Haramkah Membayar Pajak ?
Sebagai warga negara tentunya tidak terlepas dari kewajiban yang harus ditunaikan. Salah satu kewajiban tersebut antara lain adalah membayar pajak. Pertanyaannya kemudian adalah sebagai negara terbesar dengan jumlah penduduk beragama Islam, kita sebagai warga negara Indonesia ingin mendengar seperti apakah pandangan agama kita terkait pajak ini? Secara garis besar, mengacu berbagai literatur yang dihimpun, ada pendapat mayoritas (jumhur) ulama yang umumnya mendukung/memperbolehkan pajak dan tentu saja pendapat minoritas. Kedua opini ini bersandar pada hadits Nabi Muhammad SAW, yang berbunyi, “Tidak akan masuk surga orang yang memungut mukus” (HR. Abu Dawud, Ahmad, al-Baihaqi, al-Hakim, Ibn Khuzaimah). Mukus diartikan sebagi pungutan yang mendzalimi. Secara etimologis, mukus artinya pengurangan dengan penzhaliman. Yakni segala pungutan (uang) yang diambil makis (pemungut mukus atau kolektor retribusi) dari para pedagang dengan cara-cara zhalim atau pemaksaan. Istilah lain yang terkait dengannya adalah usyr yakni pajak 10% atau cukai sebesar 10% atas suatu komoditas.
Jumhur ulama berpendapat mukus ataupun ‘usyr tidak dapat digeneralisasikan sebagai bea cukai apalagi pajak. Jumhur ulama Ahlul Sunnah wal Jama’ah dari empat madzhab, Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali, sepakat pajak tidak dapat serta merta di-qiyas-kan (dianalogikan) sebagai mukus. Jumhur sepakat bahwa pajak yang dipungut/dipotong oleh pemerintah guna mendanai dan memenuhi kebutuhan masyarakat luas dari mulai membangun jalan, sekolah, rumah sakit, dst, adalah bukan mukus. Karenanya, halal untuk dipungut/dipotong sebagai pajak oleh pemerintah untuk kepentingan masyarakat.
Selain pendapat diatas, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa munculnya pajak adalah karena terbatasnya tujuan penggunaan zakat karena zakat tidak boleh digunakan untuk kepentingan umum seperti menggaji tentara, membuat jalan, membangun masjid dan tujuan lainnya diluar ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Selain itu, karena zakat memiliki batasan waktu (haul) selama satu tahun dan juga memiliki kadar minimum (nishab) sehingga zakat tidak dapat dipungut setiap saat sebelum haul dan nishab tercapai.
Abdur Razaq dalam Mushannaf Abd ar-Razaq meriwayatkan dari Abdullah ibn Umar ra. yang menuturkan bahwa ayahnya yakni Umar bin Khaththab Ra. memungut pajak dari Nabth (gandum dan minyak zaitun) sebesar ½ usyr (5%) agar mereka lebih banyak membawanya ke Madinah. Sayyidina ‘Umar bin Khaththab Ra juga memungut usyr (10%) dari komoditas al-Quthniyah (biji-bijian seperti Adas, Buncis, dsb). Peristiwa fakta sejarah itu juga diriwayatkan oleh Ibn Abiy Syai’bah di dalam Mushannaf Ibn Abi Syai’bah dari Ubaydullah bin Abdullah Ra.
Ulama Madzhab Syafi’i, seperti Imam al-Ghazali, menyatakan, memungut uang (pajak) selain zakat pada rakyat diperbolehkan jika memang diperlukan dan kas di baitul mal/kas negara tidak lagi mencukupi untuk membiayai kebutuhan negara, baik untuk perang atau keperluan negara lainnya. Namun jika masih ada dana di Baitul Mal, maka tidak boleh. Kemudian jumhur ulama Madzhab Hanafi, seperti Muhammad ‘Uma’im al-Barkati, menyamakan pajak dengan naibah. Ia berpendapat, naibah (pajak) boleh jika memang dibutuhkan untuk keperluan umum atau keperluan perang. Lalu jumhur ulama Madzhab Maliki, seperti Imam Al-Qurtubi, mengemukakan, ulama Madzhab Maliki sepakat dibolehkannya menarik pungutan (pajak) selain zakat apabila dibutuhkan.
Selanjutnya jumhur ulama Madzhab Hanbali, seperti Ibnu Taimiyah, membolehkan pengumpulan pajak yang mereka sebut dengan al-kalf as-sulthaniyah. Jumhur ulama Madzhab Hanbali menilai pajak yang diambil dari orang-orang yang mampu secara ekonomis merupakan jihad harta. Sementara ulama-ulama kontemporer seperti Rashid Ridha, Mahmud Syaltut, Abu Zahrah dan Yusuf Qardhawi berpendapat, pajak dihalalkan dalam Islam. Rashid Ridha dalam Tafsir Al-Manar V/39 menafsirkan Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat ke-29 dengan penjelasan sebagai berikut, bahwa : “… adanya kewajiban bagi orang kaya untuk memberikan sebagian hartanya (dalam bentuk zakat) untuk kemaslahatan umum, dan mereka hendaknya dimotivasi untuk mereka mengeluarkan uang (di luar zakat) untuk kebaikan”.
Yusuf al-Qardhawi dalam kitab Fiqhuz Zakah (II/1077) menjelaskan negara terkadang tidak mampu memenuhi kebutuhan pembangunannya. Untuk itu, harud dikumpulkan pajak sebagai salahsatu bentuk jihad harta. Sementara Abu Zahrah menuturkan, bahwa pajak tidak ada pada era Nabi saw, namun itu bukan karena pajak diharamkan dalam Islam, tapi karena pada masa itu solidaritas tolong menolong antar umat Islam dan semangat berinfak di luar zakat sangatlah tinggi. Adapun pendapat minoritas umumnya berasal dari ulama Madzhab Wahabi seperti Muhammad Nashiruddin al-Albani dan Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Mereka menyamakan mukus ataupun ‘usyr (artinya sepersepuluh) sebagai pajak atau cukai sehingga ulama Wahabi mengharamkan pajak dan bea cukai, sekaligus menfatwakan petugas pajak/bea cukai adalah pelaku dosa besar!
Sudah selayaknya kita membayar pajak guna menciptakan pertumbuhan pembangunan dan menjaga stabilitas perekonomian negara.