Belajar dari Tren Batu Akik

Mau muda mau tua, laki atau perempuan, seluruh suku di Indonesia, rasanya sekarang tengah gandrung oleh batu akik. Dengan berbagai jenisnya, batu akik terus memperlihatkan pesonanya.
Bahkan, sampai banyak tindakan irasional terkait. Misal mencuri batu nisan berbahan batu alam. Walaupun belum terukur jelas nilainya dibandingkan emas dan berlian, tetap batu akik diburu banyak orang.
Di sisi lain, pemberitaan media massa turut mendorong berburu untuk sekedar koleksi biasa hingga investasi. Maka, jangan jangan ke depan batu akik menjadi lambang kekayaan seseorang yang menjadi pemiliknya.
Namun sesungguhnya, bagi penganut agama Islam terutama, seluruh kisah demam batu akik ini mengingatkan pada kisah Qorun, orang kaya dengan harta luar biasa banyaknya.
Akan tetapi, zaman dulu belum ada fasilitas penampung efisien seperti sekarang. Bahkan, kunci gudang penumpangnya pun sangat berat dan tidak mampu diangkut oleh satu-dua orang.
Jadi, kelihatan logam mulia bahkan mungkin batu akik bernilai mahal di jemarinya atau tersimpan di gudang atau lemari di rumahnya. Namun sejak lama di era kerajaan, termasuk juga sekarang, orang kaya ini diharapkan memberi sumbangsih buat pemerintah agar raja bisa balik mensejahterakan rakyatnya.
Konsekwensinya raja akan memberikan perlindungan, membentuk pasukan kerajaan agar orang kaya ini aman dari gangguan perampok di darat, maupun penyamun di lautan luas. Tentu saja saat itu orang kaya sangat mudah dikenali.
Orang kaya selalu menikmati berbagai fasilitas yang dibangun raja. Mereka menikmati mudahnya jalan dan berkendara dengan kuda sehingga dapat bepergian jauh melintasi batas daerah bahkan batas kerajaan.
Apalagi uang kala itu bernilai sama dengan nilai alat tukarnya, ada uang emas, perak dan perunggu yang nilainya sama dengan nilai logam mulianya.
Dunia mencatat ada yang kaya dan ada yang miskin. Wujud kekayaannya sajalah yang berbeda. Kalau dulu kekayaan tersimpan di gudang masing-masing orang dalam wujud barang-barang yang di simpan berdekatan dengan tempat tinggal atau tempat usaha, saat ini orang kaya menyimpan harta kekayaannya tidak dalam bentuk barang barang tetapi dalam nilai uang dalam mata uang lokal maupun mata uang internasional.
Selain itu kekayaanpun dapat dimiliki dalam bentuk surat-surat berharga seperti bukti kepemilikan saham, kepemilikan obligasi maupun surat berharga lainnya. Tempat penyimpanannya pun tersebar bahkan bisa melintasi batas-batas negara.
Kalau dulu kekayaan nampak kasat mata, sekarang tempat penyimpanannya kadang tidak kelihatan wujud dan tempatnya. Namun demikian sebenarnya semua bisa ditelusuri karena ada dokumen dan tempat penyimpanannya. Orang memiliki uang pasti ada catatan rekening dan mutasinya, orang menyimpan surat berharga pasti ada dokumen kepemilikannya.
Dulu, orang bepergian dengan kuda/hewan. Sekarang, dengan kendaraan kekuatan beribu ribu kekuatan kuda.
Maka itu, sejarah manusia ternyata tidak ada yang berbeda, yang berbeda hanyalah medianya saja. Nah, negara saat ini menghadapi tantangan untuk dapat memetakan masyarakatnya. Ini penting karena negara bisa memberi peran distribusi dari si kaya kepada si miskin dimulai dari pemetaan siapa sebenarnya si kaya di Indonesia.
Untuk memetakan orang yang dianggap tidak mampu yang harus mendapat perlindungan sebagaimana amanat UUD 1945, negara sangat sulit mengidentifikasinya.
Apalagi memetakan orang-orang kaya dengan kekayaan beragam dan penyimpanannya melintasi batas negara. Untuk jujur sebagai orang miskin saja kadang masyarakat sulit, apalagi jujur menyatakan kekayaannya.
Buktinya banyak fasilitas yang seharusnya dinikmati rakyat miskin masih saja dicicipi orang kaya seperti premium bersubsidi.
Tidak ada orang yang punya uang banyak membawanya kemana saja, tetap saja uangnya akan tersimpan dalam rekeningnya. Tidak ada orang yang membawa barang berharga banyak memenuhi badannya kecuali sekedarnya.
Jadi, dari fenomena batu akik ini kita belajar bagaimana sebenarnya peran penting pemerintah, dalam hal ini Dispenda Jabar, untuk mengenali dan mendistribusikan kekayaan orang mampu melalui pajak. Bagaimana mereka yang punya harta berlebih bisa diketahui sekaligus digugah untuk membantu sesamanya dengan sadar dan taat membayar pajak. **

