Mendisiplinkan Para Wajib Pajak Melalui Gizjeling

Ketertiban dan kedisiplinan sepertinya hal yang cukup sulit ditemui di Indonesia, terutama di wilayah perkotaan. Contoh kecil dari ketertiban dan kedisiplinan ini terlihat dari cara masyarakat berperilaku di jalan raya, dan itikad baik mereka dalam mematuhi rambu lalu lintas. Melebihi garis batas henti kendaraan di lampu merah, ataupun menyodok hingga berada jauh dari tiang lampu lalu lintas adalah pemandangan keseharian.

Fenomena kedisiplinan tersebut pun terjadi di sektor perpajakan, tidak sedikit para wajib pajak (WP) terlambat menunaikan kewajibannya, atau bahkan cenderung menghindarinya. Disadari ataupun sebaliknya, tindakan mereka telah merugikan yakni mengurangi pendapatan nasional ataupun regional. Berdasarkan data yang diperoleh dari pajak.go.id saat ini terdapat 15.000 Wajib Pajak dengan nilai utang Rp 100 juta atau lebih. Maka sebagai upaya menertibkan, mendisiplinkan bahkan memberikan efek jera, maka Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberlakukan gizjeling (penyanderaan) dan penahanan kepada para WP yang nakal.

Gizjeling merupakan upaya terakhir DJP untuk menagihkan pajak terhutang kepada para WP yang memiliki hutang pajak. Pelaksanaan gizjeling ini dilakukan secara hati-hati, yakni selain aparat penegak hukum juga melibatkan tim medis untuk memeriksa kondisi kesehatan penanggung pajak. Pertimbangan medis diperlukan menyakut sisi psikologi WP, seandainya yang bersangkutan memiliki utang pajak  sedikitnya RP. 100 juta dan memiliki aset untuk melunasi namun diragukan itikad baiknya, maka DJP dibantu aparat penegak hukum dapat melakukan eksekusi gizjeling.

Rencana dan langkah DJP ini pun didukung penuh oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, Bareskrim Kepolisian Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bareskrim Kepolisian Republik Indonesia dan KPK merupakan bagian dari Tim Satgas Penerimaan Pajak Tahun 2015.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan melakukan eksekusi gizjeling dan melakukan penahan sesuai prosedur dan kebijakan yang telah ditetapkan. Jika pemiliki utang pajak berupa badan (Wajib Pajak Badan/WJB) maka ditahan adalah orang yang memiliki kewenangan dan keterlibatan dalam menentukan kebijakanaan dan atau mengambil keputusan dalam menjalankan keputusan, baik yang tercantum ataupun tidak dalam akte pendirian ataupun perubahan.  Komisaris dan pemegang saham termasuk juga dalam pengertian Penanggung Pajak bagi Wajib Pajak Badan.

Sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP), jangka waktu penyanderaan paling lama enam bulan dan dapat diperpanjang untuk paling lama enam bulan. Para penanggung pajak pun dititipkan ke rumah tahanan (rutan) dengan sel terpisah sebagaimana tahanan pidana khusus. Pemisahan ruang tahanan tersebut untuk menjamin keselamatan dan keamanan hingga hutang  pajaknya dilunasi.

Dilansir dari pajak.go.id hingga 26 Juni 2015, DJP telah menyampaikan usulan penyanderaan penanggung pajak kepada Menkeu terhadap 29 penanggung pajak yang merupakan wakil dari 18 Wajib Pajak Badan dan 3 Wajib Pajak Orang Pribadi. Sesuai usulan tersebut, DJP memperoleh surat izin untuk melakukan penyanderaan dari Menkeu terhadap 23 orang yang merupakan penanggung pajak atas utang 14 Wajib Pajak Badan dan 3 Wajib Pajak Orang Pribadi dengan total nilai utang pajak sebesar Rp 44,23 miliar.

Wajib Pajak yang pengurusnya disandera itu, terdaftar di wilayah Kanwil DJP Jawa Timur I, Kanwil DJP Sumatera Selatan dan Bangka Belitung, Kanwil DJP Jakarta Khusus, Kanwil DJP Riau dan Kepulauan Riau, Kanwil DJP Daerah Istimewa Yogyakarta, Kanwil DJP Jakarta Selatan, Kanwil DJP Kalimantan Barat, Kanwil DJP Jawa Timur III, Kanwil DJP Banten, Kanwil DJP Jawa Barat I, Kanwil DJP Jawa Tengah I dan Kanwil DJP Sulawesi Utara Tenggara dan Maluku Utara.

Dari pelaksanaan penyanderaan, negara dapat mencairkan utang pajak sebesar Rp 11,52 miliar dan terhadap penanggung pajak yang telah melunasi utang pajaknya telah dilepaskan dari tempat penitipan sandera.  Mencermati hasil tersebut, gizjeling menjadi salah satu senjata andalan DSP untuk mengambil hak pemerintah dari para penghutang pajak yang dilakukan secara selektif, obyektif dan cermat.  Bahkan hingga akhir tahun 2015, DJP merencanakan untuk menyandera minimal 31 penanggung pajak yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Diharapkan dengan adanya gizjeling akan meningkatkan kedisiplinan para wajib pajak, dan memberikan efek jera bagi mereka yang pernah melakukan pengabaian dan pengemplangan pajak. DJP senantiasa memberikan himbauan kepada Wajib Pajak yang memiliki utang pajak untuk senantiasa melakukan komunikasi dan bersikap kooperatif dengan KPP.

Guna menyelesaikan utang pajak tersebut, Wajib Pajak dapat melunasi sekaligus utang pajaknya atau melakukan pengangsuran atau penundaan utang pajak sesuai ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak.

DJP terus berupaya untuk menerapkan penagihan pajak dengan memperhatikan itikad baik Wajib Pajak dalam melunasi utang pajaknya. Semakin baik dan nyata itikad Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya maka tindakan penagihan pajak secara aktif (hard collection) dengan pencegahan ataupun penyanderaan tentunya dapat dihindari. Meskipun gizjeling menjadi langkah andalan, namun kedisiplinan dan ketertiban serta itikad para wajib pajak adalah yang utama.