Tiga Karakteristik Pajak Yang Harus Anda Ketahui

Sering kita lihat pada film-film Hollywood dimana para aktor seringkali mengucapkan kalimat “bahwa kami juga merupakan pembayar pajak” atau kalimat yang senada yang intinya mengatakan bahwa mereka juga merupakan warga negara yang taat membayar pajak. Kalimat-kalimat tersebut biasa dilontarkan ketika mereka mengalami perlakuan yang kurang baik dari otoritas setempat. Di satu sisi hal ini merupakan hal yang wajar terjadi, karena mereka tahu bahwa pajak yang mereka bayarkan digunakan salah satunya adalah untuk kepentingan publik. Namun, disisi lain ada beberapa hal yang harus diluruskan mengenai perpajakan.

Diawali dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir kali Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007, bahwa pajak didefinisikan sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang. Selanjutnya, masih dari definisi tersebut, pembayar pajak tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari pengertian tersebut dapat kita tarik tiga karakteristik, yaitu :
1. Pajak Merupakan kontribusi wajib dan bersifat memaksa
Karakteristik pertama dari pajak ini akan menarik jika kita lihat dari teori kontrak sosialnya John Locke. Menurut John Locke, ada tiga pihak dalam kontrak sosial yaitu pencipta kepercayaan (the trustor), yang diberi kepercayaan (the trustee), dan yang menerima manfaat dari pemberian kepercayaan tersebut (the beneficiary). Pencipta kepercayaan atau the trustor dan yang menerima manfaat dari pemberian kepercayaan atau the beneficiary adalah masyarakat. Sehingga masyarakat berperan penting dalam pembuatan kontrak sosial karena mereka juga yang merasakan dampak baik/buruk dari kepercayaan tersebut. Sedangkan pihak yang diberi kepercayaan atau the trustee adalah  pemerintah atau pemegang kekuasaaan dimana ia harus bertanggung jawab kepada masyarakat atas kewenangannya tersebut.

2. Pemungutan Pajak Dilakukan Berdasarkan Undang-Undang
Pemungutan pajak secara eksplisit terdapat pada pasal 23A UUD 1945 yang berbunyi, ”Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Pasal ini memberikan amanat bahwa pemerintah dalam melaksanakan pemungutan pajak haruslah berdasarkan undang-undang. Oleh karena itu, dibentuk Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak Penghasilan, dan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan dibentuknya paket undang-undang perpajakan tersebut bukanlah tanpa konsekuensi. Konsekuensi yang harus dihadapi oleh warga negara sebagai wajib pajak adalah timbulnya hutang pajak apabila telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Sehingga, dapat dikatakan  bahwa kewajiban membayar pajak timbul akibat adanya undang-undang.

3. Pajak Tidak Memberikan Kontraprestasi Secara Langsung
Pemerintah menggunakan pajak yang dipungut untuk kebutuhan belanja seperti belanja bunga hutang, belanja subsidi, belanja kementrian/lembaga, transfer ke daerah, dana desa, dan belanja lainnya. Pajak juga dapat menjadi instrumen untuk mencapai kemakmuran rakyat. Contohnya, pembebasan hasil pertanian dan atau perkebunan dari Pajak Pertambahan Nilai. Pemerintah memiliki keinginan agar petani tidak terbebani pajak sehingga dapat meraup keuntungan yang maksimal. Atau dalam rangka  meningkatkan ekspor ke luar negeri, pemerintah memberikan insentif dengan memberlakukan tarif 0%.

Penjelasan diatas mudah-mudahan dapat memberikan pemahaman mengenai pentingnya pajak bagia negara dan tentunya bagi kita sebagai warganya.