Memprioritaskan yang Utama

Jika ditanyakan kepada masyarakat umum, apa kira-kira yang paling dibutuhkan untuk seluruh anggota keluarganya, maka setidaknya jawaban yang paling mayoritas muncul adalah dua bidang ini: Kesehatan dan Pendidikan.
Hal ini dirasa wajar, karena sesusah apapun masyarakat, mereka pasti mengingikan pendidikan terbaik bagi anggota keluarganya. Apalagi kalau sampai gratis dan terus terjangkau.
Pun demikian sebaliknya jika pertanyaan selanjutnya disampaikan, maka niscaya kesehatan adalah termasuk jawabannya. Hal ini ditengarai terjadi merata di seluruh negeri, bukan hanya di Provinsi Jawa Barat.
Setelah kebanyakan warga mampu memenuhi kebutuhan utamanya, terutama pangan (makanan sehari-hari), maka apalagi yang paling mendasarkan dibutuhkan selain kesehatan dan pendidikan.
Maka itu, tak berlebihan rasanya, jika kita harus apresiasi keputusan Pemprov dan DPRD Jawa Barat yang terus meningkatkan alokasi bagi pendidikan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2015.
Seperti dilansir berbagai media, pada tahun ini, APBD Jabar 2015 yang sudah disyahkan eksekutif dan legislatif mencapai 27% dari total APBD yang disyahkan sebesar Rp24,753 triliun.
Sementara di sektor kesehatan, hal ini pula yang memicu perhatian, yakni mencapai 5,5% (Rp1,3 triliun)  –namun sedang diupayakan agar bisa mencapai 10% pada tahun ini pula.
Situasi ini dinilai sangat relevan dengan kondisi kekinian masyarakat Jawa Barat. Terutama dalam hal pencapaian pendidikan menengah atas, seperti disampaikan oleh Bappeda Jabar.
Menurut Kepala Bappeda Jabar, Denny Juanda, angka partisipasi kasar (APK) siswa SMA/SMK di Jawa Barat tergolong rendah. Dari jumlah lulusan SMP di Jabar, hanya 51 pesen yang meneruskan ke SMA/SMK.
Sisanya, sekitar 49 persen tak bisa meneruskan ke jenjang SMA/SMK karena, terkendala ruang kelas di SMA yang minim. Karenanya, kondisi yang memprihatinkan ini harus terus ditangani.
Apalagi, ujar Denny, APK SMA/SMK di Jabar tersebut berada di bawah rata-rata nasional. Tingginya siswa lulusan SMP yang tidak meneruskan ke SMA/SMK dikarenakan berbagai faktor.
Di antaranya, seperti kekurangan ruang kelas dan guru. Oleh karena itu, pihaknya akan segera membangun sekolah baru di daerah pelosok. Hal ini sangat penting guna memudahkan warga mengakses SMA/SMK.
Saat ini, Pemprov Jabar sedang memetakan daerah mana saja yang tidak ada SMA/SMK. Maka, sekali lagi, alokasi anggaran pendidikan 30% adalah keputusan rasional yang harus didukung.
Persoalannya adalah jika hanya rencana saja, maka ini tetap tak cukup. Hal yang mungkin untuk mewujudkan cita-cita mulia meninggikan derajat Jabar melalui pendidikan ini adalah tersedianya anggaran memadai.
Dan, suka tidak suka, anggaran cukup hanya bisa diperoleh dari pendapatan yang signifikan, yang terutama dalam beberapa tahun terakhir ini bersumber dari pajak kendaraan bermotor (PKB).
PKB adalah primadona yang memungkinkan senyum anak yang bisa melanjutkan sekolah ke SMA/SMK di Jabar, bisa terus berkembang. Tanpa PKB ini, sulit kita meraih pendidikan ideal ini.
Untuk itulah, tidak berlebihan bagi mereka yang rajin membayar pajak mobil dan atau motornya penuh sukarela dan sadar, layak disandangkan sebagai motor pembangunan Jawa Barat. (**)

Belajar dari Dirjen Pajak

Sebagai sesama penghimpun pajak masyarakat, rasanya bukan hal berlebihan jika kita di Dinas Pendapatan Provinsi Jawa Barat terus meningkatkan diri dengan belajar kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan.
Misalnya seperti disampaikan Kepala Bidang P2 Humas DJP Jawa Barat 2, Ahmad Jufri, akhir April 2015 lalu, yang mencanangkan 2015 sebagai tahun pembinaan wajib pajak 2015 sebagai lanjutan pencanangan program Presiden RI di Istana dengan motor ‘Reach the Unreachable, Touch the Untouchable.’
Tahun pembinaan wajib pajak 2015 ditunjukkan pada kelompok wajib pajak terdaftar yang telah menyampaikan SPT maupun yang belum menyampaikan SPT serta kelompok pribadi atau badan yang belum terdaftar sebagai wajib pajak.
Selama tahun pembinaan wajib pajak 2015, Ditjen Pajak memberikan kesempatan seluas-luasnya dan mendorong wajib pajak mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP,menyampaikan SPT,membetulkan SPT serta melakukan pembayaran pajak.
Bahkan, kata Ahmad, Ditjen Pajak akan menghapus sanksi administrasi berupa bunga dan denda atas keterlambatan pembayaran dan pelaporan pajaknya.
Salah satu proses pembinaan adalah memberikan terobosan layanan yang makin memudahkan masyarakat. Seperti Ditjen Pajak yang memberlakukan faktur pajak elektronik atau e-Faktur.
Layanan pembayaran pajak secara online atau e-Billing disamping layanan lainnya yang telah diluncurkan yaitu e-Filling untuk pengisian SPT Tahunan Orang Pribadi secara online dan e-SPT untuk penyampaian SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai dan SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21.
Diharapkan, dengan adanya tahun pembinaan ini, maka pada tahun 2016 bisa dilakukan penegakkan hukum atas berbagai aturan pajak yang ada. Jadi, mengedukasi dulu barulah menindak.
Dinas Pendapatan Provinsi Jawa Barat bisa belajar dan menangkap esensi bahwa masyarakat Indonesia tak bisa harus serta-merta diancam apalagi dipaksa dalam berkontribusi membayar pajak.
Dibutuhkan cara-cara diplomatis dan mendidik, yang pastinya konsisten dan penuh kesabaran, sehingga pada akhirnya masyarakat akan penuh kesadaran menunaikan kewajibannya.
Kita pun di Dinas Pendapatan Provinsi Jawa Barat memiliki target tak kalah kecil dari Ditjen Pajak pada tahun ini dalam menghimpun pajak sebagai sumber pendapatan utama Provinsi Jawa Barat.
Maka itu, sebagai orang bijak yang penuh tanggungjawab, sudah selayaknya kita tak berhenti belajar bagaimana mengejar suatu target, terutama pada institusi yang memiliki banyak kesamaan semacam Ditjen Pajak ini. (**)
Bank BJB

