Pajak Usaha Toko Online

Situasi ini tak bisa dihindari jika kita melihat betapa pengguna dan penduduk internet (internet citizen/netizen) di Indonesia telah sedemikian besar dan massif.   

Simak data berikut. Menurut Kementrian Kominfo, pada tahun 2011 pengguna internet di Indonesia mencapai 55 juta dan menjadi 82 juta per Juni 2014 alias hanyabutuh waktu kurang dari 3 tahun. 

Dengan total penduduk sekira 260 juta-an, maka secara persentase saat ini ada sekitar 32 persen penduduk Indonesia yang melek internet. Otomatis, 1/3 masyarakat kita sudah juga menjadi penduduk dunia maya. 

Hal ini akan terus bertambah. Menurut proyeksi Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia, pada akhir tahun 2014 nanti pengguna internet menjadi 107 juta dan tahun 2015 akan menjadi 139 juta.

Selanjutnya, kita lihat data berikutnta yakni data pengguna telepon genggam di Indonesia. Pada tahun 2014, pengguna telepon genggam di Indonesia sebesar 282 juta padahal jumlah populasinya baru berkisar 251 jutaan penduduk.

Jadi, memang kalau dilihat dari data tersebut sebagian dari kita mempunyai lebih dari satu telepon genggam. Dan perlu menjadi catatan juga, bahwa terdapat 53 juta pengguna telepon genggam jenis smartphone (versi Nielsen).

Dari kedua data diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan internet di Indonesia sudah sedemikian dahsyatnya, sehingga fenomena toko online jadi sebuah keniscayaan yang tak bisa dihindari.

Toko daring menjadi pilihan pengguna dan netizen disebabkan berbagai benefit utama miliknya, terutama dari sisi kenyamanan, efisiensi, praktis, dan terbebas dari berbagai persoalan infrastruktur kota.

Fenomena ini ternyata tak lepas dari pengamatan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai otoritas pajak.

Untuk memberikan kepastian hukum kepada para pemilik toko daring atas perlakuan perpajakannya, DJP telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Direktorat Jenderal Pajak tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan atas transaksi E-Commerce, Nomor SE-62/PJ/2013 tertanggal 27 Desember 2013.

SE E-Commerce tersebut menjelaskan, prinsipnya tidak ada jenis pajak baru didalam toko daring tetapi hanya menerapkan aturan yang sudah ada.

Dengan kata lain, pengelolaan usaha melalui toko digital mendapatkan perlakuan perpajakan yang sama selayaknya perdagangan biasa. Sehingga secara umum, pelaku e-commerce mempunyai kewajiban perpajakan, baik itu mulai dari pendaftaran, penghitungan, pembayaran dan pelaporan yang telah diatur dalam peraturan dan ketentuan dari DJP.

Aturan ini telah mengikuti tren global, dimana otoritas perpajakan di negara lain menerapkan regulasi yang tak jauh berbeda. Karenanya, iklim bisnis yang diciptakan bersifat modern dan global.

Bahkan, sebenarnya ini masih tahap awal. Sebab, di negara maju, bukan sekedar diatur, tapi sudah sampai tahap penegakan hukum ketat. Misalnya National Tax Agency (NTA), otoritas pajak Jepang, sampai membentuk satuan khusus bernama PROTECT (Professional Team for E-commerce Taxation) guna mengejar pemilik toko daring yang tidak menjalankan kewajiban pajaknya.

Kita di Indonesia tidak sampai seketat dan sejauh itu, terlebih toko digital juga baru tumbuh baik dalam beberapa tahun belakangan. Untuk itulah, mari kita taat perpajakan di dunia nyata maupun maya. Toh, pajak keduanya sama saja. ***