Ampunan yang Berjenjang

Pmerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak memberikan kebijakan penghapusan sanksi administrasi perpajakan bagi Wajib Pajak yang terlambat melakukan pembayaran. Bukan itu saja, kebijakan itu berlaku juga untuk  membetulkan laporan dan sekaligus membetulkan jumlah pajak yang harus dibayar atau disetor pada tahun 2015 .

Kebijakan semacam itu dapat dipandang sebagai bentuk pemahaman terhadap kurangnya ketaatan secara sukarela mereka yang seharusnya dibebani untuk mengalihkan sebagian kekayaan pribadi, untuk kepentingan bersama menuju sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang menjadi cita-cita luhur pendiri bangsa dengan menanamkan semangat gotong royong pembiayaan dengan landasan keadilan dalam pembebanan pajaknya.

Untuk mengurangi beban akibat kesalahan masa lalu, Direktorat Jenderal Pajak seolah memberikan keringanan pajak yang seharusnya sejak sebelumnya sudah dibayar atau disetorkan kepada Negara.

Sanksi yang dikurangkan dengan permintaan Wajib Pajak atau pembayar pajak intinya adalah sanksi berupa denda dan bunga keterlambatan pelaporan dan pembayaran. Kebijakan ini jelas menguntungkan likuiditas perusahaan atau menambah daya beli pembayar pajak.

Sebagai bentuk kebijakan masyarakat boleh saja mengkritisi, namun semangat yang ingin ditunjukan adalah bahwa ketidaktaatan bisa dipandang sebagai kesalahan kolektif akibat kurangnya pemahaman akan pentingnya pajak serta kurangnya pemahaman atas ketentuan perpajakan baik karena unsur kekhilafan atau kesengajaan yang dalam tahun ini dibukakan pintu pemaafan.

Karena pajak sebagai bentuk peralihan kekayaan individu pada Negara sudah tentu harta yang dialihkan tidak sebanyak seandainnya sanksi pajak tetap dikenakan. Kebijakan seperti ini bolehlah dipandang sebagai ampunan tahap satu dengan pemaafan yang luar biasa karena semua sanksi perpajakan dijamin dikurangkan atau dihapuskan.

Oleh karena itu sungguh disayangkan kalau kesempatan yang diberikan dengan kebijakan penghapusan sanksi tidak secara optimal dimanfaatkan karena sifatnya dijamin sanksi administrasi berkurang atau hapus.

Beban yang dipikulkan seolah diringankan sehingga diharapkan dapat digunakan untuk lebih meningkatkan kemampuan daya beli dan daya usaha serta timbulnya rasa saling pengertian antara masyarakat dengan Negara.

Suatu kesempatan baik yang tidak boleh dilewatkan, ibarat diskon terakhir yang tidak pantas disia-siakan. Kebijakan pemaafan memang tidak seharusnya diberikan terus menerus tanpa kepastian waktu, karena kharakteristik manusia yang kadang tidak mensyukuri kesempatan yang telah diberikan dan terus menunda-nunda kesempatan baik yang telah ada dan diberikan.

Oleh karena itu memang seharusnya dibatasi hanya pada tahun 2015 untuk selanjutnya ditegakan ketentuan yang semestinya dan pemberian sanksi yang lebih tegas bahkan sampai pemidanaan pada pemaksaan serta perampasan harta agar timbul kepatuhan yang bisa dipaksakan.

Tujuan kesejahteraan bersama lebih penting daripada kemakmuran segelintir orang apalagi mereka yang tamak dengan harta dan tidak mau berbagi bersama. Ketamakan ibarat air menggenang yang sarat dengan bibit penyakit yang siap-siap memunculkan kesengseraan kolektif masayarakat dan meruntuhkan sendi Negara yang bercita-cita mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat.

Pada tahun 2016, Direktorat Jenderal Pajak telah menyiapkan tahun penegakan hukum. Tahun penegakan hukum bisa dimaknai sebagai tahun untuk lebih memaksakan kepatuhan melalui pemeriksaan dan meningkatkan cakupan wajib pajak yang diperiksa dengan sanksi yang lebih besar dan tindakan penagihan yang lebih tegas bahkan sampai upaya pengajuan seseoarang sebagai pelanggar tindak pidana perpajakan dengan sanksi kurungan, penjara yang bahkan lebih besar dari pokok pajak awal yang seharusnya dibayar.

Kalau tahun 2015 yang ingin dibangun adalah sukarela, maka tahun 2016 adalah kepatuhan yang enak tidak enak harus dipaksakan. Sudah seharusnya Negara dapat lebih tegak dengan pendanaan mandiri dan bukan mengemis hutang yang akan menjerat bahkan sampai dengan anak cucu bangsa.

Mereka akan mengenang pendahulunya sebagai pendahulu yang gagal memahami tanggung jawab individu pada negaranya. Pidana penjara yang akan mengekang kebebasan individu dan mematikan seluruh potensi ekonomi karena hilangnya kesempatan hidup bebas bersama keluarga dan hilangnya kesempatan berusaha tetap pada akhirnya memang bukan pilihan terakhir yang harus dipaksakan.

Masih ada solusi pemaafan dengan membayar denda berupa uang setinggi-tingginya empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar. Tentu, sanski pidana bahkan sanksi administrasi denda sebesar itu seharusnya bisa dihindari dengan menunjukan kepatuhan yang sukarela.

Tahun 2015 sebentar lagi akan dilewati. Ampunan jilid satu yang mengurangkan atau menghapuskan sanksi pada level titik nol dari sanksi yang seharusnya terutang untuk dibayar.

Tahun 2016 hanya akan tersisa ampunan jilid dua yakni bunga dan denda yang lebih besar bahkan bisa mencapai empat kali sehingga beban pajak menjadi lima kali pokok.

Suatu jumlah besar yang mengancam kemampuan daya beli dan daya usaha pembayar pajak sendiri. Kebijakan berat yang terpaksa harus dilakukan karena keadilan dengan menciptkan kemakmuran bersama adalah cita-cita haikiki sebuha bangsa. Apalagi seandainya sanksi pidana harus diterima.

Semua yakin berusaha untuk menghindarinya. Perhitungan tinggal memasuki masa-masa akhir. Kesempatan harus dihitung mundur, jadi apalagi kesempatan yang harus dibuang. Manfaatkan ampunan jilid satu dan jangan menunggu sampai pidana yang merugikan, kecuali itu semua sudah menjadi pilihan.

Sumber: pajak.go.id