Melesatkan yang Biasa

Kita bisa melihat, terutama di Dinas Pendapatan Provinsi Jawa Barat, primadona pendapatan dalam beberapa tahun terakhir ini adalah pajak kendaraan bermotor (PKB) terutama dari roda dua.
Kenaikan signifikan terus terjadi setiap tahunnya. Misalnya pada tahun 2014 lalu, PKB mampu melebihi target dari prognosa awal Rp 4,571 Triliun namun yang tercapai adalah sebesar Rp 4,938 Triliun.
Senada PKB, kenaikan serupa juga terjadi pada Biaya Balik Nama (BBN). Untuk BBN I (roda dua) dari target Rp 5,087 Triliun, hingga 31 Desember 2014 terealisasi sebesar Rp 5,182 Triliun. Sedangkan untuk BBN II (Roda Empat) realisasinya sebesar Rp 11 Miliar dari target sebesar Rp 134 Miliar.
Pada tahun ini, menjadi wajar jika target PKB adalah sebesar Rp 5,376 Triliun dan hingga tanggal 25 Januari 2015 baru terealisasi sebesar Rp 358 Miliar.
Untuk BBN I ditargetkan sebesar Rp 5,203 Triliun dan baru teralissi sebesar Rp 349 Miliar. Sementara untuk BBN II sudah terealisasi sebesar Rp 8 M dari target sebesar Rp 117 Miliar.
Padahal ini semua diperoleh dari pelayanan konvensional, pelayanan yang biasa diberikan semisal pembayaran melalui loket reguler, drive thru, hingga Samsat Keliling. Dengan layanan biasa, hasilnya luar biasa.
Akan tetapi, hal ini tentu jangan mudah memuaskan Dinas Pendapatan Provinsi Jawa Barat. Sebab dimanapun dan dalam bidang apa saja, mereka yang mudah puas adalah yang pertama terjatuh.
Hal ini bukan berlebihan, karena faktanya yang pertama masuk zona nyaman adalah yang paling awal terjatuh. Maka itulah, dibutuhkan terus penguatan motivasi agar yang biasa ini makin melesat.
Terlebih, sejak November 2014 lalu, Dinas Pendapatan Provinsi Jawa Barat sudah menginisasi terobosan layanan berupa E-Samsat yang harusnya memudahkan dan menguntungkan semua pihak.
Hanya dengan berbekal kartu ATM Bank Jabar, tanpa perlu lama antre, atau masuk pelayanan konvensional yang relatif butuh banyak usaha, kini masyarakat bisa membayar PKB mudah dan efektif.
Faktnya, utilisasi E-Samsat ini memang belum kuat benar. Penggunaannya di berbagai daerah masih minim, sehingga kemudahan ini harus mampu melesatkan yang biasa terutama pada tahun ini.
Kita tentu tak ingin masuk zona nyaman, merasa sudah besar tanpa perlu berbenah. Sebab, pemenang adalah mereka yang terus berusaha memacu dirinya meski sudah tahu kejayaan ada di tangannya! (**)

