Harus Duduk Bersama Dulu

Riuh rendah ruang publik, terutama pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, niscaya terjadi ketika Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) menargetkan pemberlakuan bebas pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi rumah huni, tempat ibadah, dan bangunan sosial mulai 2016 mendatang.

Awal Februari lalu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Ferry Mursyidan Baldan di Jakarta mengajukan rencana pembayaran PBB setiap tahun hanya dikenakan terhadap bangunan komersial seperti rumah toko, pusat perbelanjaan, gedung perkantoran dan restoran.

Selain itu, yang tambah bikin polemik, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN juga akan menghapus pencantuman komponen Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) pada lembaran pembayaran PBB.

Seperti kebakaran jenggot, resistensi sontak muncul. Seperti diwartakan berbagai media, Bupati Bandung, Dadang M Naser menolak wacana ini karena menyebabkan kerugian bagi pemerintah daerah.

Kerugian tersebut, menurut Dadang, karena pemerintah daerah sudah menyiapkan perangkat sistem maupun sarana dan prasarana pelayanan PBB. Ketika PBB diserahkan pada daerah dari pemerintah pusat, juga pemerintah daerah akan kehilangan PAD.

“Dulu PBB diserahkan ke daerah, hingga kita siapkan perangkat dan sarana. Sekarang PBB malah akan dihapuskan. Kalau PBB dihapuskan, jelas pemerintah daerah rugi, karena sudah menyiapkan sarana dan prasarana pelayanan PBB,” tegasnya.

Jika PBB dihapuskan di Kabupaten Bandung saja, maka akan mengurangi PAD. Sebagai bukti, PAD Kab. Bandung dari PBB mencapai Rp 65 milyar.

Sementara Pemkot Bandung, melalui Walikota Ridwan Kamil, Sabtu (7/2) seperti diberitakan Tribun Jabar menyebutkan, rencana kementerian agraria dan tata ruang untuk dikaji terlebih dahulu pemerintahan setempat.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang RI diharapkan berdiskusi terlebih dahulu dengan pemerintah daerah baik Kota ataupun Kabupaten terkait rencana penghapusan jenis pajak PBB dan BPHTB.

Pasalnya, menurut Emil, sapaan akrabnya, kedua pajak yang akan dihapus merupakan penyumbang terbesar dalam pendapatan asli daerah (PAD).

Dengan dihapuskannya PBB, kota yang tengah berkembang seperti Kota Bandung akan terhambat pembangunannya.

Bahkan jika rencana tersebut digulirkan, beberapa proyek besar di Kota Bandung akan mandek. Jika rencana penghapusan tetap dijalankan diharapkan ada proses transisi agar pemerintah daerah tidak kaget dan membuat rencana pembangunan infrastruktur terhambat.

Demikian pula dengan Pemkab Sumedang, yang sebenarnya sudah membentuk bidang khusus yang mengurus PBB dan PBHTB di Dinas Pendapatan.

Tahun 2015 ini target pendapatan dari PBB mencapai Rp 22 miliar sedangkan dari PBHTB Rp 5 miliar. Pendapatan dari sektor pajak akan berkurang dan ini mempengaruhi neraca keuangan. Maka, jalan keluarnya paling melakukan optimalisasi dari sektor pendapatan lainnya. Bisa juga rasionalisasi belanja.

Secara makro, misalnya kita melihat dari APBD Pemprov Jabar 2013, penerimaan pajak daerah tercapai sebesar 115,66 persen, penerimaan retribusi daerah 111,42 persen, penerimaan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan terealisasi 99,73 persen, dan lain-lain PAD yang sah sebesar 184,37 persen.

Imbasnya, seperti disampaikan Gubernur Jabar dalam laporan keterangan pertanggungjawaban (LKPJ) 2013, pendapatan daerah Pemprov Jabar tahun 2013 lalu melebihi target. Sebelumnya, Pemprov Jabar menargetkan Rp17,38 triliun namun ternyata Pemprov dapat merealisasikan sebesar Rp19,32 triliun.

Dalam rinciannya, Heryawan menyebutkan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari target sebesar Rp10,51 triliun terealisasi Rp12,44 triliun atau 118,37 persen. Untuk dana perimbangan juga mengalami kenaikan, dari target sebesar Rp2,74 triliun, bisa terealisasi Rp2,95 triliun lebih.

Dengan kata lain, PBB adalah menjadi salah satu tumpuan pendapatan mayoritas pemerintah daerah di Tatar Pasundan ini.

Ditambah skema alokasi penerimaan pajak daerah seperti PKB dan BBNKB akan diserahkan ke kab/kota sebesar 30 persen, PAP 50 persen, PBBKB 70 persen, dan pajak rokok 70 persen, maka alokasi PBB yang sudah 100 persen daerah, sangatlah diharapkan.

Untuk itulah, benar seperti diucapkan Walikota Bandung Ridwan Kamil, mari duduk bersama dulu agar semuanya satu persepsi. Jangan sampai niat baik ditafsirkan lain karena kebuntuan komunikasi.

Asas musyawarah untuk mufakat sejatinya adalah ajakan Bapak Bangsa Indonesia agar membiasakan diri duduk dan ngobrol bersama, sehingga tercapai pemahaman bersama. ***