Potensi Pajak Jaring Apung Sangat Besar

Potensi pajak dari pembudidaya ikan karamba jaring apung (KJA) di Waduk Cirata dan Jatiluhur, Jawa Barat, sangat besar dan belum tergali. Di Waduk Jatiluhur terdapat sekitar 25.000 KJA dengan putaran uang sekitar Rp 1,2 triliun dan di Cirata ada 55.000 KJA dengan volume usaha lebih dari Rp 2,5 triliun.

”Nilai investasi setiap keramba jaring apung rata-rata Rp 50 juta per unit. Satu pembudidaya rata-rata memiliki empat KJA,” ujar Ketua Asosiasi Petani Ikan Danau Cirata (Aspindac) Agus Sundaya (42), Rabu (22/10) seperti dilansir dari Kompas.

Waduk Cirata yang menampung aliran Sungai Citarum terletak di tiga kabupaten, yakni Bandung Barat, Cianjur, dan Purwakarta. Adapun Waduk Jatiluhur berlokasi di Purwakarta.

Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Purwakarta Dessy Eka Putri mengatakan, pembudidaya ikan jaring apung di Waduk Jatiluhur menjadi salah satu sasaran pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 1 persen dari penghasilan berdasarkan omzet. Potensi pajak dari waduk itu sangat besar.

”Perhitungan kasar, ada sekitar 25.000 jaring apung di Jatiluhur dan secara total perputaran uang di tempat itu mencapai Rp 1,2 triliun per tahun. Nilai pajaknya cukup besar sebagai pendapatan daerah,” kata Dessy.

Ia mengatakan, pemegang nomor pokok wajib pajak (NPWP) di Waduk Jatiluhur pada 2013 sekitar 1.500 orang. Adapun PPh yang disetorkan dari waduk itu hanya Rp 3 juta. Dessy mengatakan, pihaknya terus menyosialisasikan PPh ini kepada pembudidaya ikan jaring apung.

”Ibaratnya, dari 100 ikan yang mereka tangkap, satu ekor saja berikanlah buat negara,” kata Dessy.

Wakil Bupati Purwakarta Dadan Koswara mengimbau pembudidaya ikan KJA menyetorkan PPh sebesar 1 persen dari omzet mereka. Pendapatan dari pajak sangat bermanfaat bagi pembangunan daerah.

Agus Sundaya mengatakan, pihaknya tidak keberatan apabila pemerintah daerah memungut retribusi dari para pembudidaya. Ini karena yang terkena pajak itu adalah pemilik keramba yang dinilai berkemampuan membayar 1 persen dari omzetnya. Namun, dia meminta pemerintah memberikan kompensasi dari pengeluaran retribusi itu sebab selama ini para pembudidaya KJA berjalan sendiri.

”Paling tidak pemda memberi perhatian saat kami tertimpa musibah kematian ikan massal akibat arus bawah (upwelling) yang berlangsung hampir tiap tahun,” ujarnya. Pada musibah tahun lalu, petani ikan berusaha bangkit lagi dengan meminjam modal dari bank milik BUMD. Namun, itu tidak mudah karena perbankan memiliki persyaratan yang tak bisa dipenuhi sebagian besar pembudidaya.

sumber : Kompas