Bagaimana Jepang Mengelola Pajak E-Commerce

Dewasa ini, electronic commerce (e-commerce) alias e-dagang terus menjadi sorotan dalam lanskap ekonomi nasional. Hal ini terkait potensinya yang memang demikian besar.
Akhir tahun lalu, penetrasi internet di Indonesia terhadap masyarakat sudah mencapai kurang lebih 35 persen dari seluruh total populasi penduduk. Menurut lembaga riset pasar e-Marketer, populasi pengguna internet Tanah Air tahun 2014 mencapai 83,7 juta orang.
Dengan jumlah tersebut, Indonesia menempati urutan keenam dunia dalam hal pengguna internet. Angka tersebut akan terus berkembang, diperkirakan pada tahun 2017 mencapai 117 juta netizen.
Sedangkan populasi pengguna internet lebih dari 3 (tiga) jam perhari (netizen) berdasarkan Markplus Insight adalah sebesar 36 juta orang. Jumlah tersebut merupakan pasar terbuka bagi para pedagang pelaku e-commerce.
Transaksi e-commerce yang diadopsi ke dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No 62/PJ/2013 (SE-62) dapat dikelompokan dalam empat kelompok yaitu online marketplace, online retail, classified ads, dan daily deals. Meskipun prakteknya satu pelaku perdagangan e-Commerce dapat melakukan melakukan lebih dari satu kelompok transaksi tersebut.
Kompas menyebutkan, peredaran transaksi e-commerce (PDB e-commerce) di Indonesia sebesar kurang lebih 120 triliun rupiah. Transaksi e-commerce mencapai 8.5 % dari PDB dari sektor perdagangan secara keseluruhan pada tahun 2014 sebesar kurang lebih 1400 triliun.
PDB e-commerce tersebut diperoleh dari transaksi yang dilakukan lebih 75 ribu pedagang pelaku e-commerce. Jumlah tersebut akan terus meningkat pesat, karena berdasarkan sumber dari Markplus Insight dan Markeeters ada sekitar 5 (lima) juta pedagang yang siap melakukan penjualan online apabila infrastruktur dan jaringan sudah memadai. Jadi, demikian dahsyat sektor ini!
Dalam transaksi e-Commerce terdapat potensi pajak yang seharusnya disetorkan kepada negara. Berdasarkan SE-62 tidak ada pajak baru pada transaksi e-Commerce sehingga berlaku ketentuan umum.
Namun kita bisa belajar dari Jepang. Negeri sakura ini telah menangani e-commerce sejak tahun 2002 dengan membentuk tim dengan nama Protect Professional Team for e-Commerce Taxation (PROTECT).
Sebuah unit khusus di National Tax Agency (NTA) yang hanya bertugas untuk mendeteksi transaksi e-commerce. Pemerintah Jepang sangat serius menggarap pajak atas e-commerce untuk menunjang penerimaan.
Bukan tanpa alasan pemerintah jepang sangat fokus kepada sektor e-Commerce karena peredaran transaksi e-commerce di Jepang mencapai sekitar 20 ribu triliun rupiah, jumlah yang sangat fantatis mengingat beberapa tahun terakhir Jepang mengalami defisit anggaran.
Pemerintah Jepang berniat meningkatkan penerimaan pajaknya dari sektor e-commerce. Perkiraan potensi penerimaan yang dapat dihimpun Jepang dari pajak konsumsi dengan tarif 8 persen adalah sekitar 1600 triliun rupiah.
Jumlah tersebut kurang lebih 35% dari penerimaan pajak Jepang secara keseluruhan. Tahun 2015 kurang lebih perkiraan penerimaan pajak sebesar 5.452 triliun rupiah.
Tim PROTECT tersebut mempunyai tugas melakukan pemeriksaan dan pengumpulan data dari segala transaksi yang berhubungan dengan transaksi e-Commerce, mengoperasikan database, dan memberikan pelatihan terkait e-commerce.
Tim PROTECT tidak hanya mengumpulkan transaksi dari perusahaan perusahaan besar yang di Jepang tetapi juga mengumpulkan transaksi dari SME’s yang rata ibu rumah tangga, pelajar/mahasiswa, atau orang pribadi yang melakukan usaha sampingan berjualan secara elektonik.
Selain pembentukan tim, peraturan perundang-undangan di Jepang juga mendukung petugas pajak dalam mengumpulkan data-data dari pihak ketiga. Data transaksi wajib pajak yang melalui lembaga keuangan, baik bank atau bukan bank dapat dengan mudah diakses oleh petugas pajak.
Selain itu, keharusan menyerahkan data-data lain yang terkait perpajakan dalam mengamankan penerimaan negara oleh instansi,lembaga, asosiasi atau pihak lainnnya sudah tersistem dengan baik.
Nah, sekarang akan tergantung masyarakat Indonesia. Apakah memang memiliki kesadaran personal dan kolektif untuk sama-sama membangun negeri dari pajak berbagai bidang. Atau malah sebaliknya? **

