Prihatin! Menghindari Pajak di Tanah Air

Kita tentu prihatin, manakala orang-orang berada, yang serial duitnya tidak ada habisnya, malah cenderung menghindari membayar pajak di tanah air untuk kemudian membayar pajak di negara lain.
Situasi ini tentu mengherankan. Ketika masih banyak orang sekitar kita yang serba kekurangan, termasuk di Jawa Barat ini, malah sebagian orang kita justru “menerbangkan” pendapatannya ke negeri orang.
Yang terbaru, seperti dirilis salah satu koran nasional terungkap bahwa salah satu orang kaya Indonesia versi Majalah Forbes tersangkut dengan kasus HSBC Swiss yang menghebohkan dunia terkait penggelapan pajak.
Selain Swiss, sudah jadi rahasia umum dan berlangsung lama bahwa banyak perusahaan besar Indonesia memilih kantor pusat di Singapura padahal sumber penghasilan berada di Indonesia.
Melalui varian pembayaran jasa, royalti ke kantor pusat. Labuan FSA, dengan fasilitas seperti negara Tax Haven Countries, menjadi lokasi menarik untuk pendirian entitas anak usaha.
Padahal, tarif pajak perusahaan di Indonesia sudah diturunkan menjadi 25% pada tahun 2010. Akan tetapi, sebagai sebuah evaluasi, tarif ini relatif masih tinggi apabila dibandingkan negara tetangga di Asean.
Hanya Malaysia yang sama 25%. Thailand 20%, Vietnam 22%,  dan Singapura berani dengan hanya mematok tarif 17%! Di luar Asia Tenggara, Hongkong 16,5%. Apalagi untuk negara yang kerap disebut surga pajak (Tax Haven Countries), seperti Bermuda, Bahamas, Cayman Islands dengan tarif corporate Tax 0%.
Tapi tentu saja yang terdekat yang dilihat. Pajak perusahaan di Singapura patut menjadi perhatian. Sebagai negara kecil, Singapura memainkan peran seperti negara kecil di Eropa yang menyedot penerimaan pajak negara tetangga dengan fasilitas tarif pajak atau skema rumit untuk menurunkan pajak di negara sumber.
Singapura memang agresif memberikan insentif pajak.  Bagi investor asing yang menempatkan kantor pusat/regional  usaha dan syarat memperkerjakan orang Singapura, malah mendapatkan penurunan tarif sebesar 10-15%.
Ada juga penurunan tarif untuk perusahaan yang bergerak di bidang pelayaran dan maritim. Ditambah tidak adanya withholding tax untuk pembayaran bunga dan dividen, makin mantap sudah! Jadi tidaklah mengherankan, jika banyak pengusaha Indonesa yang memarkir uang mereka ke Singapura.
Direktur Utama Bank Mandiri dalam sebuah kesempatan mengatakan, terdapat dana simpanan orang kaya Indonesia dan uang perusahaan yang tersimpan di Singapura masing-masing bernilai USD 150 Milyar
Malah mungkin bisa lebih karena ini fenomena gunung es, yang bukan hanya terjadi di tanah air, namun juga secara global. Pada Februari  2015 lalu, Eropa dikejutkan kasus perpajakan yang dilakukan HSBC Swiss.
Fenomena gunung es sebagaimana terlihat dalam kasus International Consortium of Investigative Journalist (The Guardian dan BBC Inggris, Le Monde Perancis, dan 50 media lainnya) yang mengungkap HSBC Swiss soal penggelapan pajak tadi.
Dalam laporannya, HSBC Swiss diduga telah membantu nasabah kaya menghindari pajak dengan menawarkan skema agresif untuk mengurangi pajak di negara asal, khususnya Eropa.
Secara serentak, otoritas pajak negara di Eropa (HMRC Inggris, CFE Perancis) dan negara belahan dunia lain seperti ATO Australia segera melakukan penyelidikan guna menemukan keterlibatan warganya yang menyembunyikan pundi-pundi kekayaannya.
Kasus HSBC Swiss semakin menambah deretan kasus penghindaran pajak di benua biru. Di akhir 2014, terungkap kasus penghindaran pajak yang menyangkut banyak perusahaan multinasional yang melibatkan negara Luxembourg sebagai negara yang memberikan fasilitas pajak dengan skema pajak yang rumit dengan dibantu kantor akuntan handal internasional.
Dalam pertengahan 2014, Eropa juga diguncangkan dengan polemik fasilitas perpajakan Irlandia yang menyebabkan banyak perusahaan multi nasional besar seperti : Amazon, Apple, Facebook, Paypal, Twitter memilih markas di Irlandia guna membayar pajak yang lebih rendah dibandingkan kalau membuka markas di negara eropa lainnya.
Hal ini tentunya menimbulkan kemarahan negara sumber penghasilan seperti  Prancis, Inggris, Amerika Serikat yang merasa kontribusi pajak yang dibayarkan tidak sebanding dengan penghasilan yang diperoleh dari negara tersebut.
Jadi, sebenarnya ini tren global, tak hanya melanda negara kita. Akan tetapi, situasinya menjadi lebih rumit dan berat manakala terjadi di Indonesia yang kesenjangan ekonominya tak sekecil negara lainnya. ***

Strategi Sosialisasi dalam Menumbuhkan Pajak UMKM

Strategi Sosialisasi dalam Menumbuhkan Pajak UMKM

Setelah mengenali siapa itu dan bagaimana prilaku UMKM, hal berikutnya yang penting jadi perhatian adalah bagaimana mempersuasi mereka agar mau berkontribusi memberikan pajak ke daerah, dalam hal ini Dispenda Jabar.

