Awas! Bahaya Hoax

Peredaran Hoax atau berita palsu khususnya di media sosial sudah sangat memprihatinkan. Saking memprihatinkannya sampai Presiden jokowi meminta aparat untuk menindak secara tegas dan keras bagi siapapun pengguna media sosial yang melontarkan ujaran kebencian dan fitnah. Selain tindakan secara tegas dan keras, Presiden pun meminta kementerian yang ada untuk siap siaga menangkal isu hoax yang beredar di media sosial. Dengan adanya bantahan atas isu hoax yang terkait maka diharapkan masyarakat dapat mengetahui/membedakan mana informasi yang benar dan mana informasi yang palsu.

Berita palsu atau hoax ini bukan hanya terjadi di Indonesia melainkan di negara-negara lainnya di dunia, salah satu contohnya adalah Jerman yang saat ini sedang menyusun Undang-Undang yang akan mengenakan denda kepada penyedia media sosial atau website yang menyebarkan berita hoax. Rancangan Undang-undang ini mengharuskan penyedia layanan over the top (OTT) seperti Google, Facebook, dan Twitter untuk mengurangi secara drastis jumlah konten hoax pada layanan mereka. Penyedia layanan OTT diberikan waktu 24 jam untuk menghapus konten hoax yang ada pada layanan mereka atau mereka akan terkena denda sebesar 500 ribu Euro atau sekitar Rp7 miliar. Jumlah tersebut untuk satu berita hoax yang tidak dihapus oleh penyedia layanan OTT dalam batas waktu yang telah ditentukan. Rancangan Undang-Undang ini diajukan oleh Thomas Opperman, Ketua Partai Sosial Demokrat di Jerman, rancangan ini diajukan pada akhir tahun 2016 lalu. Thomas Opperman menggarisbawahi bahwa berita alsu atau hoax dapat mengintervensi peta politik suatu negara. Contohnya konspirasi masif di internet yang sedikit banyak memiliki pengaruh pada kasus Brexit, saat masyarakat Inggris memilih meninggalkan Uni Eropa.

Hoax biasanya merupakan campuran dari informasi asli dan palsu. Sehingga bagi masyarakat awam informasi yang ada pada berita hoax tersebut dianggap sebagai informasi asli, apalagi jika masyarakat tersebut memiliki pandangan maupun berada pada situasi yang sama dengan isi dari hoax tersebut. Sudah dapat dipastikan bahwa berita hoax tersebut akan dibagikan ke lini masa mereka dan tanpa ragu akan mereka kirimkan kepada teman-teman dan keluarga mereka tanpa adanya proses cek n ricek, tanpa adanya keinginan untuk mencari sumber berita yang lain sebagai bahan pembanding atau sebagai bahan pelengkap.

Menurut pengamat media sosial Nukman Luthfie, hoax adalah representasi dari kehidupan sehari-hari dan bukan sesuatu yang baru. Keberadaan media sosial, membantu hoax menyebar lebih masif. Lebih lanjut menurut Nukman Lutfie ada tiga hal yang membuat hoax ramai berseliweran di media sosial sebagaimana dilansir dari detikINET. Pertama, rata-rata orang tidak bisa membedakan mana berita benar dan mana yang bohong. “Riset terbaru di AS, 80% pelajar AS tidak bisa bedakan mana berita benar, advertorial, dan hoax. Indonesia kurang lebih seperti itu, dengan tingkat literasi internet kita yang di bawah AS”. Kedua, di media sosial, orang cenderung tidak membaca isi sebuah artikel. Mereka hanya membaca judul, tapi sudah berani untuk membaginya ke banyak orang. Pada era media sosial semacam ini menimbulkan hal baru yakni share bait, yakni jebakan menarik di judul sebuah konten agar orang membaginya. Ketiga, kalaupun mereka membaca isi artikelnya, seringkali dengan cepat menyimpulkan. Hal ini lantaran cara membaca di media online dengan di media cetak berbeda. Kecenderungan orang di media online akan membaca dengan cepat dan sekilas untuk segera mendapat kesimpulan. “Dengan tiga hal itu, ditambah dengan situasi panas seperti Pilkada, perang opini, penyebaran hoax meningkat. Muncul juga situs abal-abal yang memproduksi berita-berita yang gak tahu kebenarannya.”

Oleh karena itu, sebagai netizen yang cerdas mari kita budayakan untuk kritis terhadap informasi yang kita lihat di lini masa akun media sosial kita. Hindari melakukan tiga hal yang telah disebutkan oleh Pak Nukman Lutfie diatas. Jauhkan jempol Anda dari tombol “bagikan” dan “retweet” sebelum Anda melakukan penyelidikan terhadap informas