Inovasi Atau Tergilas Zaman

Kita seringkali melihat film fiksi soal robot. Bahwa mereka diciptakan untuk memudahkan pekerjaan manusia, bukan menggantikannya total. Namun pastinya selalu ada kebijakan di balik sebuah mesin yang tercipta.
Masa kini selalu terasa belum semenarik impian yang kita angankan. Meski masa depan selau menjadi spirit kita dalam berkarya. Untuk itulah, sudah seharusnya kita meningkatkan kepatuhan di bidang perpajakan.
Maka wajar jika kita sudah seharusnya bisa membuat sesuatu yang benar-benar membekas di hati wajib pajak. Itupula alasan yang membuat hadirnya berbagai inovasi di Dispenda Jabar seperti E-Samsat.
Meski masih dalam tahap sosialisasi, kita mengetahui bahwa robot yang ada (baca: peranti lunak) adalah salah sayu bagian dari impian masa depan dalam meningkatkan kepuasan para wajib pajak.
Bagaimana mereka ke depan makin mudah, makin gampang saat menunaikan kewajibannya. Jangan sampai malah makin susah dan ribet ketika akan berkontribusi kepada pembangunan negeri ini.
Situasi ini pula yang menjadi landasan inovasi terus dilakukan Dirjen Pajak Kementerian Keuangan.  Dimulai dari awal, DJP akan membuat aplikasi pengingat yang kita gunakan untuk mengingatkan wajib pajak terhadap hak dan kewajiban perpajakannya secara otomatis.
Nantinya aplikasi ini akan disebut sebagai “si jamper”. Aplikasi si jamper ini berarti “Sistem Jam Perpajakan”. Nah proyek inilah yang nantinya akan mempermudah sebagian besar tugas DJP dalam hal meningkatkan kepatuhan wajib pajak berbasis digital.
Dalam pelaksanaannya, wajib pajak bisa mengunduh aplikasi berbasis android ini pada gadget mereka. Kemudian setelah terpasang, maka segala hal yang berkaitan dengam sarana administrasi perpajakan bisa mereka ketahui.
Mulai dari kewajiban mereka setiap bulan, setiap tahun hingga tak ketinggalan pula hak-hak mereka di bidang perpajakan dengan sinkronisasi database yang sudah berjalan.
Maka dalam hal ini, wajib pajak dapat memasukan NPWP mereka sebagai username, dan nomor e-FIN mereka sebagai kata sandinya. Identifikasi inilah yang nantinya akan membedakan setiap menu yang wajib pajak dapat setelah mereka berhasil login.
Sebagai contoh, nantinya menu wajib pajak orang pribadi akan berbeda dengan menu wajib pajak badan. Dan menu wajib pajak badanpun tentunya akan berbeda dengan menu wajib pajak bendahara.
Menu-menu yang akan ditampilkan tentunya sesuai dengan bidang yang mereka geluti. Tak akan tercampur aduk dengan menu-menu yang lainnya. Sebagai fungsi pengingat akan ada notifikasi yang nantinya akan muncul sebagai pengingat dihadirkan 2-3 hari sebelum batas akhir kewajiban penyampaian laporan SPT wajib pajak tersebut.
Aplikasi ini tentunya akan sangat berguna bagi wajib pajak orang pribadi pengusaha, karena mereka diharuskan banyak melaporkan SPT pajaknya. Dalam hal lain, kita juga dapat menyampaikan informasi lain-lain kepada wajib pajak.
Baik itu berupa iklan perpajakan maupun informasi mengenai peraturan perpajakan terbaru. Secara modern, kita tak harus lagi menempelkan baliho yang berukuran besar di pojok-pojok kota yang strategis.
Hal tersebut selain bisa memangkas biaya sosialisasi, tentunya bisa juga menyasar tepat langsung kepada genggaman wajib pajak. Sekarang tak perlu harus menengok ke tengah kota untuk sekedar melihat informasi tentang perpajakan.
Memang harus diakui, seperti halnya E-Samsat, untuk memulai perubahan akan terasa sulit. Namun itulah pengorbanan yang harus kita tempuh agar terus berkembang dari masa ke masa. Sebagaimana ditekankan pendiri Apple, Steve Jobs, apakah kita akan berinovasi…atau mati digilas zaman. Innovate or die! **

Mendukung dan Taat Tanpa Perlu Sanksi

Beberapa hari lalu, tepatnya 6 Mei 2015, sejumlah media massa di Jawa Barat mempublikasikan berita tentang Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jabar I menyerahkan tersangka penggelapan pajak berinisial DS pada Kejaksaan Tinggi Jabar.
DS merupakan direktur CV TC di Bandung yang dinilai telah merugikan negara sebesar Rp 5,9 miliar akibat tidak menyetorkan pajak pungutan PPN yang telah dilakukan.
Penyerahan tersangka dan barang bukti ini merupakan tindak lanjut penangkapan terhadap DS pada 11 Maret 2015 lalu yang dilakukan oleh tim Polda Jabar atas permintaan dari Kanwil DJP Jabar I.
CV TC bergerak di bidang distribusi pupuk. Pembeli dibebani untuk membayar PPN, namun pajak yang telah dipungut tersebut tidak dibayarkan ke kas negara.
PPN yang telah dipungut dan tidak disetorkan itu sebesar Rp 5,9 miliar selama 4 tahun.
Sebelum melakukan penyidikan, Kanwil DJP Jabar I telah menempuh pendekatan dengan wajib pajak tersebut dengan memberikan surat peringatan untuk melakukan pembetulan. Namun DS dianggap tidak kooperatif dan sengaja meninggalkan kewajibannya sehingga akhirnya harus dibawa ke jalur hukum.
Kita memang tak bisa mengelak tentang adanya sanksi dan apresiasi dalam sebuah sistem di manapun. Yang berprestasi tentu akan diapresiasi, sebaliknya yang mengadali atau tak taat pasti akan disanksi.
Demikian pula halnya terkait regulasi perpajakan. Bahwa selalu ada dua sisi mata uang yang akan mengiringi dari sikap dan prilaku wajib pajak. Pembayar pajak kendaraan bermotor misalnya, jika tak taat, berpotensi disanksi.
Akan tetapi, pada tahapan ini, sebenarnya pendekatan hukuman adalah bukan opsi awal dari Dinas Pendapatam Jabar. Bahkan mungkin menjadi alternatif terakhir yang akan diterapkan.
Sebagaimana pernah disampaikan Kepala Bidang Perencanaan dan Pengembangan Dinas Pendapatan (Dispenda) Jabar Idam Rahmat, Januari lalu, bahwa tahun ini pihaknya akan lebih memprioritaskan pemberlakuan konsep operasional untuk kawasan pemangkuan layanan guna maksimalisasi pelayanan bagi wajib pajak.
Dimana sejak kedatangan wajib pajak, kebutuhan sarana penunggu bagi wajib pajak, informasi layanan, pelayanan bagi wajib pajak sampai dengan kepulangan wajib pajak, sehingga mampu memberikan kesan positif terhadap layanan Samsat di seluruh Jawa Barat.
Menurut Idam, dengan adanya Perpres no 5 tahun 2015 sebagai penganti Inpres Tahun 1999, perlu memperhatikan dan mempersiapkan kebutuhan anggaran pada kesamsatan, baik kebutuhan pelayanan dan ruangan.
Jadi, guna menggenjot pendapatan dalam mencapai target, Dispenda Jabar tidak serta merta akan menerapkan hukuman. Namun menargetkan sisi perencanaan diperbaiki lebih matang dibandingkan tahun sebelumnya.
Seluruh cabang pelayanan, Puslia, dan seluruh Bidang dapat memperhatikan perencanaan lebih matang baik dari belanja maupun target berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan dalam upaya peningkatan kinerja.
Menurutnya, mengacu posisi perencanaan tahunan dalam RPJMD dan RPJPD bahwa pada tahun 2016 merupakan Tahapan Pembangunan Jangka Menengah (Tahap Verifikasi).
Diharapkan, hal ini memacu terus adanya upaya penguatan kapasitas pendamping daerah yang makin mampu memenuhi kebutuhan pembangunan daerah yang telah diamanatkan dalam RPJMD Jawa Barat.
Jadi, selayaknya kita penuh sadar membayar pelbagai pajak daerah dibandingkan harus menunggu datangnya peringatan bahkan sanksi seperti di awal tulisan ini. Mari dukung Dispenda Jabar! (**)