Suka tidak suka, mau tidak mau, usaha mikro banyak yang emoh memberikan pajak karena kebanyakan pelaku UMKM dari kelompok ini kurang atau tidak peduli dengan regulasi yang berlaku.

Termasuk di dalamnya ketentuan perpajakan. Ketidakpedulian timbul, salah satunya, karena ketidakpahaman atas ketentuan-ketentuan yang berlaku. Pelaksanaan kewajiban perpajakan, seperti mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, lebih banyak karena kebutuhan lain, seperti pengurusan perijinan dan urusan perbankan bukan karena kesadaran bahwa mereka harus berNPWP.

Di sisi lain, pelaku usaha ini mempunyai karakteristik cenderung kurang patuh dibandingkan karyawan, dimana atas penghasilan yang diperoleh telah dipotong pajak pada saat dibayarkan.

Orang pribadi swa-usaha akan melaporkan seluruh penghasilan dari kegiatan usahanya dalam SPT. Namun, masih awamnya pelaku UMKM mengenai perpajakan menjadikan mereka masuk dalam kelompok tidak patuh.

Selain itu, tidak adanya data lain yang ada di kantor pajak sebagai penguji penghasilan yang dilaporkan akan memberikan insentif pada wajib pajak swa-usaha untuk melaporkan penghasilan secara tidak benar.

Apa solusi itu semua? Salah satu yang layak dikemukan adalah strategi sosialisasi/komunikasi publik yang lebih ditonjolkan dibandingkan dengan strategi pengawasan, apalagi sanksi!

Pendekatan sosialisais ini pasti lebih bisa diterima UMKM, terutama dengan strategi implementasi yakni kegiatan pelatihan, bantuan membentuk akses ke pasar, dan jika memungkinkan bantuan akses permodalan.

Kegiatan pelatihan akan dapat lebih fokus pada hal-hal yang secara umum dibutuhkan oleh pelaku UMKM.

Sebagai contoh, untuk UMKM di sektor kerajinan, mereka dapat dibuatkan website untuk menawarkan produk mereka lewat Internet. Di dalamnya. dapat ditampilkan gambar-gambar produk serta alamat yang dapat dihubungi oleh calon pembeli.

Kegiatan pemberdayaan dapat dilakukan, misalnya, dengan model kelompok-kelompok UMKM binaan. Pengelompokan (clustering) dapat didasarkan pada jenis produk atau domisili. Dengan clustering, pembinaan akan lebih mudah dilakukan karena UMKM yang ditangani relatif sama.

Di sisi lain, kita harus melibatkan pihak lain terkait, baik instansi pemerintah yang lain, ataupun organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan sebagainya. Ini bisa meringankan beban pekerjaan, bekerja lebih efektif dan efisien.

Jadi, apabila strategi sosialisasi ini sudah dilakukan, maka setidaknya mereka merasa diperhatikan. Tidak ujug-ujug diminatakan pajaknya. Dan, kita tahu bersama, jika sudah merasa disentuh dalam jangka panjang, kegiatan seperti ini dapat menumbuhkan ikatan emosional yang berdampak positif pada perilaku kepatuhan pajak. ***

Menopang Jabar dari UKM

 

Sedari dulu hingga sekarang, perekonomian Indonesia didominasi usaha yang berbasis usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Ini karena mayoritas sektor ekonomi bertumpu pada sektor informal tersebut.

Situasi ini juga pastinya terjadi di Jawa Barat. Situasi ini seharusnya mencermikan pula tingkat penerimaan pajak. Sejumlah pajak daerah, terutama pajak kendaraan bemotor (PKB), seharusnya ditopang sektor UMKM.

Faktanya, sebagian besar penerimaan pajak didominasi wajib pajak besar yang jumlahnya kurang dari 1%. Jadi, sekalipun mayoritas, kontribusi dari usaha mikro masih relatif rendah dan tidak signifikan.

Ini bisa banyak hal penyebabnya. Namun yang utama kemungkinan adalah pengawasan ke UMKM belum secara optimal dilakukan. Di sisi lain, kepatuhan pajak pelaku UMKM pun masih rendah.

Karenanya, jadi tantangan Dispenda Jabar adalah bagaimana meningkatkan kepatuhan dan kontribusi penerimaan pajak daerah dari pelaku UMKM ini. Tidak mungkin namun bukan tidak mungkin.

Kita bisa mulai memecah tantangan ini dengan mengenal dengan baik usaha tersebut. UKM, menurut Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995, usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp200 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp1 milyar.

Di Indonesia, data signifikannya peran UMKM terhadap perekonomian nasional. Menurut data BPS tahun 1998, dalam periode 4 tahun mulai tahun 1994, secara umum, lebih dari 99% jumlah pengusaha yang ada adalah pengusaha pelaku UMKM (industri sekala kecil).

Mereka menyediakan 66% lapangan pekerjaan dengan nilai produksi mencakup lebih dari 88% dari total nilai produksi yang dihasilkan dan meliputi hampir semua sektor usaha: sektor pertanian (57,9%), sektor industri pengolahan (6,9%), sektor perdagangan, rumah makan dan hotel (24%) dan sisanya bergerak dibidang lain.
Data ini semakin meningkat setelah tahun 1998. Perkembangan pelaku UMKM pasca 1998 disebabkan sebagian besar pelaku UMKM dapat bertahan dalam krisis ekonomi 1997-1998 dan bahkan jumlahnya cenderung bertambah.

Menurut Partomo (1994), ada beberapa faktor yang ditengarai menyebabkan pelaku UMKM pasca krisis ekonomi malah tetap tumbuh sbb:

Pertama, produk UMKM umumnya barang konsumsi dengan elastitas permintaan terhadap pendapatan yang rendah sehingga ketika terjadi perubahan tingkat pendapatan (penurunan) akibat krisis ekonomi tidak banyak berpengaruh terhadap permintaan barang yang dihasilkan.

