengan kita yang hidup dengan teratur oleh budaya, adat kesopanan serta tindak-tanduk berkomunikasi. Tentu, aturan-aturan yang menertibkan, menentramkan sangat dibutuhkan.