Menggelorakan Harapan Atas APBD Jabar 2015

Target penerimaan pendapatan Pemprov Jabar 2015, yang pastinya banyak ditopang oleh pajak daerah, sudah diketok palu dengan angka fantastis yakni Rp 23,914 trilun!
Nilai uang sebesar ini tentulah tidak main-main dalam mengejarnya. Sekalipun jika tercapai, seperti target APBD yang sudah-sudah, maka rakyat Jabar pula yang pertama memperoleh manfaatnya.
Jadi, ini angka yang cukup berat namun sebenarnya realisitis. Pastinya, jika tiak dibarengi niat dan kerja yang keras, maka bukan hal mudah untuk mencapai target ini. Yang pasti, harapan tak bolehlah padam.
Dikutip dari Wikipedia edisi Bahasa Indonesia, harapan atau asa adalah bentuk dasar dari kepercayaan akan sesuatu yang diinginkan akan didapatkan atau suatu kejadian akan berbuah kebaikan di waktu yang akan datang.
Jadi, harapan adalah energi, energi adalah sebuah kekuatan. Tanpa kita dibarengi pikiran yang penuh harapan, maka dengan sendirinya kita akan menyerah sebelum sampai tenggat waktunya.
Dispenda Jabar harus optimistis dengan energi besar yang sudah dimiliki. Misal berbagai terobosan yang dilakukan, seperti E-Samsat yang memudahkan masyarakat membayar pajak bermotornya.
Di sisi lain, berbagai upaya terus dilakukan secara solid dan cepat, baik di kantor pusat maupun kantor cabang. Seperti misalnya survei kendaraan tidak melakukan daftar ulang, sehingga potensi perpajakan meningkat.
Di level makro, sejumlah langkah perbaikan di sektor pajak akan dilakukan pemerintah untuk mewujudkan pencapaian tersebut seperti penertiban administrasi perpajakan, memaksimalkan upaya pencegahan transfer pricing, dan upaya meningkatkan penegakan hukum.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga akan melakukan reformasi baik untuk internal maupun eksternal. Reformasi birokrasi, perubahan struktur organisasi dan maraknya berita mengenai kenaikan tunjangan pegawai menjadi acuan perubahan di internal DJP.
Sedangkan untuk Wajib Pajak diberikan perbaikan administrasi perpajakan melalui e-Faktur, e-Filing, penyempurnaan peraturan perundang-undangan, dan berbagai langkah untuk peningkatan pelayanan. Bukan hanya pegawai pajak yang menaruh harapan baru di tahun ini, namun Wajib Pajak pun mempunyai sejumlah harapan kepada DJP.
Singkat kata, kembali ke soal target Rp23,914 triliun, kita harus selalu menggelorakan harapan. Sebab, orang yang tidak memiliki harapan disebut orang yang putus asa. Bila seseorang sudah putus asa,maka tidak ada lagi yang bisa menolongnya.
Sebuah langkah cepat dalam membangun harapan adalah melalui keyakinan, karena di dalam harapan itu terdapat keyakinan untuk mengubah sesuatu. Di sisi lain, kesungguhan adalah kunci kesuksesan. Semua yang kita harapkan, segala yang kita inginkan dan kita cita-citakan mustahil bisa didapatkan hanya dengan menunggu tanpa berusaha.
Sebuah pepatah arab yang sangat populer berbunyi, “Manjadda wajada” (Barang siapa bersungguh-sungguh pasti mendapat hasil). Secara tidak langsung pepatah tersebut mengandung makna orang yang tidak bersungguh-sungguh dalam berusaha, pasti tidak akan pernah mendapatkan apa-apa.
Kita sebagai fiskus maupun Wajib Pajak, dapat menyatukan harapan dan kesungguhan dalam suatu sinergi yang ideal. Untuk mewujudkan harapan itu, diperlukan kesungguhan dari semua pihak untuk terus yakin, berdoa dan berusaha! **

