Keterbukaan Perbankan dan Target Penerimaan Pajak Negara

Target pendapatan negara pada tahun 2016 ini ditargetkan mencapai Rp1.360 triliun, jumlah tersebut mengalami kenaikan hampir 30% dari realisasi pada tahun 2015. Oleh karena itu perlu ditempuh berbagai cara untuk menjamin tercapainya target yang telah ditetapkan, salah satunya adalah melalui reformasi di bidang perpajakan dengan membuka data kerahasiaan bank bagi kepentingan perpajakan.

Sistem pemungutan pajak yang dianut oleh Indonesia adalah sistem pemungutan pajak secara mandiri atau self assesment dimana wajib pajak (WP) diharuskan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya secara mandiri (mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan ke kantor pajak dilakukan sendiri oleh WP yang bersangkutan). Dalam sistem self assesment ini kesadaran dan kepatuhan WP merupakan faktor penting dalam rangka memenuhi kewajiban perpajakan sehingga WP melaporkan harta kekayaannya secara sebenarnya bukan sewajarnya.

Selain kesadaran dan kepatuhan WP untuk melaporkan harta yang sebenarnya, otoritas pajak juga harus memiliki data yang valid mengenai WP dimana salah satunya adalah dengan cara keterbukaan data perbankan sehingga otoritas pajak dapat mengakses data perbankan WP yang dicurigai berbuat kecurangan dalam melaksanakan kewajiban pajaknya. Selain itu keterbukaan data perbankan juga diperlukan guna mendukung pelaksanaan pertukaran informasi perpajakan antar negara anggota G-20 dan Organisasi Kerja Sama Pengembangan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD) yang rencananya akan diadaptasi pada tahun 2018.

Pertukaran informasi antar negara ini dikenal dengan istilah Automatic Exchange Of Information (AEOI), dimulai pada tahun 2010 ketika pemerintah Amerika mengeluarkan kebijakan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA). Melalui kebijakan ini lembaga keuangan yang berada di luar Amerika diwajibkan untuk melakukan pelaporan mengenai informasi terkait akun keuangan yang dimiliki oleh warga Amerika atau entitas lain dimana warga Amerika tersebut memiliki kepemilikan yang cukup signifikan. Kewajiban untuk melaporkan ini juga diiringi dengan pemberlakuan non-compliance penalty berupa Withholding tax sebesar 30% atas dana yang dikeluarkan dari Amerika.

Selanjutnya negara-negara anggota G-20 dan OECD menyetujui untuk memformulasi kebijakan semacam FATCA melalui Common Reporting Standard (CRS) untuk menjadi dasar dalam pertukaran informasi secara global. Sampai dengan bulan April 2016 ada sebanyak 94 yuridiksi yang telah berkomitmen untuk melaksanakan AEOI melalui penerapan CRS mulai tahun 2017. Beberapa diantara yuridiksi tersebut dikenal dengan tax haven country seperti Bermuda, British Virgin Island, Cayman Island, dan Luxembourg.

Bila era keterbukaan data perbankan dan pertukaran informasi data perpajakan antara negara-negara anggota G-20 dan anggota OECD telah berlangsung, sepertinya tidak ada tempat lagi bagi WP untuk menyembunyikan asetnya. Karena pemerintah telah memiliki semua data finansial dari WP sehingga diharapkan tidak ada lagi WP yang membayar pajak dengan sewajarnya melainkan dengan sebenarnya sesuai dengan kewajibannya. Dengan demikian diharapkan target penerimaan negara dari sektor pajak dapat terpenuhi sehingga sedikit banyak dapat membiayai pembangunan infrastruktur di berbagai daerah yang saat ini tengah gencar dilakukan oleh pemerintah.