Kedua, sebagian besar UKM tidak mendapat modal dari bank sehingga mereka terhindar dari beban biaya bunga tinggi akibat adanya peningkatan suku bunga ketika terjadi krisis di sektor perbankan.

Ketiga, hambatan keluar-masuk dalam industri yang ditekuni pelaku UMKM hampir tidak ada.

Keempat, dengan adanya krisis ekonomi menyebabkan sektor formal banyak memberhentikan pekerjanya. Para penganggur ini akhirnya memasuki sektor informal, melakukan kegiatan usaha yang umumnya berskala kecil, akibatnya jumlah pelaku UMKM meningkat.

Namun di balik empat kekuatan tadi, kendala klasik UMKM adalah biasanya terkait dengan pengelolaan usaha (manajemen), skala ekonomi usaha, dan keterbatasan akses ke pasar dan modal.

Tantangan lainnya adalah pelaku UMKM kerap tidak punya catatan yang ada atas pelaku dan transaksi yang dilakukannya relatif tidak ada. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi administrasi pajak untuk mengawasi kepatuhan pajak.

Karena bergerak di sektor informal, ini juga menyebabkan minimnya kesadaran pelaku untuk berkontribusi pada penyediaan barang dan jasa publik yang berdampak pada rendahnya kepatuhan pajak.

Rendahnya kepatuhan pajak dari pelaku usaha mikro sementara mereka mendominasi peran dalam perekenomian menimbulkan efek pada rasa keadilan.

Pengusaha mikro yang tidak terdaftar dalam administrasi pajak, misalnya, akan menjual barang yang sama dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan pelaku usaha lain yang terdaftar.

Pelaku usaha yang terdaftar harus memungut PPN yang akan menambah harga jual ke konsumen, sementara pelaku usaha yang tidak terdaftar tidak harus melakukannya, untuk barang yang sama.

Di pihak laim, pelaku usaha yang terdaftar harus menyisihkan penghasilan yang diperoleh untuk membayar PPh terutang, padahal pelaku usaha yang tidak terdaftar dapat menikmati seluruh penghasilan yang diperolehnya.

Distorsi yang terjadi antara pelaku usaha yang terdaftar dengan pelaku usaha yang tidak terdaftar ini, dalam jangka panjang, akan mengurangi kemampuan pelaku usaha yang terdaftar dalam persaingan di pasar.

Hal ini juga akan menimbulkan disinsentif bagi kepatuhan pajak pelaku usaha terdaftar. Untuk mampu bersaing dalam pasar dengan pelaku usaha yang tidak terdaftar, mereka akan cenderung untuk menyelewengkan kewajiban perpajakan, misalnya tidak memungut PPN atau tidak membayar pajak terutang.

Menjadi tantangan bagi administrasi pajak untuk bagaimana membuat para pelaku usaha UMKM yang belum patuh pajak menjadi pelaku yang patuh dan pelaku usaha yang sudah patuh untuk tetap patuh.

Nah, jika kita sudah mengenal dengan baik seluruh ciri dan karakter UMKM tersebut, setidaknya dengan lebih kenal, maka bisa dilakukan penelaahan, inventarisasi, dan terpenting adalah lahirnya kebijakan yang disesuaikan ciri utama tersebut. Maka, menopang Jabar dari UKM bukanlah utopia karena kita bisa membuat regulasi yang sesuai dan kondusif. Betul begitu? ***

 

Strategi Sosialisasi dalam Menumbuhkan Pajak UMKM

Setelah mengenali siapa itu dan bagaimana prilaku UMKM, hal berikutnya yang penting jadi perhatian adalah bagaimana mempersuasi mereka agar mau berkontribusi memberikan pajak ke daerah, dalam hal ini Dispenda Jabar.
Suka tidak suka, mau tidak mau, usaha mikro banyak yang emoh memberikan pajak karena kebanyakan pelaku UMKM dari kelompok ini kurang atau tidak peduli dengan regulasi yang berlaku.
Termasuk di dalamnya ketentuan perpajakan. Ketidakpedulian timbul, salah satunya, karena ketidakpahaman atas ketentuan-ketentuan yang berlaku. Pelaksanaan kewajiban perpajakan, seperti mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, lebih banyak karena kebutuhan lain, seperti pengurusan perijinan dan urusan perbankan bukan karena kesadaran bahwa mereka harus berNPWP.
Di sisi lain, pelaku usaha ini mempunyai karakteristik cenderung kurang patuh dibandingkan karyawan, dimana atas penghasilan yang diperoleh telah dipotong pajak pada saat dibayarkan.
Orang pribadi swa-usaha akan melaporkan seluruh penghasilan dari kegiatan usahanya dalam SPT. Namun, masih awamnya pelaku UMKM mengenai perpajakan menjadikan mereka masuk dalam kelompok tidak patuh.
Selain itu, tidak adanya data lain yang ada di kantor pajak sebagai penguji penghasilan yang dilaporkan akan memberikan insentif pada wajib pajak swa-usaha untuk melaporkan penghasilan secara tidak benar.
Apa solusi itu semua? Salah satu yang layak dikemukan adalah strategi sosialisasi/komunikasi publik yang lebih ditonjolkan dibandingkan dengan strategi pengawasan, apalagi sanksi!
Pendekatan sosialisais ini pasti lebih bisa diterima UMKM, terutama dengan strategi implementasi yakni kegiatan pelatihan, bantuan membentuk akses ke pasar, dan jika memungkinkan bantuan akses permodalan.
Kegiatan pelatihan akan dapat lebih fokus pada hal-hal yang secara umum dibutuhkan oleh pelaku UMKM.
Sebagai contoh, untuk UMKM di sektor kerajinan, mereka dapat dibuatkan website untuk menawarkan produk mereka lewat Internet. Di dalamnya. dapat ditampilkan gambar-gambar produk serta alamat yang dapat dihubungi oleh calon pembeli.
Kegiatan pemberdayaan dapat dilakukan, misalnya, dengan model kelompok-kelompok UMKM binaan. Pengelompokan (clustering) dapat didasarkan pada jenis produk atau domisili. Dengan clustering, pembinaan akan lebih mudah dilakukan karena UMKM yang ditangani relatif sama.
Di sisi lain, kita harus melibatkan pihak lain terkait, baik instansi pemerintah yang lain, ataupun organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan sebagainya. Ini bisa meringankan beban pekerjaan, bekerja lebih efektif dan efisien.
Jadi, apabila strategi sosialisasi ini sudah dilakukan, maka setidaknya mereka merasa diperhatikan. Tidak ujug-ujug diminatakan pajaknya. Dan, kita tahu bersama, jika sudah merasa disentuh dalam jangka panjang, kegiatan seperti ini dapat menumbuhkan ikatan emosional yang berdampak positif pada perilaku kepatuhan pajak. ***