Kerja Keras Bersama Sebagai Kunci Harapan Laten

Adalah hal wajar, lumrah didengar jika semua dari kita akan menanyakan apa yang dirasakan dari apa yang sudah ditunaikan? Apa manfaat yang diraih setelah kita memberikan sesuatu?
Malah pertanyaan ini akan menjadi nyaring, manakala kemudian kita merasa tersudut. Ketika tak lagi ada rasa aman, contoh kecelakaan maut karena jalan bolong, kita bertanya kemana kontribusi pajak kita?
Bagaimanakah proses pengembalian dari apa yang sudah diberikan masyarakat kepada institusi perpajakan? Seperti apakah benefit yang dirasakan manakala kita sudah tunaikan kewajiban?
Sebenarnya, bagi mereka, termasuk pembaca laman ini, yang sudah tahu konsep kehidupan bernegara, mungkin bisa menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan klasik tersebut.
Tidak perlu kita ungkapkan berulang-ulang tentang berapa persentase peranan pajak dalam APBN kita, atau berapa triliyun uang pajak yang dikucurkan untuk menjalankan roda pemerintahan saat ini, yang jelas bagi masyarakat awam, uang pajak itu seharusnya digunakan untuk hal-hal yang membuat masyarakat sejahtera.
Kita ketahui bersama, bahwa uang pajak yang dikumpulkan semua otoritas pajak di negeri ini, akan dikembalikan ke masyarakat melalui semua elemen pemerintah. Baik melalui lembaga yudikatif, eksekutif, maupun legislatif.
Karena itu, hendaknya semua elemen ini juga turut bertanggung jawab dalam mengedukasi masyarakat, memberikan contoh nyata kepada masyarakat dengan bekerja secara profesional dan penuh pengabdian, serta turut membantu otoritas pajak, karena mereka juga digaji dari uang pajak yang telah dikumpulkan otoritas pajak, sehingga dapat mempersempit kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang dihadapi masyarakat.
Namun sekali lagi, faktanya di lapangan, pertanyaan benefit tadi tetap muncul baik ke Direktorat Jenderal Pajak (sebagai pengumpul Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Niai (PPN), Pajak Penjuaan Barang Mewah (PPnBM), Bea Meterai dan PBB sektor Pertambangan, Perhutanan dan Perkebunan (PBB P3) dan atau ke Dinas Pendapatan yang mengelola sisa pajak lainnya.
Nah, secara prinsip, masyarakat tidak akan banyak paham tentang sifat pajak yang tidak ada kontra prestasi langsung! Prinsip ini tak semuanya mau mengerti apalagi faham.
Masyarakay tetap lebih paham jika tidak ada lagi jalan berlubang atau rusak, biaya pendidikan terjangkau bahkan gratis, semua layanan instansi pemerintah memuaskan, penegakkan hukum berjalan adil, kemudahan dalam perijinan, transparan dan biaya murah, keamanan di lingkungan atau di jalan, tidak ada korupsi, dan sejuta ekspektasi lainnya.
Maka itu, sebenarnya guna paling efektif menjawab tuntutan kontra prestasi langsung ini adalah ketika semua institusi pemerintah bersatu padu mewujudkan harapan masyarakat. Dengan sendirinya, itu terjawab seluruh ekspektasi di atas.
Ketika semuanya aparat pemerintah bahu membahu melayani, pajak akan tampil sebagai sahabat bagi rakyat dan akan ada di tengah-tengah masyarakat sebagai representasi pemerintahnya.
Itulah makanya, pada akhirnya, masyarakat pembayar pajak pun akan dengan senang hati membayar pajak dan turut menjaga pajak sebagai representasi nadi kehidupan negeri ini. Akhirul, prinsip kerja keras bersama-sama, baik di sisi aparat maupun masyarakat sendiri, adalah kunci dari seluruh harapan laten tadi. ***

