Memperluas Program E-Gov Era Presiden Joko Widodo

Betapa isu pemerintah elektronik, alias e-govt telah gencar disuarakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) jauh sebelum dirinya menempati Istana Negara dan memimpin negeri ini.

Saat debat kampanye tahun lalu, Jokowi bahkan dikenang dengan ide e-govt yang menurutnya efektif dan efisien. Sebab, peranti lunak bisa menyelesaikan banyak problem pemerintahan dan bisa dibuat cukup dua minggu!

Setelah lebih dari 100 hari menjabat, spirit Presiden Jokowi dalam program ini masih menggelora. Salah satunya adalah berbagai intruksi yang diberikan kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI Yuddy Chrisnandi.

Dalam berbagai kesempatan, Yuddi menenekankan pentingnya penguatan e-govtyang sudah dilakukan oleh jajarannya, baik pada level pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.

Sekalipun belum ada gebrakan baru yang massif, akan tetapi terasa benar niatan pemerintah sekarang dalam berbenah. Ini keniscayaan, manakala sudah ada kesadaran bahwa tuntutan publik kian besar untuk pelayanan pemerintah yang praktis, efektif, dan memasyarakat.

Apabila tuntutan publik ini tidak segera diakomodir, maka akan menimbulkan ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah, bahkan jika terus dibiarkan, bisa juga menjalar ke Presiden Jokowi itu sendiri.

Oleh karena itu, sambung Yudi, memangkas jalur birokrasi yang berbelit-belit adalah misi kerjanya. Selain untuk mengurangi biaya-biaya yang tidak diperlukan, juga untuk memenuhi ekspektasi publik.

Karenanya, ketika meresmiskan layanan e-Samsat dari Pemprov Jabar beberapa waktu lalu di Bandung, Menpan bertekad menduplikasi e-Samsat agar bisa diterapkan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia.

Hal ini terasa penting untuk terus dibahas, ketika e-govt kerap diterjemahkan sebagai kehadiran situs/laman semata. Padahal sejatinya, e-govt adalah pemutakhiran dari cara kerja pemerintah itu sendiri.
Artinya, seluruh layanan kepada rakyat, yang biasanya manual, maka dibuat menjadi digital dengan penekanan efisiensi biaya dan waktu serta kecepatan pelayanan yang tinggi.

Singkat kata, terjadi e-services (pelayanan elektronik) yang selain dicontohkan E-Samsat. Juga bisa diterapkan antara lain dalam bentuk otomasi proses pemerintahan, pertukaran dokumen secara elektronik, pemantauan dan manajemen kesehatan umum, formulir pemerintah yang dapat diunduh, aplikasi STNK-SIM-Paspor-KTP secara online, dan banyak lagi.

Dari e-government ini dipercaya akan melahirkan pemerintahan yang merangkul semua pihak yakni pemerintah itu sendiri, kalangan bisnis, dan masyarakat. Hal ini sudah banyak dicontohkan di berbagai negara maju.

Akan tetapi, ada dua isu penting yang harus diantisipasi terkait percepatan perluasan program e-govt ini. Pertama, dengan sistem elektronik, otomatis resiko keamanan akan muncul.

Prinsip teknologi informasi yang terintegrasi dalam jejaring, sentralisasi, bisa ditelusuri, sekaligus transparan, maka sekalinya ada resiko yang tidak dikelola dengan baik, maka bisa rusak sekaligus.

Karenanya, sistem pertahanan harus dibuat kuat sejak dini, sehingga tidak ada celah yang bisa dimanfaatkan. Ingat, Indonesia adalah negara sumber serangan sekaligus target tinggi dalam cyber attack!

Kita pun sudah memiliki lembaga yang mampu membuat sistem yang baik yakni Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg), yang kapasitasnya bisa mencegah dan menangkal masuknya peretas yang merugikan.

Ini perlu karena sebagai sesama lembaga negara, Lemsasneg bisa mencegah terjadinya pembobolan data penting negara seperti pernah terjadi di Estonia pada tahun 2007 lalu.

Hal lain yang penting adalah penguatan regulasi, dimana setelah UU ITE, pemerintah melalui Kementerian Kominfo juga sudah mengusulkan pembuatan UU tentang Perlindungan Data Pribadi.

Dasar pertimbangannya, kata dia, data pribadi saja sangat penting apalagi dokumen negara sampai dibobol oleh oknum. UU ini sudah selesai dibuatkan naskah akademik dan segera disampaikan ke DPR RI untuk didaftarkan dalam program prioritas legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2015.

Kedua, e-govt sebagai bidang baru, memiliki potensi disalahartikan. Maksudnya begini, proses pengadaan barang dan jasa terkait pemerintah digital ini belum tentu difahami dengan benar karena masih bidang baru.

Apa dan bagaimana server, mengapa bea pengembangan peranti lunak harus mahal, seperti apa mekanisme pembayaran bandwith, dst, adalah terminologi anyar yang belum tentu difahami aparat hukum.

Karena itulah, proses pengadaan yang benar, bersih, dan rapih, menjadi keharusan sejak awal sehingga kelak tidak akan ramai kendala hukum yang akhirnya malah menghambat laju e-govt.

Sudah biasanya jika niat baik belum tentu semuanya ditafsirkan dengan baik, malah kadang dicurigai sehingga merugikan semua. Yang pasti, e-govt harus terus diperluas guna memenuhi hak masyarakat Indonesia.