Menopang Jabar dari UKM

Sedari dulu hingga sekarang, perekonomian Indonesia didominasi usaha yang berbasis usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Ini karena mayoritas sektor ekonomi bertumpu pada sektor informal tersebut.
Situasi ini juga pastinya terjadi di Jawa Barat. Situasi ini seharusnya mencermikan pula tingkat penerimaan pajak. Sejumlah pajak daerah, terutama pajak kendaraan bemotor (PKB), seharusnya ditopang sektor UMKM.
Faktanya, sebagian besar penerimaan pajak didominasi wajib pajak besar yang jumlahnya kurang dari 1%. Jadi, sekalipun mayoritas, kontribusi dari usaha mikro masih relatif rendah dan tidak signifikan.
Ini bisa banyak hal penyebabnya. Namun yang utama kemungkinan adalah pengawasan ke UMKM belum secara optimal dilakukan. Di sisi lain, kepatuhan pajak pelaku UMKM pun masih rendah.
Karenanya, jadi tantangan Dispenda Jabar adalah bagaimana meningkatkan kepatuhan dan kontribusi penerimaan pajak daerah dari pelaku UMKM ini. Tidak mungkin namun bukan tidak mungkin.
Kita bisa mulai memecah tantangan ini dengan mengenal dengan baik usaha tersebut. UKM,  menurut Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995, usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp200 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp1 milyar.
Di Indonesia, data signifikannya peran UMKM terhadap perekonomian nasional. Menurut data BPS tahun 1998, dalam periode 4 tahun mulai tahun 1994, secara umum, lebih dari 99% jumlah pengusaha yang ada adalah pengusaha pelaku UMKM (industri sekala kecil).
Mereka menyediakan 66% lapangan pekerjaan dengan nilai produksi mencakup lebih dari 88% dari total nilai produksi yang dihasilkan dan meliputi hampir semua sektor usaha: sektor pertanian (57,9%), sektor industri pengolahan (6,9%), sektor perdagangan, rumah makan dan hotel (24%) dan sisanya bergerak dibidang lain.
Data ini semakin meningkat setelah tahun 1998. Perkembangan pelaku UMKM pasca 1998 disebabkan sebagian besar pelaku UMKM dapat bertahan dalam krisis ekonomi 1997-1998 dan bahkan jumlahnya cenderung bertambah.
Menurut Partomo (1994), ada beberapa faktor yang ditengarai menyebabkan pelaku UMKM pasca krisis ekonomi malah tetap tumbuh sbb:
Pertama,  produk UMKM umumnya barang konsumsi dengan elastitas permintaan terhadap pendapatan yang rendah sehingga ketika terjadi perubahan tingkat pendapatan (penurunan) akibat krisis ekonomi tidak banyak berpengaruh terhadap permintaan barang yang dihasilkan.
Kedua, sebagian besar UKM tidak mendapat modal dari bank sehingga mereka terhindar dari beban biaya bunga tinggi akibat adanya peningkatan suku bunga ketika terjadi krisis di sektor perbankan.
Ketiga, hambatan keluar-masuk dalam industri yang ditekuni pelaku UMKM hampir tidak ada.
Keempat, dengan adanya krisis ekonomi menyebabkan sektor formal banyak memberhentikan pekerjanya. Para penganggur ini akhirnya memasuki sektor informal, melakukan kegiatan usaha yang umumnya berskala kecil, akibatnya jumlah pelaku UMKM meningkat.
Namun di balik empat kekuatan tadi, kendala klasik UMKM adalah biasanya terkait dengan pengelolaan usaha (manajemen), skala ekonomi usaha, dan keterbatasan akses ke pasar dan modal.
Tantangan lainnya adalah pelaku UMKM kerap tidak punya catatan yang ada atas pelaku dan transaksi yang dilakukannya relatif tidak ada. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi administrasi pajak untuk mengawasi kepatuhan pajak.
Karena bergerak di sektor informal, ini juga menyebabkan minimnya kesadaran pelaku untuk berkontribusi pada penyediaan barang dan jasa publik yang berdampak pada rendahnya kepatuhan pajak.
Rendahnya kepatuhan pajak dari pelaku usaha mikro sementara mereka mendominasi peran dalam perekenomian menimbulkan efek pada rasa keadilan.
Pengusaha mikro yang tidak terdaftar dalam administrasi pajak, misalnya, akan menjual barang yang sama dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan pelaku usaha lain yang terdaftar.
Pelaku usaha yang terdaftar harus memungut PPN yang akan menambah harga jual ke konsumen, sementara pelaku usaha yang tidak terdaftar tidak harus melakukannya, untuk barang yang sama.
Di pihak laim, pelaku usaha yang terdaftar harus menyisihkan penghasilan yang diperoleh untuk membayar PPh terutang, padahal pelaku usaha yang tidak terdaftar dapat menikmati seluruh penghasilan yang diperolehnya.
Distorsi yang terjadi antara pelaku usaha yang terdaftar dengan pelaku usaha yang tidak terdaftar ini, dalam jangka panjang, akan mengurangi kemampuan pelaku usaha yang terdaftar dalam persaingan di pasar.
Hal ini juga akan menimbulkan disinsentif bagi kepatuhan pajak pelaku usaha terdaftar. Untuk mampu bersaing dalam pasar dengan pelaku usaha yang tidak terdaftar, mereka akan cenderung untuk menyelewengkan kewajiban perpajakan, misalnya tidak memungut PPN atau tidak membayar pajak terutang.
Menjadi tantangan bagi administrasi pajak untuk bagaimana membuat para pelaku usaha UMKM yang belum patuh pajak menjadi pelaku yang patuh dan pelaku usaha yang sudah patuh untuk tetap patuh.
Nah, jika kita sudah mengenal dengan baik seluruh ciri dan karakter UMKM tersebut, setidaknya dengan lebih kenal, maka bisa dilakukan penelaahan, inventarisasi, dan terpenting adalah lahirnya kebijakan yang disesuaikan ciri utama tersebut. Maka, menopang Jabar dari UKM bukanlah utopia karena kita bisa membuat regulasi yang sesuai dan kondusif. Betul begitu? ***