Mengantisipasi Masalah Pajak Pada Era MEA di Jawa Barat

Dalam hitungan beberapa bulan ke depan, Jawa Barat akan segera mengalami fase ekonomi baru yakni penerapan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), yang membuat semua berada dalam posisi peluang yang setara.
Salah satu hal yang sangat terkait perpajakan adalah praktek bisnis yang memungkinkan menguntungkan di era ini karena proses distribusi barang dan jasa menjadi lebih dinamis ke depan.
Akan tetapi, sebagaimana pengalaman menunjukkan, bahwa proses perpajakan pada zaman MEA nanti juga sangat mungkin menciptakan berbagai petaka bagi Jawa Barat khususnya dan Indonesia umumnya.
Salah satu bencana itu adalah praktek transfer pricing, alias transaksi barang dan jasa antara beberapa divisi pada suatu kelompok usaha dengan harga yang tidak wajar. Bisa dengan menaikkanatau menurunkan harga, kebanyakan dilakukan oleh perusahaan global.
Hal ini dilakukan guna mengurangi jumlah profit sehingga pembayaran pajak dan pembagian dividen menjadi rendah. Motif lainnya adalah menggelembungkan profit untuk memoles laporan keuangan.
Modus transfer pricing, seperti dihimpun berbagai sumber, dapat terjadi atas harga penjualan, harga pembelian, overhead cost, bungashareholder-loan, pembayaran royalti, imbalan jasa, dan penjualan melalui pihak ketiga yang tidak ada usaha (special purpose company).
Dalam menjalankan modus ini, prakteknya pengusaha mendirikan perusahaan perantara di negara bertarif pajak rendah seperti Singapura, sebelum menjual ke pengguna akhir.
Contohnya PT.X memproduksi mobil dengan biaya Rp.700 dan menjualnya ke PT.Y (perusahaan afiliasi) ke Singapura seharga Rp.725.
PT.Y ini hanya perusahaan akal-akalan yang berada di negara berpajak rendah (tax haven country). Dari PT.Y, mobil dijual ke PT.Z dengan harga Rp.1.000. Karena PT.Y tidak ada usaha riil, yang terjadi adalah penjualan mobil dari PT.X kepada PT.Z.
Profit PT.X yang dilaporkan dalam SPT adalah Rp.725-700 atau Rp.25 per mobil. Seharusnya profit PT.X adalah Rp.1000-700=Rp.300. Selisih harga jual ini merupakan bentuk transfer pricing berupa penurunan harga, karena seharusnya pajak dikenakan atas profit sebesar Rp.300 per mobil.
Dalam akuisisi usaha juga bisa terjadi transfer pricing. Penjualan pabrik hanya dinilai dari nilai aset dan lahan pabrik. Faktor kelangsungan usaha seperti tenaga kerja, merek, dst, tidak dilaporkan sebagai nilai asset perusahaan, sehingga nilai jual perusahaan sangat rendah. Akibatnya pajak dirugikan karena pajak penghasilan atas akuisisi menjadi rendah. Pada era MEA, diduga akan banyak akuisisi untuk pertumbuhan usaha anorganik.
Praktek lainnya membayar royalti ke induk usaha. Contoh PT.A di Indonesia, selaku anak usaha XYZ Limited, mendapat lisensi untuk menjualan produk XYZ Limited di Thailand. Selain itu XYZ Limited juga memberi lisensi ke perusahaan non afiliasi di Indonesia, yaitu PT.B. Atas lisensi ini, PT.A membayar fee ke XYZ Limited sebesar Rp.10 milyar.
Dengan jumlah omset hampir sama, PT.B hanya membayar royalti ke XYZ Limited sebesar Rp.2,5 milyar. Atas perbedaan tarif royalti, kemungkinan pembayaran royalti PT.A adalah pembayaran dividen terselubung dari PT.A ke XYZ Limited selaku pemegang saham.
Lalu, bagaimana menangkal berbagai praktik ini terjadi? Bagaimana potensi dari MEA agar jadi keuntungan bersama, bukan malah merugikan semua dari kita, terutama masyarakat dan provinsi Jawa Barat??
Dilansir pajak.go.idterdapat sejumlah cara menangkalnya. Pertama, mengaktifkan peran akuntan publik. Ketentuan paragraf 9 huruf d Standar Professional Akuntan Publik (SPAP) No. 34 mengatur peranan auditor untuk menguji kewajaran perhitungan yang diungkapkan dalam laporan keuangan. Model penilaian usaha untuk pengenaan pajak harus diperluas ke penilaian atas asset non riil seperti goodwill, merek dan lisensi sehingga diketahui berapa nilai transaksi yang ada.
Kedua, memperluas kriteria transfer pricing tidak hanya related parties, tetapi melebar ke semua transaksi yang diindikasikan di bawah harga pasar wajar, termasuk dengan perusahaan non afiliasi.
Ketiga, menggunakan data pembanding Eksternal dari pelaporan DHE (Devisa Hasil Ekspor) untuk mendeteksi aliran dana dan underlying transaksi ekspor. Dalam Peraturan Bank Indonesia No.13/20/PBI/2011, seluruh penerimaan DHE harus melalui Bank Devisa, dimana eksportir wajib menyampaikan informasi tentang DHE meliputi informasi tanggal PEB, kode kantor Bea Cukai, nomor pendaftaran PEB, dan NPWP eksportir.
Keempat, mengumumkan ke publik tentang proses banding oleh wajib pajak yang melakukan transfer pricing, sebagai bentuk tekanan moral. Perlu dicermati, pada pasal 50 ayat (1) UU No.14/2002 tentang Pengadilan Pajak, disebutkan bahwa pengadilan pajak terbuka bagi publik. Dengan Pemerintah mengumumkan jalannya peradilan pajak, akan membuka mata publik bahwa perusahaan-perusahaan terkenal tersebut ternyata melakukan kecurangan untuk menghindari pajak.
Kelima, pembentukan single document window (SDW) antar negara yang telah menerapkan tax treaty, dan forum multilateral, seperti MEA dan APEC. Model SDW efektif mengawasi harga pengiriman barang antar negara produsen dan konsumen. Dengan model SDW, penerbitan invoice oleh perusahaan perantara abal-abal di tax haven country akan terkena pajak, sehingga modus transfer pricing tidak efisien untuk perusahaan tersebut. (**)