Mengenali Kendala Laten Kemajuan

Pembahasan tentang pentingnya pemerintahan elektronik, atau biasa dikenal electronic goverment (e-govt)  di Indonesia sudah menyeruak sejak lama, bahkan kerap jadi program kerja pemimpin daerah.
Hal ini dirasa wajar karena prinsipnya seluruh manusia selalu ingin menemui kemajuan di dalam hidupnya. Termasuk dalam hal memperoleh pelayanan kualitas terbaik dari pemerintahnya masing-masing.
Apa manfaat yang selalu relevan dari e-govt? Dalam berbagai literatur, contohnya dari Indrajit (2004), dua negara besar terdepan dalam mengimplementasikan
pemerintahan elektronik adalah Amerika Serikat dan Inggris.
Melalui dua eks pemimpinnya, yakni Al Gore dan Tony Blair, secara terperinci menggambarkan manfaat yang diperoleh dengan diterapkannya konsep e-Government bagi suatu pemerintahan adalah sbb:
Memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah kepada para stakeholder- nya (masyarakat, kalangan bisnis dan industri) terutama dalam hal kinerja efektifitas dan efisiensi diberbagai bidang kehidupan bernegara; Meningkatkan transparansi kontrol dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka penerapan konsep Good Corporate Governance; Mengurangi secara signifikan total biaya administrasi, relasi dan interaksi yang dikeluarkan pemerintah maupun stakeholder-nya untuk keperluan aktifitas sehari-hari.
Selanjutnya memberikan peluang bagi pemerintah untuk mendapatkan sumber- sumber pendapatan baru melalui interaksinya dengan pihak-pihak yang berkepentingan; Menciptakan suatu lingkungan masyarakat baru yang dapat secara tepat dan cepat menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi sejalan dengan berbagai perubahan global dan trend yang ada; dan Memberdayakan masyarakat dan pihak-pihak lain sebagai mitra pemerintah dalam proses pengambilan berbagai kebijakan publik secara merata dan demokratis.
Faktanya, tak perlu jauh-jauh, seperti dialami di Pemprov Jabar umumnya dan Dinas Pendapatan Provinsi Jawa Barat khususnya, tak seluruh konsep dan manfaat ideal ini bisa mudah dirasakan.
Bahkan, sekian lama terjadi, sekian waktu itu pula tak semuanya direngkuh dengan mudah. Malah kecenderungan terjadi stagnasi, terutama atas respon dan percepatan yang muncul setelah dihadirkan.
Karena itulah, agar bisa lebih optimal ke depan, kita harus menemukan sejumlah kendala dan hambatan yang biasa ditemukan ketika akan diterapkan elektronisasi pemerintahan.
Seperti disampaikan Kurniawan (2011) beberapa hambatan laten yang dialami dalam implementasi E-Government yakni sebagai berikut:
a. E-Leadership yakni prioritas dan inisiatif negara di dalam mengantisipasi dan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi;
b. Infrastruktur Jaringan Informasi: kondisi infrastruktur telekomunikasi serta akses, kualitas, lingkup, dan biaya jasa akses;
c. Pengelolaan Informasi: kualitas dan keamanan pengelolaan informasi;
d. Lingkungan Bisnis: kondisi pasar, sistem perdagangan, dan regulasi yang membentuk konteks perkembangan bisnis teknologi informasi;
e. Masyarakat dan Sumber Daya Manusia: difusi teknologi informasi didalam kegiatan masyarakat baik perorangan maupun organisasi, serta sejauh mana teknologi informasi disosialisasikan kepada masyarakat melalui proses pendidikan
Secara paralel, Kurniawan juga menyimpulkan bahwa terdapat sejumlah kelemahan pembentukan e-government di Indonesia, antara lain:
a. Pelayanan yang diberikan pemerintah belum ditunjang oleh sistem manajemen dan proses kerja yang efektif karena kesiapan peraturan, prosedur dan keterbatasan SDM sangat membatasi penetrasi komputerisasi ke dalam sistem pemerintah;
b. Belum mapannya strategi serta tidak memadainya anggaran yang dialokasikan untuk pengembangan e-government;
c. Inisiatif merupakan upaya instansi secara sendiri-sendiri; dengan demikian sejumlah faktor seperti standardisasi, keamanan informasi,otentikasi, dan berbagai aplikasi dasar yang memungkinkan interoperabilitas antar situs secara andal, aman, dan terpercaya kurang mendapatkan perhatian
d. Kesenjangan kemampuan masyarakat untuk mengakses jaringan internet.
Maka itulah, jika kita sepakat dengan poin-poin manfaat e-govt seperti disampaikan di awal tulisan ini, maka kita pun harus setuju dan sepakat untuk mengikis masalah klasik dan laten dalam penerapannya seperti dijelaskan di bagian belakang tulisan ini. Jika ingin maju, tentu kita harus mengenali sekaligus mensiasati hal yang bisa menghambat pelaksanaan kemajuan. Setuju? **

Tak Mudah Meski Sudah Dimulai

Terkait digitalisasi pemerintahan, langkah signifikan dan konsisten sebenarnya sudah dimulai, terutama oleh Dinas Pendapatan (Dispenda) Provinsi Jawa Barat, terhitung mulai akhir tahun 2014 lalu.
Sudah pasti, kita ketahui bersama, adalah peluncuran e-Samsat, yang memungkinkan masyarakat bebas antrian konvensional. Sebab, membayar pajak (terutama kendaraan bermotor) cukuplah datang ke ATM Bank Jabar Banten.
Akan tetapi, setelah diimplementasikan, bahwa kemudahan ini hendak diperluas ke masyarakat Jawa Barat, ternyata respon yang ada belum optimal. Masih perlu terus digenjot ke depan.
Selain utilisasi belum banyak, sebarannya tidak besar di kota utama di Jabar yang diharapkan bisa menaikkan tingkat penggunaan maupun rerata frekuensi secara keseluruhan di Tatar Parahyangan.
Lantas, apa kira-kira yang membuat hal ini bisa terjadi? Jika mengacu sejumlah literatur, seperti diungkapkan Sosiawan(2011), ada beberapa faktor yang menghambat berkembangnya digitalisasi pemerintahan (E-Government) sbb:
Pertama, belum adanya standarisasi yang jelas tentang implementasi e-government dan sosialisasi tentang bagaimana penyelenggaraan situs pemerintah daerah yang riil dan ideal. Artinya walapun undang-undang, peraturan pemerintah dan petunjuk pedoman sudah ada namun masing-masing pemda masih menerjemahkannya secara sendiri-sendiri karena persoalan petunjuk teknis dan operasionalnya yang tidak jelas dan ngambang.
Kedua, belum tersedianya sumber daya manusia ( SDM) yang memadai atau minim dari segi skill dan manajerial dalam pengelolaan situs pemda sehinga masih banyak pemkab dan pemkot yang ragu menerapkan e-gov.
Ketiga, penetrasi pasar hardware dan provider layanan jasa teknologi komunikasi dan informasi belum merata hingga daerah-daerah, sehingga bukan hanya masalah dalam suprastrukturnya saja tetapi dalam infrastrukturnya juga masih kurang memadai. Masalah tersebut juga diperparah dengan masih mahalnya sarana dan prasarana teknologi ICT.
Last but not least, masih belum meratanya literasi masyarakat berkaitan dengan pemanfaatan e-gov karena mayoritas penduduk berada pada garis golongan menengah ke bawah.
Berkaca dari hal ini, rasanya kita sepakat bahwa kendala terbesar ada di nomor dua, tiga, dan empat. Khususnya poin nomor empat, hal ini masih banyak dirasakan sekalipun penetrasi teknologi telekomunikasi relatif tinggi.
Jadi, kita bisa melihat, bahwa pengguna seluler di Jawa Barat misalnya, sebetulnya sudah memadai. Akan tetapi, porsinya masih sebatas konsumsi bukan sebagai alat peningkatan produktivitas.
Hal tersebut otomatis membuat, sekalipun teknologi sudah meluas dan memassal di masyarakat kita, akan tetapi dominasi fungsi konsumsi masih kental imbas dari rendahnya kemauan belajar.
Literasi digital, yang bisa kita tafsirkan sebagai kemauan mempelajari esensi teknologi (terutama di bidang teknologi informasi dan komunikasi), belum sepenuhnya terjadi sehingga terobosan mandeg.
Kita berharap inovasi semacam E-Samsat akan terus menggelinding ke depan di provinsi ini seiring dengan makin naiknya literasi digital di masyarakat Indonesia umumnya dan Jawa Barat khususnya. Semoga! **

Kuat Karena Kuat

Jika diumpamakan klub sepakbola, sebutlah Bayern Muenchen, sesungguhnya kedigdayaan muncul karena seluruh sistem penopangnya jalan dan bisa saling bekerjasama.
Situasi ini harus jadi perhatian, karena pemain dan pelatih sejago apapun (dari mulai Arjen Robben, Ribery, hingga Guardiola), sesungguhnya tiadalah kekuatan tanpa kekuatan lainnya.
Ini terbukti ketika kemudian dokter tim klub terbesar Jerman itu kecewa dan mundur, sehingga proses pemulihan para bintang terlambat, yang akhirnya membuat klub Bavaria ini tersingkir tragis di Liga Champion!
Perumpamaan seperti ini juga terjadi dalam hal perpajakan, bahwa yang kuat tentu harus saling menguatkan. Yang lemah harus ditopang dan dibantu, sehingga seluruhnya bisa menjadi unggul.
Pajak yang dilandasi undang-undang, juga menekankan siapa yang berpenghasilan tinggi dan menggunakan konsumsi lebih besar, termasuk siapa yang memiliki kekayaan besar dengan manfaat besar didalamnya dan yang bisa menyimpan harta kekayaannya, maka sangat layak memberikan sumbangsih dana pembangunan yang lebih besar.
Ketika yang kuat dan atau yang lemah tidak saling menguatkan, maka yang terjadi adalah si kaya yang makin pelit dan si miskin yang tak sabaran.
Fenomena kejahatan sebagai akibat kesenjangan amat sangat layak dijadikan penyebab awalnya.
Pada saat negara mencoba mengatur bagaimana agar sumbangsih pajak bisa adil diterapkan, dimana semakin besar penghasilan, konsumsi dan manfaat yang diterima seharusnya pajaknya semakin besar, sudah semestinya masyarakat mendukung.
Keadilan sesungguhnya baru bisa dijalankan apabila negara bisa memetakan dengan baik siapa sebenarnya masyarakat yang berpenghasilan tinggi, siapa yang mengkonsumsi lebih banyak, dan siapa yang yang memperoleh manfaat dan dimana harta kekayaannya tersembunyi.
Negara melalui institusi Pajak dapat menggunakannya untuk melakukan pemajakan yang adil dalam artian semua berkesempatan melaksanakan hak dan kewajibannya dengan benar, terbuka dan dengan penuh itikad baik.
Keadilan dapat tercipta dimana beban pajak ditanggung sesuai dengan kekuatan daya beli dengan memperhitungkan daya pikul masyarakat.
Seluruh elemen masyarakat hendaknya segendang seirama memahami kebutuhan negaranya, mengumpulkan potensi ekonomi masyarakatnya, mensejahterakan masyarakatnya, mendistribusi kekayaan dari si kaya kepada si miskin , dari si kuat kepada si lemah.
Walaupun mungkin berbeda ukuran dan takaran tetapi proporsinya yang tidak terkumpul pada satu dua orang,satu dua kelompok. Sebuah negara yang
galau, labil, dan gelisah, sebenarnya bukan karena siapa-siapa, tetapi karena kita semua sebagai masyakatnya yang abai.
Pada titik ini, kami di Dispenda Jabar memandang, bahwa negara kuat karena institusi pajaknya kuat. Dan, percayalah, institusi pajak (baik Dispenda maupun
Dirjen Pajak) kuat karena masyarakatnya pun kuat! **

Spirit Baru Membangun Kesadaran

Sekalipun jika mengacu regulasi (baik UUD 1945 dan UU perpajakan terkait), pemerintah berwenang memaksa wajib pajak untuk membayar kewajibannya tanpa perlu kontraprestasi, faktanya zaman sudah berubah!
Era ancaman, hingga pemaksaan semacam itu, bukan saja sudah tidak relevan, namun juga bisa memunculkan antipati publik pada era demokratisasi pemerintah selepas hadirnya era reformasi tahun 1998 lalu.
Spirit pembaruan itu kemudian telah ditegaskan ketika Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencanangkan tahun 2015 sebagai Tahun Pembinaan Wajib Pajak dengan motto Reach the Unreachable, Touch the Untouchable. 
Presiden Joko Widodo meresmikan pencanangan Tahun Pembinaan Wajib Pajak 2015 di Istana Negara, Rabu, 29 April 2015 lalu. Lantas, siapa saja yang akan dibina dan seperti apa implementasinya?
Pihak yang akan dibina oleh DJP adalah kelompok orang pribadi atau badan yang belum terdaftar sebagai Wajib Pajak, kelompok Wajib Pajak terdaftar namun belum pernah menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), serta kelompok Wajib Pajak terdaftar yang telah menyampaikan SPT namun belum sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.
Pencanangan itu ditindaklanjuti Senin, 4 Mei 2015, ketika Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015 tentang Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi Atas Keterlambatan Penyampaian Surat Pemberitahuan, Pembetulan Surat Pemberitahuan dan Keterlambatan Pembayaran atau Penyetoran Pajak.
Aturan ini merupakan sarana legal untuk memberikan insentif penghapusan sanksi administrasi jika Wajib Pajak membetulkan SPTnya. Bagi orang pribadi atau badan yang memenuhi syarat subjektif maupun objektif sebagai subjek pajak namun belum mendaftarkan diri, diharapkan untuk memanfaatkan kesempatan ini guna mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Selanjutnya, wajib pajak yang baru mendaftar ini diharapkan untuk menyampaikan SPT terkait kewajiban perpajakannnya, sekaligus melunasi pajak yang terutang berdasarkan SPT tersebut. Dengan aturan tersebut, wajib pajak baru akan menikmati fasilitas dibebaskan dari sanksi administrasi yang timbul karena keterlambatan penyampaian SPT maupun keterlambatan penyetoran pajak.
Bagi wajib pajak yang belum pernah manyampaikan SPT, diharapkan untuk segera memenuhi kewaiiban perpajakannya dengan menyampaikan SPT sekaligus melunasi pajak yang terutang. Aturan baru menjamin bahwa sanksi administrasi atas keterlambatan penyampaian SPT maupun keterlambatan atas penyetoran pajak akan dihapus.
Demikian pula bagi wajib pajak yang sudah menyampaikan SPT namun belum menjelaskan kondisi yang sebenarnya dalam SPT tersebut, seperti misalnya, mengurangi omset penjualan atau kurang melaporkan penghasilan yang diperoleh, diharapkan segera melakukan pembetulan SPT sekaligus melunasi kekurangan pajak yang terutang.
Saat ini, DJP telah memiliki berbagai macam data yang dikumpulkan dari berbagai instansi baik swasta maupun pemerintah melalui kuasa pasal 35A Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang dijabarkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 31/2012 tentang Pemberian dan Penghimpunan Data dan Informasi Perpajakan.
Melalui Tahun Pembinaan Wajib Pajak 2015, pemberian insentif penghapusan sanksi administrasi dimaksudkan sebagai pendorong wajib pajak agar membetulkan SPT dan melunasi kekurangan pajaknya.
Untuk itulah, Dispenda Jabar sebagai bagian dari institusi penghimpun perpajakan, ikut menyerukan kepada seluruh masyarakat dan Wajib Pajak, untuk segera memanfaatkan kesempatan ini, sekaligus memberikan dukungan positif dalam pencapaian target penerimaan negara dari pajak. Selamat datang era baru, selamat hadir spirit baru! **

Tiga Pemahaman Penting Soal Pajak

Manakala kita mengendarai sepeda motor, lantas bertemu jalan bolong, ataupun terjebak banjir cileuncang di tengah jalan, maka kita kerapkali dongkol dengan disertai aneka sumpah serampah.
Termasuk di dalamnya adalah racauan, kekesalan, dan pertanyaan, kemanakah pajak yang tiap bulan dibayar (terutama bagi para pegawai negeri/swasta yang langsung dipotong pajak penghasilannya) ?
Di satu sisi hal ini wajar terjadi. Namun demikian, di sisi lain, terdapat beberapa hal yang perlu diluruskan atas pemahaman konvesional akan perpajakan (pusat/daerah) tentang perpajakan.
Kita awali dengan dasar hukumnya. Yakni Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir kali Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007, bahwa pajak didefinisikan sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang.
Kemudian, masih dari definisi tersebut, pembayar pajak tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pakar ilmu hukum perpajakan, Prof.Dr. P.J.A. Adriani, menegaskan, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (Undang-Undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk. Dan, gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Maka, sebagai sebuah pemahaman penting, ada tiga karakteristik yang harus ditekankan. Pertama, karakteristik pertama, pajak merupakan kontribusi wajib dan bersifat memaksa.
Karakteristik pertama pajak ini akan menarik apabila dibedah dengan teori kontrak sosial menurut John Locke. Dalam kerangka pemikiran John Locke, ada tiga pihak dalam kontrak sosial yaitu pencipta kepercayaan (the trustor), yang diberi kepercayaan (the trustee), dan yang menerima manfaat dari pemberian kepercayaan tersebut (the beneficiary).
Pencipta kepercayaan atau the trustor dan yang menerima manfaat dari pemberian kepercayaan atau the beneficiary adalah masyarakat. Sehingga masyarakat berperan penting dalam pembuatan kontrak sosial karena mereka juga yang merasakan dampak baik/buruk dari kepercayaan tersebut.
Sedangkan pihak yang diberi kepercayaan atau the trustee adalah  pemerintah atau pemegang kekuasaaan dimana ia harus bertanggung jawab kepada masyarakat atas kewenangannya tersebut.
Jadi, pajak merupakan bentuk kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Hal itu berarti, semakin banyak pajak yang dapat dikumpulkan, maka semakin besar legitimasi pemerintah. Dan juga berarti pemerintah yang legitimate mampu menciptakan tatanan kehidupan bermasyarakat yang lebih baik.
Namun faktanya, sulit untuk mengharapkan masyarakat membayar pajak dengan sukarela, sehingga pemerintah perlu mewajibkan serta memaksa masyarakat untuk membayar pajak.
Kedua, karakteristik pemungutan pajak dilakukan berdasarkan undang-undang. Tujuannya memberikan kepastian hukum serta mencegah pemerintah berlaku sewenang-wenang.
Di Indonesia, pemungutan pajak secara eksplisit terdapat pada Pasal 23 A UUD 1945 yang berbunyi, ”Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.
Pasal 23 A UUD 1945 memberikan amanat bahwa pemerintah memungut pajak harus berdasarkan undang-undang. Sehingga dibentuk Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak Penghasilan, dan Pajak Pertambahan Nilai.
Konsekuensi hukum dari dibentuknya paket undang-undang perpajakan tersebut adalah timbulnya hutang pajak bagi Wajib Pajak apabila telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kewajiban membayar pajak timbul akibat adanya undang-undang.
Ketiga, karakteristik pajak tidak memberikan kontraprestasi secara langsung. Sebetulnya pajak yang dipungut langsung masuk ke kas negara, sedangkan pegawai pajak hanya mengadministrasikannya.
Kemudian pemerintah menggunakan pajak yang dipungut untuk kebutuhan belanja seperti belanja bunga hutang, belanja subsidi, belanja kementrian/lembaga, transfer ke daerah, dana desa, dan belanja lainnya.
Oleh karena itu, penggunaan pajak tidak dapat dirasakan secara langsung, namun masyarakat tetap dapat menikmatinya dalam bentuk subsidi BBM, pembangunan jalan, dll.
Pajak juga dapat menjadi instrumen untuk mencapai kemakmuran rakyat. Contohnya, pembebasan hasil pertanian dan atau perkebunan dari Pajak Pertambahan Nilai.
Pemerintah memiliki keinginan agar petani tidak terbebani pajak sehingga dapat meraup keuntungan yang maksimal. Atau dalam rangka  meningkatkan ekspor ke luar negeri, pemerintah memberikan insentif dengan memberlakukan tarif 0%.
Nah, demikianlah tiga pemahaman penting soal pajak, yang sekiranya bisa menjelaskan dan mendudukkan persoalan dengan proporsional, berimbang, sekaligus menguntungkan banyak pihak yang terkait. **